Mohon tunggu...
Rivaldiansyah Wijaya
Rivaldiansyah Wijaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaan

Seorang mahasiswa yang gemar membuat tulisan tentang apapun yang ingin dicurahkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Tepi Garis Kematian

27 Juni 2024   13:37 Diperbarui: 29 Juni 2024   00:16 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kematian. (Karya Ong Hari Wahyu/KOMPAS.ID)

Ketika Papa mengumandangkan azan, Yayan sebisa mungkin menutup mata. Ia tidak sanggup untuk melihat ke arah jenazah karena takut dirinya menangis terisak-isak. 

Yayan membuka kain yang menutup wajah almarhum kakaknya. Di situlah Yayan baru bisa melihat wajah kakaknya yang membiru untuk terakhir kalinya. 

Pemakaman telah selesai. Mereka semua kembali ke rumah untuk bersiap-siap mengadakan acara tahlilan tujuh hari ke depan kematian sang kakak. 

Hari-hari berjalan normal, rumah menjadi sepi ketika pulang. Kamar yang biasanya diisi berdua, kini Yayan sendirian. "Yayan, ayo sarapan dulu," ucap Mama tiap pagi hari yang selalu menyuruhnya untuk sarapan. 

Tidak ada obrolan saat mereka sarapan. Hanya ada Yayan dan Papa saja. Sementara televisi terus saja sengaja dinyalakan untuk memecah keheningan di antara mereka  berdua.

Rumah menjadi sunyi ketika mereka semua pergi beraktivitas di luar, ada yang bekerja dan ada yang bersekolah. Sorenya mereka bersiap-siap untuk melakukan tahlilan hari keempat, dibantu oleh beberapa saudara yang datang. Mama menjadi sedikit terbantu karena tema berkat atau isi jamuannya adalah olahan makanan, bukan jajanan biasa. Tahlilan berlangsung seperti biasa, ustaz di daerah mereka yang senantiasa memimpin jalannya acara tahlilan atau zikiran. 

Jam sepuluh malam, semua orang sudah tertidur. Acara tahlilan tentu saja sudah beres dilakukan meskipun sempat lama karena ada acara mengobrol. Sejak tadi, mamanya sudah tertidur dengan lelap di atas kasur. Ketika suasana malam hari yang sepi, masih ada Yayan yang bermain gawai karena belum ngantuk. Tiba-tiba saja mati lampu. Yayan terkejut dan segera bangun untuk mencari lilin atau senter.

"Aduh, di mana, nih, lilin?!" Sebalnya Yayan mencari lilin yang tak kunjung ketemu. Sampailah Yayan menemukannya di lemari bekas kakak yang masih dipenuhi oleh buku-buku. Yayan menyulut sumbu lilinnya dan bersiap-siap untuk kembali tidur. 

Namun, belum sempat Yayan memejamkan matanya, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. Sangat keras seperti orang yang sangat marah. 

Yayan yang masih terbangun merasa kaget sekaligus takut. Siapakah yang datang bertamu malam-malam? Yayan mendadak bergidik merinding ketika mendekati pintu rumahnya. Ketukan itu masih berbunyi sangat jelas. Ketika dibuka, Yayan menyipitkan mata dan mengedepankan lilinnya. Namun, api di lilin seketika padam. Hingga tiba-tiba saja Yayan mencium bau anyir yang begitu menyengat sekaligus bau tanah yang sangat dekat. 

Sekelebat cahaya bulan menyinari gelapnya suasana malam yang tak seberapa. Yayan melihat ada sosok pocong yang berdiri tak jauh dari hadapannya. Yayan terkejut ketakutan lalu segera mengunci pintu dan tidak sengaja menjatuhkan lilinnya ke atas lantai. "Astagfirullah, Astagfirullah," ucap Yayan sembari mengusap wajahnya dan mencoba untuk mengontrol rasa takutnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun