Bagi mereka dan saya yang tinggal di Ibukota Jakarta, sudah menjadi suatu hal yang lumrah menemukan pelbagai pungutan liar (pungli) yang merajalela. Saya katakan darurat, karena hampir di setiap sudut ibu kota sudah disesaki praktik pungli. Mulai dari pak ogah yang mengetem di persimpangan jalan, preman minimarket yang siap meniupkan peluitnya setiap kita ingin pulang, penjaga mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), hingga juru parkir ga jelas yang ada di sudut kota.
Biasanya, (di Jakarta) juru parkir ini menggunakan seragam "berlabel" Dinas Perhubungan. Entah mereka legal atau ilegal, pribadi saya meragukan mereka adalah petugas resmi. Lantaran pakaiannya lusuh, warna baju sudah memudar. Bahkan tidak sedikit yang saya temukan seragam yang dikenakan tidak standar alias ala kadarnya. Asal berwarna biru telur asing, mereka siap "melayani" warga Jakarta. Inibelum termasuk juru parkir dari kalangan organisasi masyarakat (ormas) bahkan partai politik yang menguasai wilayah.
Bicara tarif, sungguh kacau-balau. Tidak ada tarif pasti yang ditetapkan. Jika ada uang pas, maka pecahan uang Rp2.000 bisa menjadi tarif standar. Tapi, kalau lagi bokek, seribu rupiah pun mereka sikat. Ironinya, kalau jika kita memberi nominal Rp5.000, maka dikembalikan hanya Rp.2000. Alasannya klasik, ga punya uang receh seribuan. Tarifnya, jadi Rp3.000.
Belum lagi di tempat-tempat khusus, seperti di Lapangan Banteng. Mereka mematok harga sebesar Rp5.000. Termasuk jika ada event khusus di ibu kota, seperti perayaan malam tahun baru atau car free day. Sama, tarifnya Rp.5000. Lebih parah lagi, perparkiran di Pasar Tanah Abang. Masyarakat sudah bayar dengan menggunakan tarif resmi perjam, di dalam area parkir kita masih harus membayar sebesar Rp2.000 kepada mereka yang lagi-lagi mengenakan "seragam" dishub.
Sengkarut pungli parkir ibukota sebenarnya sudah mulai diurai oleh mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ahok berusaha memaksimalkan retribusi parkir yang saat itu masih minim dengan menggunakan mesin parkir elektronik. Dengan mesin ini, maka pengguna kendaraan mesti membayar parkir perjam dan dipastikan biaya retribusi masuk ke kas Pemda DKI Jakarta.
Diambil dari tirto.id 8 Desember 2017, Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta tahun 2016 mencatat, bila 10 persen dari total kendaraan di Jakarta memakai jasa parkir setiap hari, lewat tarif termurah dalam satu jam Rp2.000 untuk sepeda motor dan Rp5.000 untuk mobil, maka dalam sehari Pemda DKI bisa meraup pemasukan sekitar Rp4,4 miliar. Artinya, dalam 25 hari saja, pendapatan minimal yang diperoleh Pemda Jakarta sebesar Rp 110,6 miliar.
Sedangkan di tahun 2016 pendapatan retribusi parkir UP Perparkiran tahun 2016, pemda hanya menerima sekitar Rp52 miliar. Ini artinya dari retribusi parkir saja Pemda DKI berpotensi kehilangan pendapatan daerah bisa mencapai lebih dari 1 triliun rupiah.
Masalah pungli di lahan parkir tidak bisa dilepaskan dari premanisme berkedok badan hukum seperti ormas atau organisasi kemasyarakatan lainnya. Baru-baru ini, viral di media sosial segerombol ormas di Kecamatan Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat mengintervensi seorang pengelola minimarket. Awalnya sang pengelola minimarket enggan "bekerjasama" dengan ormas dalam penarikan biaya parkir.
Alasannya, parkir gratis adalah bagian dari pelayanan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, berdasarkan UU 28 No 2009 dan Perda No 10 Tahun 2019, bahwa minimarket sudah termasuk kategori pajak parkir, tidak lagi retribusi parkir.
Lalu apa perbedaan pajak parkir dengan retribusi parkir?
Pajak parkir diurus oleh Badan Pengelola Pendapatan Daerah; Objeknya biasanya di tempat usaha, mal, rumah sakit, dll; Besaran pajak yang harus disetorkan ke pemerintah daerah maksimal 30% dari pendapatan parkir (tergantung kebijakan daerah setempat).