Â
Disfungsi simbol bukan hanya permasalahan eksternal yang dihadapi agama, masalah disfungsi simbol keagamaan juga dibenihkan oleh para penganut agama, disfungsi simbol agama yang menjangkiti penganut agama berujung pada sikap formalitas beragama.
Simbol agama berfungsi sebagai eksistensi dan identitas agama, dari berbagai aliran teologi memiliki model simbol yang berbeda -- beda, model yang berbeda ini koheren dengan ajaran agama tertentu, Ka'bah sebagai identitas agama islam koheren dengan ritual yang terdapat dalam ajaran agama islam (Ibadah haji), Baptis sebagai simbol kristen berakar dari ritual yang ada pada agama kristen, dengan adanya model simbol yang berbeda dari setiap agama pada suatu momen bisa membawa penganut agama  pada suatu sikap beragama secara simbolis.Â
Sebagai contoh kasus jilbab yang selalu mewarnai permasalahan keagamaan, menutup aurat termasuk ajaaran agama islam, akan tetapi bukan berarti dengan melihat orang yang tidak menutup aurat langsung melabeli orang itu tidak baik bahkan tidak ada kebaikan sama sekali pada orang tersebut, menilai kebaikan seseorang hanya dengan label agama semata adalah sikap simbolis beragama yang bermasalah. Disisi lain adanya model beragama yang berhenti sebatas wilayah formal saja juga menambah permasalahan kasus beragama secara simbolis,Â
Kaum formalis agama sering kali juga dapat saja mengklaim diri berposisi lebih tinggi dari pada orang atau kelompok lain di luar mereka secara rohani. Muncul kesombongan rohani/religius dalam diri mereka karena hampir seluruh totalitas praksis harian mereka dipenuhi dengan unsur penggunaan simbolisme agama sebagai titik tumpu dan kriteria penilaian moral. Mereka menggunakan simbol-simbol agama hampir di semua ruang kehidupan mereka, termasuk di ruang-ruang publik eksistensi mereka.
Mereka dapat saja bersikap munafik dalam hidup beragama. Penggunaan simbol itu hanya sebatas formal saja (agar terlihat baik), namun tidak sungguh bermakna dalam kehidupan internal batiniah mereka. Terjadi pendangkalan rohani, karena bukan nilai substansi yang mereka kejar, tetapi nilai artifisial, aksidental, popularitas dan egoisme diri yang diutamakan.[5]
Â
 Sumber :
[1] Yudhistira, "Penanda dan Petanda Ferdinand de Saussure," Narabahasa, September 18, 2021, Â https://narabahasa.id/tokoh-bahasa/penanda-dan-petanda-ferdinand-de-saussure.
[2] Patriansyah, Mukhsin (2014). "ANALISIS SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PEIRCE KARYA PATUNG RAJUDIN BERJUDUL MANYESO DIRI". Jurnal Ekspresi Seni.Â