Manusia dalam menjalani kehidupannya tidak hanya berhenti pada melihat sebuah fakta, lebih dari itu manusia melampaui fakta dengan memberikan makna kedalamnya. ketika sedang berkendara lalu melihat kendaraan didepan menyalakan lampu sein sebelah kiri, orang lain yang melihatnya tidak hanya menyimpulkan lampu sein yang terdapat di kendaraan itu sebagai benda biasa yang tidak memiliki makna apa - apa, asumsinya bahwa kendaraan itu akan berbelok ke arah kiri.
Manusia adalah makhluk simbol, sebuah kalimat yang pertama kali dicetuskan oleh Cassirer dalam bukunya An Essay on Man, Cassirer adalah salah seorang dari sederet filsuf yang mencoba memberikan penjelasan mengenai manusia, mengungkap perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. Manusia sebagai makhluk simbol adalah perbedaan manusia dengan makhluk yang lainnya, gagasan ini tidak berhenti pada pernyataan manusia sebagai makhluk yang berfikir, tetapi setelah kemampuannya berpikir itu manusia juga mampu membuat simbol - simbol, menggunakan serta menafsirkannya.
Tidak hanya hidup pada dunia nyata, dunia yang nampak secara fisik, akan tetapi manusia juga hidup dalam dunia simbol yang memungkinkan manusia untuk berpikir dan bertingkah laku secara simbolik, bahasa misalnya sebagai produk dunia simbolik manusia, manusia sebagai makhluk simbol terwujud dalam kemampannya berbahasa. bahasa adalah sistem simbol, setiap tanda bahasa terdiri atas dua sisi. Sisi pertama disebut imaji bunyi (a sound image) yang berdiri sebagai penanda. Sementara, sisi kedua yang berperan selaku petanda dinamakan konsep.
 Mudahnya, saat mendengar atau mengucapkan kata laut, kita dapat langsung membayangkan konsep laut di dalam benak: berombak, luas, dalam, dan dekat dengan pantai, misalnya. Kita bisa lihat bahwa penanda memicu petanda. Namun, petanda pun dapat memicu munculnya penanda. Ketika konsep laut sudah terbayang di dalam kepala, kita mampu mengucapkan imaji bunyi l-a-u-t.[1] Kemampuan berbahasa yang dimiliki manusia menjadi ciri khas yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya.
Simbol merupakan salah satu bagian dari sistem tanda, Menurut Peirce, tanda merupakan sesuatu yang berfungsi untuk mewakili sesuatu yang lain dengan mempresentasikan sesuatu yang diwakilinya[2], teorinya tentang semiotika dikenal dengan Trikotomi Peirce :Â
Â
- Ikon merupakan hubungan yang berdasarkan pada kemiripan artinya representamen memiliki kemiripan dengan objek yang diwakilinya. Contoh gambar kamera dalam sebuah lingkaran dan garis diagonal berwarna merah sebagai ikon untuk menandakan larangan menggunakan kamera, ikon ini biasanya terdapat di area pengisian bahan bakar, antara repsresentamen (ikon kamera) dan objek (larangan memotret) memiliki kemiripan.
- Indeks merupakan hubungan yang memiliki hubungan eksistensial. Sesuatu hal disebabkan adanya sesuatu yang lain atau adanya hubungan sebab akibat. Seperti tidak ada asap bila tidak ada api. Asap dapat dianggap sebagai tanda untuk eksisnya api dan dalam hubungan seperti ini asap adalah indeks.
- Simbol merupakan tanda yang menghubungkan antara tanda dan objek ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku di masyarakat. Simbol memiliki sifat konvensional dan arbiter artinya tanda itu telah disepakati oleh dua belah pihak untuk ditaati. Misalnya bendera kuning berarti menandakan adanya kematian atau lelayu.[3]
Â
Agama dan simbol
Doktrin agama berisi ajaran -- ajaran abstrak (tidak terbentuk), pada umumnya agama besar berisi doktrin utama mengenai kepercayaan kepada Tuhan, nabi dan adanya kehidupan setelah kematian, hal -- hal yang bersifat teologis secara eksistensial berada dalam dimensi lain dari dimensi manusia, dimensi yang tidak terverifikasi secara inderawi, tidak empiris. Dalam islam dimensi hal -- hal yang bersifat teologis disebut dengan alam ghaib. Simbol dalam agama digunakan untuk mewujudkan sesuatu yang abstrak kedalam dimensi manusia, agar tercapai pemahaman manusia mengenai ajaran yang abstrak tersebut.
 Sama halnya seperti manusia melihat segala sesuatu dengan kaca mata simbolik, menafsirkan segala sesuatu dengan berbagai konsep yang ada di kepalanya.Â
Demikian pula agama, segala atribut, gejala, perilaku, gagasan yang identik dengan keagamaan maka tidak bisa dilihat dengan kaca mata kuda, yakni melihat sesuatu dengan realitas apa adanya tanpa memahami makna mendalam yang terkandung didalamnya, memahami agama dengan berhenti pada simbol akan mengaburkan pandangan terhadap substansi agama, jika gejala agama hanya dipandang sesuai realitas apa adanya maka orang akan mengatakan "Tuhan umat islam ada diatas kubah terkurung dalam lingkaran besi", atau "umat kristiani beribadah menyembah patung yesus".Â
Adanya kajian keagamaan (studi agama) yang dilakukan melalui berbagai pendekatan keilmuan seperti antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan yang lainnya menandakan bahwa melalui simbol yang dikandungnya agama memiliki fungsi dan nilai yang dapat mempengaruhi struktur sosial, politik budaya dan segala dimensi kemanusiaan lainnya.
Sakralitas simbol agama
Simbol berfungsi mengubah keadaan yang profan (biasa saja) menjadi sakral (disucikan), sebagai contoh orang Indonesia akan marah jika bendera merah putih dijadikan keset atau ada sebuah keset yang berwarna merah putih, keset yang semula hanya benda biasa dan mungkin tanpa alasan seseorang memilih warna merah putih untuk dijadikan keset, namun ketika warna tersebut sudah menjadi simbol (dalam hal ini sebagai warna bendera negara Indonesia) maka timbulah sifat sakral dalam warna tersebut.Â
Sakralitas simbol lebih tegas lagi jika memasuki ranah keagamaan, Ka'bah yang jika dilihat secara profan merupakan bangunan biasa, namun karena menjadi simbol atas suatu keagamaan maka Ka'bah disifati sakral oleh umat muslim, dianggap sebagai objek yang suci dan harus dihormati.
 Eliade menyebut hierophany sebagai upaya dari yang sakral untuk menunjukkan eksistensinya kepada manusia. Lantaran dimensi manusia dan yang transenden tersebut berbeda maka sakral membuatnya menjadi dekat dan tersentuh. Walaupun di satu sisi Ka'bah sampai saat ini hanyalah seonggok batu, namun umat Muslim tak akan beranggapan sesederhana itu. Ka'bah disucikan dan diagungkan dalam Islam.Â
Semua bermula dari hierophany. Ka'bah ketika disentuh oleh yang sakral maka objek yang profan ini akan berubah. Ka'bah bukan hanya sekedar batu biasa, tapi sebuah objek suci dan menakjubkan, dan di dalamnya terkandung yang Sakral.[4] Sakralitas simbol agama juga terdapat pada ruang dana waktu, ada beberapa tempat dan waktu yang disucikan dalam tradisi agama, seperti masjidil haram dan bulan ramadhan.
Karena bahasa bersifat arbitrer dan makna simbol bersifat konvensional (sesuai kesepakatan masyarakat tertentu) maka masalah lain muncul dalam sakralitas simbol agama. Dalam tradisi agama budha para janda memakai pakaian berwarna putih yang menandakan suasana berkabung, namun hal berbeda terdapat dalam tradisi kristen, perempuan yang memakai pakaian berwarna putih adalah para pengantin, sedangkan pakaian yang digunakan untuk berkabung adalah berwarna hitam, hal lain juga didapati dalam tradisi agama islam, beberapa pemimpin agama islam menganjurkan perempuan agar berbusana hitam dan tidak tergantung pada kondisi berkabung ataupun tidak.Â
Contoh lebih jelas kita dapati dari adanya ritual keagamaan islam pada bulan tertentu menyembelih hewan kambing, sapi atau unta yang disebut sebagai kurban, namun dalam tradisi agama hindu justru sapi disakralkan dan haram hukumnya memakan sapi.
Â
Disfungsi simbol dan kematangan beragama.
Â
Disfungsi simbol bukan hanya permasalahan eksternal yang dihadapi agama, masalah disfungsi simbol keagamaan juga dibenihkan oleh para penganut agama, disfungsi simbol agama yang menjangkiti penganut agama berujung pada sikap formalitas beragama.
Simbol agama berfungsi sebagai eksistensi dan identitas agama, dari berbagai aliran teologi memiliki model simbol yang berbeda -- beda, model yang berbeda ini koheren dengan ajaran agama tertentu, Ka'bah sebagai identitas agama islam koheren dengan ritual yang terdapat dalam ajaran agama islam (Ibadah haji), Baptis sebagai simbol kristen berakar dari ritual yang ada pada agama kristen, dengan adanya model simbol yang berbeda dari setiap agama pada suatu momen bisa membawa penganut agama  pada suatu sikap beragama secara simbolis.Â
Sebagai contoh kasus jilbab yang selalu mewarnai permasalahan keagamaan, menutup aurat termasuk ajaaran agama islam, akan tetapi bukan berarti dengan melihat orang yang tidak menutup aurat langsung melabeli orang itu tidak baik bahkan tidak ada kebaikan sama sekali pada orang tersebut, menilai kebaikan seseorang hanya dengan label agama semata adalah sikap simbolis beragama yang bermasalah. Disisi lain adanya model beragama yang berhenti sebatas wilayah formal saja juga menambah permasalahan kasus beragama secara simbolis,Â
Kaum formalis agama sering kali juga dapat saja mengklaim diri berposisi lebih tinggi dari pada orang atau kelompok lain di luar mereka secara rohani. Muncul kesombongan rohani/religius dalam diri mereka karena hampir seluruh totalitas praksis harian mereka dipenuhi dengan unsur penggunaan simbolisme agama sebagai titik tumpu dan kriteria penilaian moral. Mereka menggunakan simbol-simbol agama hampir di semua ruang kehidupan mereka, termasuk di ruang-ruang publik eksistensi mereka.
Mereka dapat saja bersikap munafik dalam hidup beragama. Penggunaan simbol itu hanya sebatas formal saja (agar terlihat baik), namun tidak sungguh bermakna dalam kehidupan internal batiniah mereka. Terjadi pendangkalan rohani, karena bukan nilai substansi yang mereka kejar, tetapi nilai artifisial, aksidental, popularitas dan egoisme diri yang diutamakan.[5]
Â
 Sumber :
[1] Yudhistira, "Penanda dan Petanda Ferdinand de Saussure," Narabahasa, September 18, 2021, Â https://narabahasa.id/tokoh-bahasa/penanda-dan-petanda-ferdinand-de-saussure.
[2] Patriansyah, Mukhsin (2014). "ANALISIS SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PEIRCE KARYA PATUNG RAJUDIN BERJUDUL MANYESO DIRI". Jurnal Ekspresi Seni.Â
[4] Kusumawati, Aning Ayu. "Nyadran sebagai realitas yang sakral: perspektif Mircea Eliade." THAQAFIYYAT: Jurnal Bahasa, Peradaban Dan Informasi Islam 14.1 (2016): 145-160.
[5] Frederikus Fios, "Dari Formalisme Agama Menuju Sikap Toleran," Binus University, Februari 16, 2022, Â https://binus.ac.id/character-building/2022/02/3255/.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H