Mohon tunggu...
Rivaldi Ayanda
Rivaldi Ayanda Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa UNJ

Hanya seorang Mahasiswa pencari nilai~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Era Baru Sistem Pendidikan Indonesia: Kurikulum Merdeka dalam Lensa Deschooling Society Pasca Covid-19

22 Desember 2022   17:25 Diperbarui: 22 Desember 2022   17:47 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kurikulum Merdeka menyandang harapan tinggi untuk mampu membentuk karakter bangsa Indonesia dan menyelesaikan masalah-masalah dalam dunia pendidikan Indonesia. Sewajarnya, kurikulum lama yang sedang dalam masa peralihan ini menerima sambutan pro dan kontra dari masyarakat. 

Pertanyaan mendasar yang timbul dari benak masyarakat: apakah kurikulum Merdeka mampu membawa perubahan dan solusi bagi sistem pendidikan kita, atau malah turut menimbulkan permasalahan baru yang menambah peliknya dunia pendidikan di Indonesia. 

Dalam perkembangannya Kurikulum Merdeka ini sangatlah premature dan terkesan memaksakan, apalagi didalam arena COVID-19 varian baru yang makin lama makin menghapuskan harapan bagi kalangan yang terjangkit. Media teknologi pembelajaran yang senantiasa menemani hari-hari belajar kita pun kian kali menimbulkan gebrakan baru yang membantu menjalankan tugas dari Kurikulum Merdeka itu sendiri dalam konteks aksesibilitas pendidikan.

Kurikulum Merdeka, atau bisa disebut juga sebagai Kurikulum Prototipe, merupakan kurikulum yang mempunyai konsep dimana para siswa memiliki kebebasan dalam memilih beberapa mata pelajaran yang tersedia. 

Kurikulum merdeka dalam fungsinya sebenarnya memiliki satu tujuan yang sama dengan K13 maupun KTSP, namun Kurikulum Merdeka mempunyai konsep utama yang menawarkan siswa untuk mengambil jalan minat dan bakatnya tanpa ada arahan yang biasanya diberikan oleh guru di K13 ataupun KTSP. 

Kurikulum Merdeka yang dirancang sedemikian rupa untuk memitigasi culture shock disaat setelah selesainya pandemi nanti ini merupakan salah satu hasil dari pemikiran para pemegang kekuasaan di bidang pendidikan yang melihat fleksibilitas pembelajaran jarak jauh yang sampai sekarang masih dilakukan.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menekankan, pentingnya penyederhanaan kurikulum dalam bentuk kurikulum dalam kondisi khusus (kurikulum darurat). Dalam prinsipnya terdapat beberapa poin penting yang harus diperhatikan ketika kita ingin mengubah kurikulum. Beberapa diantaranya yaitu prinsip relevansi, fleksibilitas, kontonuitas, praktis/efisiensi, dan efektivitas.

Dikutip dari halaman kurikulum.kemdikbud.go.id, Kurikulum Merdeka dimodelkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, dengan berfokus kepada materi yang krusial bagi tumbuh kembang murid, dalam pengembangan karakter serta kompetensi murid. Karakteristik utama dari kurikulum ini yang mendukung pemulihan pembelajaran adalah:

1. Pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil Pelajar Pancasila.

2. Fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi.

3. Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Di Indonesia tersendiri sudah terdapat beberapa instansi pendidikan yang menggunakan pendidikan berbasis Kurikulum Merdeka didalam sistem pembelajaran mereka. Dilansir dari kemdikbud.go.id Kurikulum Merdeka diterapkan di berbagai kota di Indonesia, terpantau pada tanggal 22 Desember 2022 terdapat 143.625 instansi pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia yang sudah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka ini. 

Pemulihan pembelajaran tahun 2022 sampai dengan 2024, Kemendikburistek mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah yang belum atau tidak siap untuk menggunakan Kurikulum Merdeka masih dapat menggunakan Kurikulum 2013 sebagai dasar pengelolaan pembelajaran. 

Sama halnya dengan Kurikulum Darurat yang merupakan modifikasi dari Kurikulum 2013 juga masih dapat digunakan oleh intansi pendidikan tersebut. Kurikulum Merdeka sebagai pilihan bagi semua instansi pendidikan yang di dalam proses pendataan merupakan satuan pendidikan yang siap melaksanakan Kurikulum Merdeka.

Bagaimana pandangan Ivan Illich dalam Deschooling Society dapat dikaitkan dengan pembahasan ini?

Ivan Illich (1971:3) berpendapat bahwa mayoritas siswa, terutama yang berada di kalangan kurang mampu, secara intuitif mengetahui apa yang "diajarkan" oleh sekolah kepada mereka. Sekolah mengajarkan untuk mengacaukan proses dan substansi pendidikan itu sendiri. 

Setelah konteks substansi tersebut menjadi rancu, logika baru akan mulai diasumsikan: semakin banyak belajar, semakin baik hasilnya; atau, kenaikan kelas mengarah pada kesuksesan. Akibatnya murid dengan demikian "disekolahkan" untuk mengacaukan persepsi tentang: pengajaran dengan pembelajaran, peningkatan kelas dengan pendidikan, diploma kelulusan dengan kompetensi individual, dan kefasihan dalam berdialek dengan kemampuan untuk mengatakan sesuatu yang baru.

Deschooling Society secara gamblang menjelaskan mengenai reformasi di dunia pendidikan itu sendiri. Illich cenderung mendefinisikan pendidikan dalam arti luas. Baginya pendidikan sama dengan hidup. 

Pendidikan adalah segala sesuatu yang ada dalam kehidupan untuk mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan. Jadi pendidikan dapat diartikan sebagai pengalaman belajar seseorang sepanjang hidupnya. Illich juga menyadari bahwa hak setiap orang untuk belajar dipersempit oleh kewajiban sekolah. Menurutnya, sekolah mengelompokkan orang dari segi umur yang didasarkan pada tiga premis yang diterima begitu saja, anak hadir disekolah (age-restricting), anak belajar disekolah (teacher-related), dan anak hanya bisa diajar di sekolah (hidden curriculum).

Kurikulum Merdeka menginterpretasikan Pendidikan dalam konteks yang dimana anak dibebaskan dalam memilih pelajaran yang akan mereka konsumsi selama 1 semester kedepan. 

Kurikulum Merdeka, berbeda dari namanya, tidak sepenuhnya membuat kebebasan di arena sekolah dalam konteks pembelajaran. Anak masih harus hadir dan belajar di sekolah, dalam artian kalau mereka masih harus menyerap materi dari Guru, walaupun Kurikulum Merdeka sudah membebaskan murid untuk mengambil materi yang mereka inginkan sesuai dengan bakat dan minat mereka. Ivan Illich jelas menentang kedua premis tersebut, Menurut Illich, sistem pendidikan yang baik dan membebaskan harus mempunyai tiga tujuan, yaitu:

(a) pendidikan harus menyediakan bagi semua orang yang ingin belajar peluang untuk menggunakan sumber-sumber daya yang ada pada suatu ketika dalam kehidupan mereka,

(b) pendidikan harus mengizinkan semua orang, yang mau membagikan apa yang mereka ketahui, untuk menemukan orang yang ingin belajar dari mereka

(c) sistem pendidikan dapat memberi peluang kepada semua orang yang ingin menyampaikan suatu masalah ke tengah society agar masalah tersebut diangkat di ranah publik.

Akan tetapi ada satu premis dimana Kurikulum Merdeka mendapatkan relevansinya didalam kacamata Ivan Illich. Hal tersebut adalah kefleksibilitasan pembelajaran yang ditawarkan oleh sistem Kurikulum Merdeka ini. 

Kurikulum Merdeka, pada masa Pasca Pandemi yang masih didominasi oleh Pembelajaran Jarak Jauh sekaligus paranoia akan munculnya kembali varian virus Covid-19 yang baru, tergolong mempunyai track record yang cukup bagus dibandingkan dengan Kurikulum K13 pada masa debutnya. 

Fleksibilitas yang dimaksud Ivan Illich ini adalah sebuah kebebasan  dalam menentukan apa saja ilmu yang mau anak murid serap kedalam otak mereka tanpa ada tekanan dari society. 

Kurikulum Merdeka mengimplementasikan sebuah sistem pendaftaran yang bernama IKM, singkatan dari Implementasi Kurikulum Merdeka, yang dimana di situs tersebut ada tata cara bagaimana sebuah instansi pendidikan, dari SD, SMP, SMA, serta instansi pendidikan sejenis, untuk mendaftarkan dirinya dalam program pengimplementasian Kurikulum Merdeka.

Hal ini dilakukan untuk memfilter instansi pendidikan mana saja yang sudah sanggup untuk menggunakan Kurikulum Merdeka ini, baik itu dalam konteks ketenagakerjaan maupun konteks sosial dari siswa-siswa yang bersekolah di tempat tersebut. Ivan Illich sangat mencanangkan sistem seperti ini jika dilihat dari pernyataannya mengenai tujuan pendidikan di Sekolah. 

Salah satunya menyatakan bahwa Kurikulum tidak diartikan hanya sejumlah mata pelajaran saja, melainkan sebagai alat untuk mengukur hasil belajar peserta didik. Dalam definisinya, Kurikulum menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan Pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan (Arifin, 2018: 59).

New Era of Education System, kedepannya bagaimana?

Kurikulum Merdeka di Indonesia memang masih hanya terimplementasi secara partial dalam konteks wilayah dan sistem itu sendiri. Masih sangat banyak permasalahan yang muncul akibat sistem Kurikulum Merdeka yang terkesan "tiba-tiba", walaupun sudah hampir 2 tahun debut (1 tahun menggunakan embel-embel "uji coba"). Salah satu permasalahan yang dominan adalah bahwa Siswa yang ada di Indonesia, terutama di jenjang SD dan SMP, masih tidak memiliki tujuan edukasi yang sesuai dengan mereka. Siswa-siswa ini cenderung masih pasif dalam menentukan cabang edukasi yang diberikan oleh sistem Kurikulum Merdeka ini.

Restriksi pembelajaran via Tatap Muka dari Covid-19 yang kian kunjung berakhir juga menambah beban masalah yang harus dihadapi oleh Kurikulum Merdeka. Pemerintah dan Agen Sosial yang mendukung jalannya pembelajaran tatap muka harus bersama-sama memikirkan solusi untuk membuat situasi pembelajaran yang efektif, tidak terkesan memaksa, dan tentu saja berpedoman pada tujuan utama Ivan Illich dalam membicarakan tentang Pembelajaran. 

Daftar Pustaka

Jurnal dan Artikel

https://kurikulum.gtk.kemdikbud.go.id/

https://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/pai/article/view/26222

Buku

 Ahmad, Abdul Karim H. 2007. Media Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

 Arifin, Zainal. 2018. Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik. Yogyakarta: UIN Press.

 Hidayat, Rakhmat. 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.

 Illich, I. (1972). Deshooling Society. New York: Harper & Row.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun