Mohon tunggu...
Riung Laut
Riung Laut Mohon Tunggu... Wiraswasta - CV Riung Laut

Penyuka kopi, syair & senyummu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kutitipkan Cahaya untuk Kau Jaga

18 Desember 2016   10:11 Diperbarui: 18 Desember 2016   10:47 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sudahlah San, kau di sini saja, laksanakan dengan sebaik-baiknya Wingate Operation dan menyusun Wehrkreise, sesuai instruksi Jenderal besar kita” Radja menepuk balik pundak sahabatnya itu
“Aku serahkan urusan di sini kepadamu” Sembari memberikan senapannya untuk Ikhsan
“Titip ini, lebih baik aku membawa pistol saja” Lanjut Radja sambil menunjukan sebuah pistol di pinggangnya

“Kehadiranmu sangat diperlukan dalam perjuangan ini, pastikan kau untuk kembali dengan selamat. Hati-hati Dja ” Ucap Ikhsan melepas kepergian sahabatnya

Radja tersenyum, kepalan tangannya diangkat tinggi keatas, dia berteriak lantang “Merdeka” Lalu berlalu pergi menyusuri Kali Gangsa, menuju ke Kota T

Iksan masih berdiri terpaku membalas kepalan tangan sahabatnya lalu berteriak juga “Merdeka” Di dalam hatinya masih enggan membiarkan sahabatnya pergi menantang bahaya. Dia tahu kota sudah sepenuhnya dikuasai musuh (Belanda), dan sewaktu waktu pasukan mereka akan menyisir desa-desa mencari pasukan yang terjebak di kota. Ikhsan lalu berucap lirih “Kembalilah dengan selamat Dja, Tuhan bersamamu”

Mendung mulai bergelayut menutup sore yang hampir rampung, menyeret suasana menuju kelam, lebih cepat dari biasanya. Gerombolan Jalak menari bersama angin, meliuk-liuk serupa tarian pengiring sang prajurit menuju medan pengabdian. Tirai gerimis mulai diturunkan perlahan, menghamburkan jejak kepergian Radja yang mengecil lalu menghilang ditelan rimbun hutan bambu.

Satu jam lebih waktu yang berlalu semenjak Radja pergi, Ikhsan nampak berdiri diantara puluhan tentara pelajar
"Siapkan perlengkapan kalian secepatnya, ada misi yang harus kita selesaikan"
"Kami sudah siap sedari tadi Kapten" ucap seorang pemuda
"Apa misinya Kapten?" Salah seorang lagi bertanya.
"Kekota, bawa kembali Radja dan istrinya dengan selamat, hindari tembakan yang tidak perlu, kalian mengerti?" Ujar Iksan tegas
"Siap Kapten" Ucap para pemuda serentak
"Ayo, kita bergerak cepat" lanjut Ikhsan mulai bergerak, diikuti puluhan tentara pelajar dibelakangnya

Ikhsan berjalan cepat, bisa dibilang berlari. Dipikirannya hanya ada Radja, sahabatnya. Rasa khawatir dan takut kehilangan seorang sahabat terbaik, yang mendidikasikan hidupnya untuk perjuangan. Seorang yang selalu berada digaris depan dalam berbagai misi, penyusun strategi yang ulung, dan seorang penembak yang jitu. Salah seorang putra bangsa terbaik yang dikenalnya. Dada Ikhsan bergetar "Ya Gusti, selamatkan Radja, sahabatku"

Radja mengendap-endap dengan hati-hati sambil memegang pistolnya erat-erat. Menyusup, lalu masuk kerimbun tanaman pagar tet-tehan, lebih kurang 100 Meter berjarak dari rumah kediamannya. Jantungnya bedegub semakin kencang, darahnya medesir, lalu terbelalak "Ya Gustiii, Ariinaaaa..."

Dalam remang malam yang hanya diterangi lampu minyak, terlihat seorang wanita yang sedang hamil besar dijambak rambutnya dan diseret keluar dari rumah. Tidak jelas berapa jumlah musuh yang berada mengelilingi Arina, hanya terdengar suara wanita malang itu yang meratap menahan sakit dan menangis. Saat moncong senjata diarahkan kekepala Arina, Radja harus membuat keputusan, keputusan yang akan mengakhiri hidupnya.

Tak sekalipun pernah Radja merasa gentar menghadapi pertempuran, bahkan dalam pertempuran yang berdarah-darah sekalipun seperti di Palagan Halmahera maupun Morotai, Ia terus maju. Apalagi dengan hari ini, pertempuran yang tidak hanya melibatkan dirinya, tetapi nyawa istri dan bakal anaknya juga terlibat. Dalam keadaan menegangkan yang mengharuskannya bertindak, secara reflek tangan Radja segera menarik pelatuk pistolnya menghantam tengkorak musuh yang sedang mengarahkan senjata ke kepala Arina. Bunyi pistol yang keras segera menyadarkan musuh, untuk melepas tembakan balik kearah pagar teh-tehan. Berondongan peluru menembus tubuh Radja, lelaki itu roboh dalam pergumulan yang tak seimbang. Arina menjerit histeris, mengetahui sosok tersebut adalah Radja, suaminya. Arina menghambur, didetik-detik ajal yang menjemput Radja, terdengar lirih suaranya "Aku melihat cahaya di perutmu, jagalah ia" Radja gugur, Arina jatuh pingsan.

Mayat Radja kemudian diseret dan digantung di alun-alun kota. Ikhsan dan rombongannya datang terlambat dan hanya mendapati Arina yang tak sadarkan diri. Esok paginya Arina melahirkan anak perempuan yang diberi nama Cahaya, Cahaya Radja yang harus ia jaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun