Mohon tunggu...
Rivai Muhamad
Rivai Muhamad Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Gemar menulis fiksi, menggambar, melukis, dan membaca. Mahasiswa jurusan seni rupa di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satu Lukisan Terakhir

5 Juni 2011   11:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

(Selasa, 4 Januari)

Dear Erika,

Tube-tube cat itu berpindah lagi. Kau mungkin mengira aku salah ingat–kau memang selalu meragukan ingatanku–tapi aku yakin kalau aku hapal benar bagaimana caraku menyusunnya. Selalu berurutan dari kiri ke kanan: Merah, biru, kuning, jingga, cokelat, hitam, dan putih. Tak pernah sekalipun kuubah, sebab aku tak ingin waktuku terbuang untuk memilih warna atau salah mengambil cat. Kuas-kuas berbagai ukuran di sebelah kanan, botol turpentine dan minyak linseed di sebelah kiri, lalu deretan tube cat itu. Dan biasanya ada kau di belakangku yang menatap tanpa suara. Tapi semenjak kau pindah–seperti yang kuceritakan pada suratku yang lalu–aku juga pindah ke studio yang baru. Di sini suasanya lebih tenang, tak ada suara kendaraan, karena jalan raya jaraknya jauh dari sini, dan juga tak ada kamu. Jujur, aku merasa lebih nyaman ketika melukis tanpa ditontoni oleh perempuan cantik sepertimu. Bukan apa-apa, kau tahu aku tak begitu suka melukis objek manusia, namun ketika kau berada di dekatku, aku selalu tergoda untuk melukismu. Dan aku tahu lukisanku tak mungkin bisa lebih indah dari aslinya.

Panggil aku gombal, terserah. Mungkin kau bahkan sedang menertawai suratku ini karena menggunakan gaya bahasa asing, yang biasa kita jumpai di novel-novel terjemahan. Tapi aku memang lebih nyaman menulis surat dengan gaya bahasa seperti ini. Inilah yang membedakan surat dengan SMS atau obrolan sehari-hari. Aku merasa seperti penulis terkenal itu,kau tahu? Aku paham kau tidak bisa membalas surat-suratku, tapi kuharap bukan karena kau termasuk dalam generasi instan yang lebih menyukai gadget-gadget dangkal. Haha.

Oya, kembali soal tube-tube cat di studioku. Aku sudah sering mengobrol dengan Pak Anas, pemilik bangunan ini, dan tak pernah sekalipun ada cerita hantu atau semacamnya. Bukan hantu yang memindahkan tube-tube itu, aku yakin. Justru yang paling kutakutkan adalah ingatanku sendiri yang mulai memudar. Bukan pikun, mana mungkin aku pikun di usia yang baru kepala tiga ini? Tapi mungkin karena aku kehilangan jejak untuk menandai waktu. Orang sepertiku tidak benar-benar membutuhkan kalender, kecuali pada saat-saat tertentu seperti ketika dikejar deadline untuk pameran. Dulu aku selalu menandai hari lewat warna pakaian yang kau kenakan. Mungkin terjadi di alam bawah sadarmu, kau memiliki pola tertentu dalam memilih warna pakaian. Hari Senin, kau biasanya mengenakan warna jingga atau merah, mungkin untuk menimbulkan semangat. Hari Selasa dan Rabu, kau mengenakan warna putih, kadang abu-abu. Hari Kamis, kau mengenakan warna biru atau merah jambu. Hari Jumat, kau mengenakan warna hijau. Lalu pada hari Sabtu dan Minggu, kau mengenakan warna hitam atau ungu gelap, biasanya dengan lipstik tipis karena kita akan pergi kencan. Sekarang kau tak meragukan ingatanku lagi kan?

Semenjak kau pindah, aku tak lagi ingat soal hari. Mungkin itulah awal mulanya aku mengalami masalah dengan waktu dan susunan benda. Makanya aku berusaha sesering mungkin menulis surat kepadamu, karena hanya dengan begitu aku terpaksa harus mengetahui hari dan tanggal. Dan kemarin, aku merasakan kerinduan yang mendalam ketika melihat tube-tube cat itu berpindah tempat. Kealpaan ini karena kau tak ada di sini. Aku merindukanmu, Erika.
———————————————————————————————–

(Kamis, 6 Januari)

Hai Erika,

Hari ini posisi tube-tube catku masih saja tertukar lagi. Entahlah, sepertinya ini masalah kecil yang membuatku gatal. Mungkin aku harus mencari cara untuk mengatasi hal ini. Oh ya, tadi siang aku menyetel radio dan tanpa sengaja mendengarkan lagu kesukaanmu. Itu lho, lagu The Beatles itu.

Jadi semakin rindu.

———————————————————————————————-
(Jumat, 7 Januari)

Dear Erika,

Bagaimana kabarmu? Semoga kau baik-baik saja. Aku sudah menemukan cara agar aku tak lupa dengan posisi tube-tube cat lagi. Dengan menggunakan sedikit cat, aku menandai posisi tube sesuai dengan warnanya masing-masing. Misalnya, di bagian paling kiri aku membuat sebuah garis merah, di sebelah kanannya aku membuat garis biru, dan seterusnya. Dengan cara ini, meski aku dalam keadaan mabuk sekalipun, setidaknya aku bisa mengingat posisi tube yang benar. Dan setelah kupraktekkan selama hari ini, memang tak ada tube yang tertukar lagi.

Masalah selesai?

Sayangnya tidak. Memang, tidak ada letak tube yang tertukar, tapi justru salah satu tubeku ada yang hilang. Ya, maksudku berpindah tempat entah ke mana. Tadi pagi, tube cat warna hijau tiba-tiba saja tak bisa kutemukan. Aku sudah mencari di kolong easel, kalau-kalau aku menjatuhkannya tanpa sengaja, tapi tak ada. Apa mungkin ada orang yang masuk ke dalam studio dan mencurinya? Cuma untuk satu tube cat warna hijau? Tapi aku tak menemukan lubang kunci yang rusak atau jendela yang dicongkel. Benar-benar sial, sekarang aku harus membeli yang baru.

Oh ya, bukannya aku membesar-besarkan masalah penempatan tube itu, hanya saja aku khawatir dengan diriku sendiri. Sudah kuceritakan dalam surat sebelumnya kalau aku khawatir ingatanku mulai menurun. Aku sudah mencoba meminum suplemen yang mengandung ginkgo biloba itu, katanya dapat mempertajam ingatan.

Bila lukisan terakhirku ini sudah selesai, aku berencana untuk menyusulmu ke sana. Aku benar-benar tidak sabar. I miss you.
———————————————————————————————–

(Sabtu, 8 Januari)

Dear, Erika

Akhirnya hari ini aku peri ke toko alat lukis untuk membeli cat hijau baru. Seperti biasa: ukuran besar. Sebab aku sangat malas kembali ke sana lagi, penjualnya tidak terlalu ramah dan wajahnya tidak enak dipandang. Aku akan mulai melukis lagi.

Semangati aku, Sayang.

———————————————————————————————–

(Senin, 10 Januari)

Dear My Love Erika,

Berita gembira! Ada berita gembira! Sebenarnya bukan berita yang luar biasa sih. Aku menemukan tube hijau yang hilang itu! Anehnya, tube itu kutemukan terselip di sela-sela tumpukan lukisanku yang lama, tepat di sebelah lukisan “Girl in The Spotlight”. Kau masih ingat lukisan itu kan? Itu adalah satu dari sedikit lukisanku yang mengambil objek manusia. Itu adalah sebuah lukisan tentang kamu. Aku ingat, pertama kali aku melukisnya adalah sesaat setelah aku menonton pertunjukkan drama yang kauperankan. Waktu itu aku bertanya-tanya, siapakah salah satu pemeran wanita dengan gerak tubuh yang lentur itu? Pertunjukanmu benar-benar membuatku terkesan, meskipun aku tidak pernah mendalami seni pertunjukan. Sesampainya di studio, aku segera melukiskan gerakanmu, garis-garis dinamis dan pantulan cahaya yang seperti mengandung sihir. Mungkin yang kurasakan waktu itu hanyalah kekaguman, tapi tidak lagi ketika akhirnya aku menemukan nomor teleponmu: saat itu aku mulai jatuh cinta padamu.

Haha. Aku tak ingin terlalu lama bernostalgia. Kau pernah bilang bahwa mengingat-ingat masa indah yang sudah lalu adalah seperti orang yang kehabisan ide untuk menciptakan masa depan yang lebih indah. Aku sedang tidak berminat membahas masa depan sekarang, tapi aku juga tak mau bergelimang dengan masa lalu. Aku hanya ingin mengeluh dengan apa yang sedang kukerjakan. Entah kenapa lukisan yang sedang kubuat ini tidak bisa terasa pas. Keahlianku sepertinya menurun, entah apakah ada hubungannya dengan melemahnya ingatan. Seringkali ketika aku menyapukan kuas ke atas kanvas, tanganku seperti bergerak di luar kendali. Rasanya ada yang salah dengan otot-otot di lenganku. Hendra, salah seorang temanku, menyarankan aku untuk beristirahat selama beberapa hari. Katanya, mungkin tanganku keseleo karena terlalu sering melukis, dan ia mengajakku berkemah selama lima hari, mulai dari besok.

Sebenarnya aku ingin meminta pendapatmu tentang tawaran Hendra itu, tapi berhubung waktunya sudah terlalu dekat, akhirnya aku menyetujui ajakan itu. Mudah-mudahan saja ini akan jadi refreshing yang bagus untuk tanganku. Sebab kalau aku tak bisa mengendalikan gerakan tanganku, akan sangat sulit membuat detail-detail lukisan.

Aku janji, sepulang berkemah aku akan menulis surat lagi. Miss you, Darling.

———————————————————————————————–

( Minggu, 16 Januari)

Dear Erika,

Gawat! Seseorang mencoret-coret lukisanku! Benar-benar kacau, ini benar-benar mengacaukan pekerjaanku.

Kau ingat suratku sebelumnya? Ya, aku menghabiskan lima hari untuk berkemah bersama Hendra dan teman-teman yang lain, dan ketika aku pulang, aku sudah terlalu lelah sehingga aku langsung tidur tanpa sempat mengunjungi studio. Esok siangnya aku datang ke studio dan menemukan lukisanku sudah berubah! Bukan lagi tube cat yang hilang atau berpindah, tapi ada coretan-coretan tidak dikenal di atas kanvasku! Tentu saja aku marah. Siapa orang iseng yang bisa-bisanya berbuat ini, padahal pintu studioku terkunci dengan baik? Pikirku, siapa lagi kalau bukan orang yang memiliki kunci?

Dengan menahan emosi, aku bergegas mendatangi Pak Anas di rumahnya. Kukatakan padanya bahwa ada orang yang masuk ke dalam studioku dan orang itu pasti memiliki kunci. Kulihat wajahnya merah padam karena tersinggung. Ia bilang agar aku jangan menuduhnya kalau tak ada bukti. Aku bilang aku tidak menuduhnya, walaupun ya, sebenarnya di dalam hati aku mencurigai dia. Pak Anas lalu bertanya apakah ada barang yang hilang. Kujelaskan soal tube warna hijau itu dan kanvasku yang dicoret-coret. Tapi kau tahu apa? Dia malah tertawa. Dia bilang, memangnya siapa orang iseng yang mau berbuat itu? Berhubung menurutnya orang yang memegang kunci cadangan hanyalah dirinya, dan ia tidak mungkin berbuat hal tidak berguna seperti itu, ia malah menuduhku mengada-ada.

Ia malah menuduhku mencorat-coret kanvasku sendiri ketika mabuk! Kenapa mesti aku yang dituduh mabuk? Kenapa bukan dia sendiri?

Oke, maaf kalau aku terkesan melampiaskan kekesalanku padamu, Erika. Aku tidak tahu harus bercerita pada siapa lagi, bahkan Hendra malah menyarankan aku berkonsultasi ke psikiater. Dia pikir aku gila?

Soal acara liburanku, aku harus katakan kalau acara itu berlangsung dengan cukup menyenangkan. Di sana kami membakar jagung dan ayam, lalu bernyanyi bersama, dan saling bercerita di seputar api unggun. Ketika pagi tiba, kami mendaki ke tempat yang lebih tinggi untuk melihat matahari terbit. Ah, seandainya saja kamu bisa ikut, mungkin akan jauh lebih menyenangkan. Sayangnya, sempat terdengar saran-saran bodoh dari teman-temanku yang menyarankan agar aku melupakanmu dan mencari wanita baru. Mereka bahkan menyebutkan beberapa nama gadis cantik yang kukenal! Haha, jangan marah, aku tidak tergoda. Hubungan jarak jauh tidak berarti apa-apa bagiku. Lagipula, sudah kutuliskan di surat lalu kalau aku akan menyusulmu setelah lukisan terakhir selesai.

Oh iya, lukisan itu. Entahlah. Aku tidak mood memperbaiki bekas coretan cat itu, apalagi melanjutkan lukisan. Hasratku tiba-tiba saja padam. Berikan aku waktu beberapa hari untuk menangkan diri. Setelah itu pasti akan kulanjutkan.

Semoga kita cepat bertemu.

———————————————————————————————-

(Senin, 17 Januari)

Erika,

Coretan di atas kanvasku semakin banyak! Ini gila! Aku heran, apakah ada orang yang iri dengan karya-karyaku dan ingin bersaing secara tidak sehat? Seingatku, aku tidak pernah punya musuh. Konyol.

Aku semakin tidak mood untuk meneruskan lukisan, tapi aku juga tidak rela kalau orang itu semakin merusak lukisanku. Jadi sore ini aku mengunci pintu studio dengan dua buah gembok yang berbeda. Kita lihat saja apakah orang iseng itu bisa membobolnya lagi.

———————————————————————————————-

(Selasa, 18 Januari)

Erika,

Ternyata lukisanku masih bisa dicoret-coret! Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi ada orang yang bisa masuk ke dalam studio tanpa merusak gembok yang kupasang. Kalau begini terus mungkin aku harus lapor polisi.

————————————————————————————————

(Kamis, 20 Januari)

Dear Erika,

Aku agak merinding. Pagi tadi aku memeriksa studio, dan kau tahu apa yang terjadi pada lukisanku? Bukan lagi sekedar coretan. Sekarang coretan itu sudah membentuk sesuatu yang lebih jelas. Ada bentuk yang bisa kukenali di sana: sesosok figur manusia. Entah siapa atau manusia macam apa yang muncul dalam lukisan itu, mungkin Monalisa atau semacamnya, sebab memang tidak terlalu jelas. Aku merasa diteror. Kalau memang yang melakukan ini adalah orang iseng, pasti dia adalah orang yang cukup pandai melukis, setidaknya untuk membuat lukisan figur manusia dari coretan demi coretan yang ia cicil. Tapi bagaimana caranya ia masuk? Apakah ia bisa menembus tembok? Apakah dia hantu?

Malam ini aku akan tidur di studio, aku benar-benar ingin memastikan.

————————————————————————————————-

(Jumat, 21 Januari)

Sayangku Erika,

Malam tadi aku tidur di studio. Aku pikir aku bisa menangkap basah orang atau hantu yang selalu diam-diam masuk ke studio, tapi ternyata aku salah, Erika. Aku menemukan sebuah kenyataan yang sangat berbeda.

Sekitar pukul tiga pagi aku tiba-tiba terbangun dari tidurku. Hal pertama yang kucium ketika terbangun adalah bau cat dan turpentine. Tidak aneh, sebab aku memang tidur di studio. Tapi ketika aku membuka mata, hal yang aneh baru muncul. Ternyata aku sedang duduk di depan kanvas, tangan kananku memegang kuas, dan tangan kiriku memegang palet. Kau tahu apa maksudnya? Jadi selama ini aku melukis sambil tidur! Kau pasti sering mendengar tentang orang yang berjalan dalam tidur, tapi yang kulakukan lebih dari itu! Aku mencampur cat, mengoleskan kuas, melukis, bahkan membersihkan kuas dan palet setelah selesai…, semuanya dalam keadaan tidur! Itulah hipotesisku yang paling kuat.

Dan yang membuatku terperanjat adalah lukisan itu. Sekarang aku sadar siapa sosok manusia yang sedikit demi sedikit muncul di lukisan itu, di lukisan yang (mungkin) kubuat tanpa sadar. Ia adalah kamu, Sayang. Aku melukis kamu, melukis Erika-ku tanpa sadar, bahkan dalam keadaan tidur.

Itu tidak membuatmu tersipu?

Ya aku paham, ini SAMA SEKALI bukan hal yang romantis, malah lebih terkesan menakutkan. Serindu itukah aku padamu sampai kondisi kejiwaanku jadi seperti ini? Aku sungguh tidak menyangka. Mungkin teori tentang alam bawah sadar yang dulu pernah kubaca itu memang benar ya? Kalau memang begitu, berarti sekarang aku paham lukisan semacam apa yang akan kubuat. Aku berjanjai akan segera kuselesaikan.

Tidak sabar bertemu denganmu.

————————————————————————————————

(Minggu, 23 Januari)

Sayang,

Ini agak aneh. Tadi pagi, Pak Anas bilang kepadaku kalau semalam ia melihatku berjalan sambil tidur. Itu sih kita sudah tahu.

Tapi yang ganjil, saat ia berusaha menegurku, katanya aku menjawab dengan suara wanita. Karena ketakutan, ia lalu kabur.

————————————————————————————————-

(Selasa, 25 Januari)

Kepada Cintaku, Erika

Aku bahagia, Sayang. Aku baru sadar, kalau suara yang Pak Anas dengar saat itu adalah suaramu. Ternyata kamu, ternyata kamu yang menggerakkan tubuhku untuk melukis lukisan ini. Aku tidak tahu bagaimana, tapi sepertinya kamu tidak sekadar menggerakkan tubuhku, tapi juga menguasai keahlian melukisku. Mungkin kau berusaha menunjukkan kerinduanmu padaku ya? Tenang saja, aku juga sudah lelah menulis surat-surat tanpa alamat ini. Sekarang satu lukisan terakhirku sudah selesai. Lukisan sosokmu, kamu yang mengenakan gaun berwarna putih. Putih seperti kain kafanmu, seperti warna baju yang selalu kau pakai setiap hari Selasa. Dengan baju putih itu juga, dulu kamu pergi mengendarai mobilmu, ke tempat yang jauh, sangat jauh hingga tak bisa dicapai oleh surat dan alat-alat lain.

Erika, aku sudah memasang tali di atap studio. Aku juga sudah mengunci pintu dengan semua gembok yang kumiliki. Sekarang aku siap untuk menyusulmu, kau tak perlu menunggu lebih lama lagi.

P.S.: Oh ya, sekadar mengingatkan, seniman yang terkenal adalah seniman yang mati. Haha. Setelah aku pergi nanti, maka yang akan mereka temukan hanyalah lukisan itu. Lebih tepatnya sosokmu pada lukisan (surat-surat ini akan segera kubakar sesaat lagi), dan mereka akan mulai bertanya-tanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun