Mohon tunggu...
Rivaldiansyah Wijaya
Rivaldiansyah Wijaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaan

Seorang mahasiswa yang gemar membuat tulisan tentang apapun yang ingin dicurahkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Tepi Garis Kematian

27 Juni 2024   13:37 Diperbarui: 29 Juni 2024   00:16 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kematian. (Karya Ong Hari Wahyu/KOMPAS.ID)

Pagi harinya, Yayan banyak melamun. Kejadian semalam membuat suasana rumahnya menjadi menakutkan. Apalagi saat Yayan di hari Sabtu, libur sendirian di rumah. Yayan merasa bahwa dia tidak sendirian. 

Ada seseorang yang mengawasinya. Ketika sedang tidur pun terasa ada seseorang di sampingnya. Bau anyir yang dicium Yayan kemarin malam, merebak di kamarnya. Perasaan Yayan sudah mulai tidak enak. Dia pun bersiap-siap untuk pergi keluar dari rumahnya. Dari kejauhan, tampak sosok bayang-bayang pria yang berdiri di balik jendela. Yayan semakin menjauhi rumahnya sendiri. 

Malam demi malam keluarga mereka diteror oleh sosok makhluk yang tidak mereka kenali. Mendadak pada satu malam ada suara seseorang sedang mencuci piring padahal Mama sudah terlelap. 

Barang-barang seperti sapu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Yang paling menyeramkan ketika Yayan melihat sosok almarhum kakaknya tidur tepat di sampingnya. Hingga Yayan mengalami demam 3 hari berturut-turut. Karena teror dari sang kakak, mereka memanggil orang pintar untuk menanyakan mengapa hal ini bisa terjadi. 

"Budak maneh nu sulung, boga hiji tugas anu acan diselesaikeun di dunya ieu," ucap Mbah, orang pintar di kampung mereka menuturkan bahwasanya anak sulung mereka masih memiliki tanggungan atau tugas yang belum terselesaikan.

"Tugas naon, Mbah?" tanya sang mama dengan saksama pada Mbah.

"Utang. Budak maneh luntang-lantung di dunya teu bisa balik, teu bisa ka akhirat, teu tenang hirupna." Mbah memberikan jawaban utang. Itulah alasan arwah anak mereka terus bergentayangan.

"Utang naon, Mbah?" tanya papa dengan saksama.

"Teuing, atuh. Sok etama kumaha maraneh nu neangan sorangan jawabana," jawaban si Mbah membuat kedua orang tua Yayan menjadi putus asa dan merasa sedih. Apalagi saat si Mbah seolah-olah tidak mau ikut campur dan membantu mereka. Utang apa lagi yang belum dituntaskannya? Mereka pun langsung ke rumah-rumah tetangga dan mengajak bicara. Di antara mereka sudah mengikhlaskan dan ada juga yang bilang tidak memiliki utang apa pun. Yayan terpikirkan bahwa ada surat yang kemarin belum sempat dibuka.

"Mama! Papa!" seru Yayan sedikit berlari.

"Yayan, kamu harusnya istirahat di kamar," ucap mamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun