Tapi yang ganjil, saat ia berusaha menegurku, katanya aku menjawab dengan suara wanita. Karena ketakutan, ia lalu kabur.
————————————————————————————————-
(Selasa, 25 Januari)
Kepada Cintaku, Erika
Aku bahagia, Sayang. Aku baru sadar, kalau suara yang Pak Anas dengar saat itu adalah suaramu. Ternyata kamu, ternyata kamu yang menggerakkan tubuhku untuk melukis lukisan ini. Aku tidak tahu bagaimana, tapi sepertinya kamu tidak sekadar menggerakkan tubuhku, tapi juga menguasai keahlian melukisku. Mungkin kau berusaha menunjukkan kerinduanmu padaku ya? Tenang saja, aku juga sudah lelah menulis surat-surat tanpa alamat ini. Sekarang satu lukisan terakhirku sudah selesai. Lukisan sosokmu, kamu yang mengenakan gaun berwarna putih. Putih seperti kain kafanmu, seperti warna baju yang selalu kau pakai setiap hari Selasa. Dengan baju putih itu juga, dulu kamu pergi mengendarai mobilmu, ke tempat yang jauh, sangat jauh hingga tak bisa dicapai oleh surat dan alat-alat lain.
Erika, aku sudah memasang tali di atap studio. Aku juga sudah mengunci pintu dengan semua gembok yang kumiliki. Sekarang aku siap untuk menyusulmu, kau tak perlu menunggu lebih lama lagi.
P.S.: Oh ya, sekadar mengingatkan, seniman yang terkenal adalah seniman yang mati. Haha. Setelah aku pergi nanti, maka yang akan mereka temukan hanyalah lukisan itu. Lebih tepatnya sosokmu pada lukisan (surat-surat ini akan segera kubakar sesaat lagi), dan mereka akan mulai bertanya-tanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H