"Tenang saja, aku akan tetap merawatmu, Luka."
Lamunanku buyar tatkala bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang. Setelah menoleh, aku mengenali orang tersebut sebagai Panji, seorang kawan yang juga violinis Taman Suropati Chamber yang dulu dikenalkan oleh Nir.
"Kok melamun sendirian disini? ayo gabung sama yang lain!" ajak Panji sembari menarik tanganku. Sempat menolak, namun akhirnya aku pun bergabung. Banyak obrolan dan senda gurau yang lahir sore itu hingga langit membias jingga keunguan. Setelah berpamitan, aku bergegas pulang, menyusuri setapak yang diterangi lampu-lampu jalan.
"Aku rindu kau, Nirmala."
___***___
Dua tahun silam
Pemakaman Nirmala dan ayahnya dipenuhi oleh karangan bunga dan orang berpakaian hitam-hitam. Tangis Ibunya pecah sejadi-jadinya. Pihak keluarga berusaha menenangkan beliau, namun sepertinya tidak berpengaruh banyak. Aku, yang turut berada dalam keramaian masih tidak percaya apa yang kulihat tiga hari lalu. "Pesawat Indonesia tujuan Inggris dengan kode penerbangan Boeing 767-100 mengalami kecelakaan", judul berita tersebut sangat memukulku. Segera aku mencari daftar nama korban kecelakaan seraya berharap tidak menemukan nama Nirmala Swastamita. Telunjukku berhenti pada baris ke-98. Duniaku berhenti berputar.
___***___
Dua tahun tiga bulan silam
"Aku dapat donor!" ujar Nirmala diseberang sambungan telepon.
"Benarkah? Akhirnya ketemu juga, aku turut senang, Nir."
Sudah lama Nirmala menantikan kabar tersebut, begitu pula aku. Melihatnya terkungkung dalam keterbatasan sangatlah menyayat perasaanku. Hal yang dapat ia lakukan setelah kejadian itu hanyalah duduk di bangku taman sembari mendengarkan gesekan senar biola. Syukurlah, dalam tiga bulan ke depan, ia akan dapat melantunkan nada-nada indah lagi dari biolanya.Â
Ayah dan ibunya bekerja sangat keras untuk dapat mengembalikan lagi mimpi putri tunggalnya menjadi seorang violinis akustik nomor satu se-Indonesia. Aku percaya ia mampu, apalagi dengan paras indah dan kemampuannya yang di atas rata-rata menurutku.Â