Mohon tunggu...
Rivaldiansyah Wijaya
Rivaldiansyah Wijaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaan

Seorang mahasiswa yang gemar membuat tulisan tentang apapun yang ingin dicurahkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Tepi Garis Kematian

27 Juni 2024   13:37 Diperbarui: 29 Juni 2024   00:16 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pamannya tak lama datang dan menawarkan bantuan jika masih ada utang, baik itu pinjaman online maupun pinjaman dari orang-orang yang dikenal oleh anaknya ketika masih hidup. Dia berjanji akan bantu membayar berapa pun nominalnya. Hal ini lantaran pamannya sangat menyayangi Andi, keponakannya. 

Sudah seratus hari mengenang kepergian anak sulungnya, tahlilan diadakan kembali. Kali ini suasana rumah menjadi lebih sejuk dari biasanya. Setiap malam mereka tidak lagi ketakutan dengan suara misterius di dapur. Piring-piring yang sudah tercuci bersih di meja, selimut kamar Yayan mendadak berantakan, dan bau anyir yang menyengat itu, semua hilang secara perlahan-lahan. 

Pada malam hari, Yayan duduk sendirian di ruang tamu dengan kondisi gelap dan hanya menyalakan satu buah lilin sebagai penerang. Kemarin dirinya masih bisa bersama sang kakak meskipun sudah berbeda alam dan dimensi. Sepertinya malam ini adalah malam yang sepi dari biasanya. Tak sadar, air mata menetes dari pelupuk Yayan. 

"Kakak pasti sudah tenang di alam sana, ya, kan, Kak? Tapi bagus, sih, karena dunia bukan tempat yang bagus untuk Kakak tinggali lagi. Kakak sepantasnya berada di surga. Mama dan Papa bilang, kita kehabisan banyak uang buat bayar utang-utang Kakak, tapi itu tidak masalah. Yang penting Kakak di sana tenang dan kami tidak menganggap itu sebagai beban lagi, kok. Aku juga minta maaf karena dulu suka banget ikut campur dalam masalah pribadi Kakak. Kak Andi adalah orang terkuat yang Yayan kenal. Sekarang Yayan sendirian. Tidak ada teman yang bisa Yayan jahili setiap kali Kakak sedang maskeran dan belajar. Yayan janji akan jadi anak yang sukses dan sekuat Kakak. Yayan juga janji akan meneruskan harapan, cita-cita, dan dendam Kakak. Semoga Kakak di sana bahagia dan tenang, amin," doa Yayan sembari berduduk sila di depan lilin yang ditaruh di atas meja.

 "Selamat malam, Kakak."

Tiba-tiba ada hawa panas meniup lilin tersebut sampai padam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun