Mohon tunggu...
Rivaldiansyah Wijaya
Rivaldiansyah Wijaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaan

Seorang mahasiswa yang gemar membuat tulisan tentang apapun yang ingin dicurahkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Tepi Garis Kematian

27 Juni 2024   13:37 Diperbarui: 29 Juni 2024   00:16 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kematian. (Karya Ong Hari Wahyu/KOMPAS.ID)

"Yayan sepertinya tahu utang apa yang si Mbah bilang barusan," ujar Yayan memberi tahu dengan sungguh-sungguh. Tahlilan tetap dilakukan oleh keluarga mereka, sambil berusaha untuk menebus utang-utang yang masih ada. Kali ini, Yayan bisa melihat arwah kakaknya sedang duduk di kursi yang berada di ruang tamu. Awalnya Yayan merasa takut tiap kali melihat arwah kakaknya, tetapi ketakutan itu hanya sementara. "Kakak yang sabar, ya. Kita bakalan melunasi, kok, dan kakak bisa tenang di sana," ucap Yayan.

Minggu pagi, Pak RT tiba-tiba datang ke rumah kami dengan raut wajah yang ketakutan. Orang tua kami langsung menyambutnya dan mempersilahkan masuk kedalam rumah kami. 

"Ada apa pak datang kemari?" tanya sang mama pada Pak RT.

"Begini, Pak. Saya datang kemari datang untuk sensus penduduk saja. Ini formulirnya, silakan diisi sekarang. Sama satu hal lagi, saya mau cerita...," ucap Pak RT.

"Cerita apa pak?" tanya sang papa dengan saksama.

"Begini. Tadi malam... haduh, saya jadi tidak enak kalau ceritanya sekarang. Takut kalian tersinggung." Pak RT masih bingung dan bimbang untuk menceritakan sesuatu. Papa dan Mama berkata tidak apa-apa, tetapi di pikiran mereka sudah terpikirkan pasti mengenai penampakan anak mereka.

"Selepas pulang dari kantor kecamatan jam sepuluh malam, saya lihat anak kalian. Andi. Sedang duduk di teras sambil merokok. Saya tentu sudah berpikiran jelas bahwa itu bukanlah manusia tapi itu persis seperti manusia!" cerita Pak RT. 

Papa menghela napas, begitu pun sang mama. Mereka hanya bisa diam dan bingung. Tiba-tiba saja salah satu pigura foto Andi jatuh dan pecah. Sepertinya Pak RT sudah mulai paham dan berjanji tidak akan menceritakannya, apalagi menyebarkannya kepada para tetangga.

Desain by Rival
Desain by Rival

Hari demi hari berlalu dengan cepat. Beberapa debt collector datang ke rumah mereka. Kebetulan yang ada di rumah hanya Yayan dan Papa. 

Tentu saja, papa yang menangani semuanya. Papa memberikan uang pada debt collector, menandatangani surat keterangan lunas dan negosiasi kecil. Secara sah, utang-utang almarhum anaknya pun sudah lunas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun