Mohon tunggu...
Rivaldiansyah Wijaya
Rivaldiansyah Wijaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaan

Seorang mahasiswa yang gemar membuat tulisan tentang apapun yang ingin dicurahkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Tepi Garis Kematian

27 Juni 2024   13:37 Diperbarui: 29 Juni 2024   00:16 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak kepergian sang kakak, hidup Yayan langsung terasa sepi dan kosong. Begitu banyak memori atau kenangan yang biasa mereka lakukan bersama. 

Kakak orangnya sangat tangguh. Dia tidak pernah mau berbagi duka pada orang sekitar, termasuk keluarganya sendiri. Kabar kematian kakaknya kemarin yang disampaikan oleh pihak kampus---terutama dari pihak pengelola asrama---membuat keluarga mereka sangat terpukul dengan kejadian itu. 

Apalagi, terakhir kali Yayan merasa ikut campur dalam masalah pribadi kakaknya adalah dengan mengirim pesan melalui nomor WhatsApp mamanya dan berkata untuk tidak boros, juga tidak menyusahkan orang di rumah. Sok menasihati, tetapi itulah yang mungkin membuat sang kakak menjadi tertekan dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. 

Kehidupan kakaknya bisa dibilang cukup buruk dan tidak mendapat banyak pengalaman baik di masa remajanya. Waktu SMP, dia di-bully habis-habisan karena fisiknya yang kecil dan kurus hingga merasa depresi dan melakukan hal yang hampir saja menghilangkan nyawanya di dalam kamarnya. Untung saja sang kakak masih diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan dalam hidupnya. 

Namun, kali ini dia terjun dari lantai tiga. Darah berceceran di mana-mana dan mengakibatkan sebagian sisi wajahnya retak terkena permukaan yang berbatu. Dia benar-benar melakukannya---melewati batas.

Pengajian sudah dimulai beberapa jam yang lalu sembari menunggu jenazah kakaknya tiba di rumah. Warga dan tetangga sekitar sudah heboh berdatangan. Ada yang turut mendoakan, membantu mereka mendirikan tenda, dan ada juga yang turut berkontribusi dalam penyampaian informasi. Semua berkumpul menjadi satu. Yayan hanya bisa terduduk lemas di atas kasur kamarnya sambil memandangi pigura foto bersama kakaknya. 

Orang tuanya sangat histeris mendengar bunyi sirene yang terngiang-ngiang dari mobil ambulans saat membawa mayat sang kakak. Apalagi sang mama yang menangis hingga terjerit-jerit. Bagaimana tidak? kehilangan anaknya lebih cepat dibanding dirinya itu sangat menyakitkan. Papa hanya terduduk lemas sambil berusaha menenangkan mama. 

Jenazah kakak disalatkan sesuai ketentuan agama yang mereka anut. Jenazah tidak perlu dimandikan lagi karena sudah dilakukan di Bandung sebelumnya. Yayan tidak melihat wajah sang kakak untuk terakhir kali karena terus berada di dalam kamar. Kehilangan kakaknya membuat Yayan sangat terpukul. Bibi kemudian datang ke kamar dan merangkul Yayan.

"Ayo, Yayan. Kita ke depan," ajak bibi kepada Yayan. Mereka berdua keluar kamar karena jenazah akan segera disalatkan. Air mata satu per satu menetes secara bergantian, tetapi Yayan berusaha keras untuk menahannya karena ia tahu air mata bisa menjadi pemberat langkah almarhum kakaknya menuju alam lain. 

Keranda dinaikkan dan Yayan mendapat tugas mengangkat bagian tengahnya. Sementara bagian sisi-sisi yang panjang itu hanya boleh dilakukan oleh pria dewasa seperti papa, paman, dan beberapa saudara dari pihak mama yang ikut membantu. Yayan mendapat bagian untuk meletakkan jenazah ke dalam liang lahatnya. 

Ketika Papa mengumandangkan azan, Yayan sebisa mungkin menutup mata. Ia tidak sanggup untuk melihat ke arah jenazah karena takut dirinya menangis terisak-isak. 

Yayan membuka kain yang menutup wajah almarhum kakaknya. Di situlah Yayan baru bisa melihat wajah kakaknya yang membiru untuk terakhir kalinya. 

Pemakaman telah selesai. Mereka semua kembali ke rumah untuk bersiap-siap mengadakan acara tahlilan tujuh hari ke depan kematian sang kakak. 

Hari-hari berjalan normal, rumah menjadi sepi ketika pulang. Kamar yang biasanya diisi berdua, kini Yayan sendirian. "Yayan, ayo sarapan dulu," ucap Mama tiap pagi hari yang selalu menyuruhnya untuk sarapan. 

Tidak ada obrolan saat mereka sarapan. Hanya ada Yayan dan Papa saja. Sementara televisi terus saja sengaja dinyalakan untuk memecah keheningan di antara mereka  berdua.

Rumah menjadi sunyi ketika mereka semua pergi beraktivitas di luar, ada yang bekerja dan ada yang bersekolah. Sorenya mereka bersiap-siap untuk melakukan tahlilan hari keempat, dibantu oleh beberapa saudara yang datang. Mama menjadi sedikit terbantu karena tema berkat atau isi jamuannya adalah olahan makanan, bukan jajanan biasa. Tahlilan berlangsung seperti biasa, ustaz di daerah mereka yang senantiasa memimpin jalannya acara tahlilan atau zikiran. 

Jam sepuluh malam, semua orang sudah tertidur. Acara tahlilan tentu saja sudah beres dilakukan meskipun sempat lama karena ada acara mengobrol. Sejak tadi, mamanya sudah tertidur dengan lelap di atas kasur. Ketika suasana malam hari yang sepi, masih ada Yayan yang bermain gawai karena belum ngantuk. Tiba-tiba saja mati lampu. Yayan terkejut dan segera bangun untuk mencari lilin atau senter.

"Aduh, di mana, nih, lilin?!" Sebalnya Yayan mencari lilin yang tak kunjung ketemu. Sampailah Yayan menemukannya di lemari bekas kakak yang masih dipenuhi oleh buku-buku. Yayan menyulut sumbu lilinnya dan bersiap-siap untuk kembali tidur. 

Namun, belum sempat Yayan memejamkan matanya, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. Sangat keras seperti orang yang sangat marah. 

Yayan yang masih terbangun merasa kaget sekaligus takut. Siapakah yang datang bertamu malam-malam? Yayan mendadak bergidik merinding ketika mendekati pintu rumahnya. Ketukan itu masih berbunyi sangat jelas. Ketika dibuka, Yayan menyipitkan mata dan mengedepankan lilinnya. Namun, api di lilin seketika padam. Hingga tiba-tiba saja Yayan mencium bau anyir yang begitu menyengat sekaligus bau tanah yang sangat dekat. 

Sekelebat cahaya bulan menyinari gelapnya suasana malam yang tak seberapa. Yayan melihat ada sosok pocong yang berdiri tak jauh dari hadapannya. Yayan terkejut ketakutan lalu segera mengunci pintu dan tidak sengaja menjatuhkan lilinnya ke atas lantai. "Astagfirullah, Astagfirullah," ucap Yayan sembari mengusap wajahnya dan mencoba untuk mengontrol rasa takutnya. 

Pagi harinya, Yayan banyak melamun. Kejadian semalam membuat suasana rumahnya menjadi menakutkan. Apalagi saat Yayan di hari Sabtu, libur sendirian di rumah. Yayan merasa bahwa dia tidak sendirian. 

Ada seseorang yang mengawasinya. Ketika sedang tidur pun terasa ada seseorang di sampingnya. Bau anyir yang dicium Yayan kemarin malam, merebak di kamarnya. Perasaan Yayan sudah mulai tidak enak. Dia pun bersiap-siap untuk pergi keluar dari rumahnya. Dari kejauhan, tampak sosok bayang-bayang pria yang berdiri di balik jendela. Yayan semakin menjauhi rumahnya sendiri. 

Malam demi malam keluarga mereka diteror oleh sosok makhluk yang tidak mereka kenali. Mendadak pada satu malam ada suara seseorang sedang mencuci piring padahal Mama sudah terlelap. 

Barang-barang seperti sapu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Yang paling menyeramkan ketika Yayan melihat sosok almarhum kakaknya tidur tepat di sampingnya. Hingga Yayan mengalami demam 3 hari berturut-turut. Karena teror dari sang kakak, mereka memanggil orang pintar untuk menanyakan mengapa hal ini bisa terjadi. 

"Budak maneh nu sulung, boga hiji tugas anu acan diselesaikeun di dunya ieu," ucap Mbah, orang pintar di kampung mereka menuturkan bahwasanya anak sulung mereka masih memiliki tanggungan atau tugas yang belum terselesaikan.

"Tugas naon, Mbah?" tanya sang mama dengan saksama pada Mbah.

"Utang. Budak maneh luntang-lantung di dunya teu bisa balik, teu bisa ka akhirat, teu tenang hirupna." Mbah memberikan jawaban utang. Itulah alasan arwah anak mereka terus bergentayangan.

"Utang naon, Mbah?" tanya papa dengan saksama.

"Teuing, atuh. Sok etama kumaha maraneh nu neangan sorangan jawabana," jawaban si Mbah membuat kedua orang tua Yayan menjadi putus asa dan merasa sedih. Apalagi saat si Mbah seolah-olah tidak mau ikut campur dan membantu mereka. Utang apa lagi yang belum dituntaskannya? Mereka pun langsung ke rumah-rumah tetangga dan mengajak bicara. Di antara mereka sudah mengikhlaskan dan ada juga yang bilang tidak memiliki utang apa pun. Yayan terpikirkan bahwa ada surat yang kemarin belum sempat dibuka.

"Mama! Papa!" seru Yayan sedikit berlari.

"Yayan, kamu harusnya istirahat di kamar," ucap mamanya.

"Yayan sepertinya tahu utang apa yang si Mbah bilang barusan," ujar Yayan memberi tahu dengan sungguh-sungguh. Tahlilan tetap dilakukan oleh keluarga mereka, sambil berusaha untuk menebus utang-utang yang masih ada. Kali ini, Yayan bisa melihat arwah kakaknya sedang duduk di kursi yang berada di ruang tamu. Awalnya Yayan merasa takut tiap kali melihat arwah kakaknya, tetapi ketakutan itu hanya sementara. "Kakak yang sabar, ya. Kita bakalan melunasi, kok, dan kakak bisa tenang di sana," ucap Yayan.

Minggu pagi, Pak RT tiba-tiba datang ke rumah kami dengan raut wajah yang ketakutan. Orang tua kami langsung menyambutnya dan mempersilahkan masuk kedalam rumah kami. 

"Ada apa pak datang kemari?" tanya sang mama pada Pak RT.

"Begini, Pak. Saya datang kemari datang untuk sensus penduduk saja. Ini formulirnya, silakan diisi sekarang. Sama satu hal lagi, saya mau cerita...," ucap Pak RT.

"Cerita apa pak?" tanya sang papa dengan saksama.

"Begini. Tadi malam... haduh, saya jadi tidak enak kalau ceritanya sekarang. Takut kalian tersinggung." Pak RT masih bingung dan bimbang untuk menceritakan sesuatu. Papa dan Mama berkata tidak apa-apa, tetapi di pikiran mereka sudah terpikirkan pasti mengenai penampakan anak mereka.

"Selepas pulang dari kantor kecamatan jam sepuluh malam, saya lihat anak kalian. Andi. Sedang duduk di teras sambil merokok. Saya tentu sudah berpikiran jelas bahwa itu bukanlah manusia tapi itu persis seperti manusia!" cerita Pak RT. 

Papa menghela napas, begitu pun sang mama. Mereka hanya bisa diam dan bingung. Tiba-tiba saja salah satu pigura foto Andi jatuh dan pecah. Sepertinya Pak RT sudah mulai paham dan berjanji tidak akan menceritakannya, apalagi menyebarkannya kepada para tetangga.

Desain by Rival
Desain by Rival

Hari demi hari berlalu dengan cepat. Beberapa debt collector datang ke rumah mereka. Kebetulan yang ada di rumah hanya Yayan dan Papa. 

Tentu saja, papa yang menangani semuanya. Papa memberikan uang pada debt collector, menandatangani surat keterangan lunas dan negosiasi kecil. Secara sah, utang-utang almarhum anaknya pun sudah lunas. 

Pamannya tak lama datang dan menawarkan bantuan jika masih ada utang, baik itu pinjaman online maupun pinjaman dari orang-orang yang dikenal oleh anaknya ketika masih hidup. Dia berjanji akan bantu membayar berapa pun nominalnya. Hal ini lantaran pamannya sangat menyayangi Andi, keponakannya. 

Sudah seratus hari mengenang kepergian anak sulungnya, tahlilan diadakan kembali. Kali ini suasana rumah menjadi lebih sejuk dari biasanya. Setiap malam mereka tidak lagi ketakutan dengan suara misterius di dapur. Piring-piring yang sudah tercuci bersih di meja, selimut kamar Yayan mendadak berantakan, dan bau anyir yang menyengat itu, semua hilang secara perlahan-lahan. 

Pada malam hari, Yayan duduk sendirian di ruang tamu dengan kondisi gelap dan hanya menyalakan satu buah lilin sebagai penerang. Kemarin dirinya masih bisa bersama sang kakak meskipun sudah berbeda alam dan dimensi. Sepertinya malam ini adalah malam yang sepi dari biasanya. Tak sadar, air mata menetes dari pelupuk Yayan. 

"Kakak pasti sudah tenang di alam sana, ya, kan, Kak? Tapi bagus, sih, karena dunia bukan tempat yang bagus untuk Kakak tinggali lagi. Kakak sepantasnya berada di surga. Mama dan Papa bilang, kita kehabisan banyak uang buat bayar utang-utang Kakak, tapi itu tidak masalah. Yang penting Kakak di sana tenang dan kami tidak menganggap itu sebagai beban lagi, kok. Aku juga minta maaf karena dulu suka banget ikut campur dalam masalah pribadi Kakak. Kak Andi adalah orang terkuat yang Yayan kenal. Sekarang Yayan sendirian. Tidak ada teman yang bisa Yayan jahili setiap kali Kakak sedang maskeran dan belajar. Yayan janji akan jadi anak yang sukses dan sekuat Kakak. Yayan juga janji akan meneruskan harapan, cita-cita, dan dendam Kakak. Semoga Kakak di sana bahagia dan tenang, amin," doa Yayan sembari berduduk sila di depan lilin yang ditaruh di atas meja.

 "Selamat malam, Kakak."

Tiba-tiba ada hawa panas meniup lilin tersebut sampai padam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun