Mohon tunggu...
Riung Laut
Riung Laut Mohon Tunggu... Wiraswasta - CV Riung Laut

Penyuka kopi, syair & senyummu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kutitipkan Cahaya untuk Kau Jaga

18 Desember 2016   10:11 Diperbarui: 18 Desember 2016   10:47 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Januari 1949

Selepas Ashar, Radja seorang lelaki muda usia 24 tahun sedang duduk termenung di tepian Kali Gangsa. Dari raut mukanya terpancar kegelisahan yang mendalam. Dia berdiri, mondar-mandir lalu duduk lagi. Bibirnya bergumam lirih
“Duh Gusti, bagaimana ini?” Sambil terus mendekap senapan laras panjangnya, ia mulai bergumam sendiri.
“Sudah berapa lama aku meninggalkanmu Rin? Sejak Agresi dimulai hampir tak pernah aku berada disampingmu, menemanimu layaknya suami pada umumnya. Sebagai seorang prajurit aku sudah bersumpah untuk menjaga kelangsungan Negeri ini apapun resikonya. Ketika Belanda menyerang lagi, aku berada semakin jauh darimu, meninggalkanmu sendiri di kota untuk mundur kedaerah pedalaman, sesuai instruksi dari pusat. Ketika aku mendapat kabar bahagia bahwa kau sedang mengandung darah daging kita, tak sekalipun aku menjengukmu, sekedar untuk menanyakan kabar maupun kandunganmu, aku hanya bisa menitipkan pesan untuk menjemputmu jika kelahiran anak pertama kita telah tiba. Ma'afkan aku Rin, cuma itu yang bisa kulakukan untukmu"
Radja semakin merunduk, lalu bergumam lagi.
"Sudah berapa lama saat kita bertemu Rin?"
Radja diam sejenak, mencoba mengingat sesuatu, lalu dikagetkan ketika mendapati sedikit ingatannya.
"Astaga ini sudah 9 bulan, berarti usia kandunganmu Rin? Ahh saat ini engkau pasti sangat cemas dan kesakitan karena mendekati waktu kelahiran buah hati kita. Duh Gusti apa yang harus hamba lakukan? Negara sedang di ambang penjajahan ulang, dan aku takkan rela jika itu terjadi lagi. Aku ingin tetap di sini melawan walupun harus mati, tapi aku tak tega kepada Arina, istriku..Hhhhh.." Radja mendesah nafas, berat.

Bersamaan dengan itu seorang lelaki usia yang hampir sama, mendatanginya.
“Dja, semua laskar tentara pelajar dari desa- desa sudah dikumpulkan dan mereka sudah siap untuk rencana berikutnya” Lapor Ikhsan teman seperjuangan semasa di PETA. Sembari mengambil selembar daun jati untuk alas duduk
"Wooi Dja" Ikhsan sedikit berteriak.

“Eh maaf, iya San aku mendengarmu, berapa orang yang tersisa?” Radja menoleh sebentar, lalu memandangi lagi derasnya aliran Kali Gangsa, mencoba menutupi kegalauan hatinya.

“42 pemuda” Sahut Ikhsan, heran melihat gelagat Radja yang biasanya sangat bersemangat, “Apa yang kau pikirkan Dja? Tidak biasanya kau murung?”

Radja lekat memandangi sahabatnya.
“Selepas Maghrib kau pimpin mereka melanjutkan perjalanan. Aku akan turun ke kota, ada hal pribadi yang harus aku selesaikan”

“Hah apa kau sudah gila? Untuk apa? Kau hanya akan mengantarkan nyawa, bukankah kita orang yang paling dicari musuh, tidak bisa, aku melarangmu” Terperanjat Ikhsan mendengar hal gila yang akan dilakukan sahabatnya
“Lagi pula, sejak kapan seorang Radja lebih mengutamakan hal pribadi dari pada negara?” Lanjut Ikhsan mengingatkan.

Radja tertunduk, menghela nafas panjang. Mencoba menguasai perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Ini janjiku sebagai seorang suami San. Arina sedang hamil besar, dia menunggu untuk kujemput dan jika firasatku benar, hari ini aku akan menjadi seorang ayah. Aku khawatir para begundal HAMOT mendahuluiku” Radja mulai terbata-bata
“Siapa yang akan menolongnya San? Bukannya di kota cuma tersisa orang-orang lanjut usia dan anak-anak?” Radja berdiri dari duduknya matanya nanar memandang langit
“Jika aku tak menjemputnya malam ini, mungkin saja besok aku hanya akan mendapati jasadnya. Jika itu terjadi aku akan dihantui penyesalan seumur hidupku.” Radja beralih memandangi wajah sahabatnya

Ikhsan memegang pundak Radja “Aku minta ma'af Dja. Aku mengerti, jika aku menjadi dirimu aku juga akan melakukan hal yang sama. Baiklah, aku dan beberapa sahabat lain akan ikut denganmu”

“Jangan San, kita sudah banyak kehilangan anggota, dan persediaan amunisi kita sudah menipis, lebih baik gunakan untuk hal yang lebih penting, lagi pula ini urusan pribadiku” Sahut Radja mantap.

“Tapi Dja?” Ikhsan tercekat, tak tahu harus berkata apa.

“Sudahlah San, kau di sini saja, laksanakan dengan sebaik-baiknya Wingate Operation dan menyusun Wehrkreise, sesuai instruksi Jenderal besar kita” Radja menepuk balik pundak sahabatnya itu
“Aku serahkan urusan di sini kepadamu” Sembari memberikan senapannya untuk Ikhsan
“Titip ini, lebih baik aku membawa pistol saja” Lanjut Radja sambil menunjukan sebuah pistol di pinggangnya

“Kehadiranmu sangat diperlukan dalam perjuangan ini, pastikan kau untuk kembali dengan selamat. Hati-hati Dja ” Ucap Ikhsan melepas kepergian sahabatnya

Radja tersenyum, kepalan tangannya diangkat tinggi keatas, dia berteriak lantang “Merdeka” Lalu berlalu pergi menyusuri Kali Gangsa, menuju ke Kota T

Iksan masih berdiri terpaku membalas kepalan tangan sahabatnya lalu berteriak juga “Merdeka” Di dalam hatinya masih enggan membiarkan sahabatnya pergi menantang bahaya. Dia tahu kota sudah sepenuhnya dikuasai musuh (Belanda), dan sewaktu waktu pasukan mereka akan menyisir desa-desa mencari pasukan yang terjebak di kota. Ikhsan lalu berucap lirih “Kembalilah dengan selamat Dja, Tuhan bersamamu”

Mendung mulai bergelayut menutup sore yang hampir rampung, menyeret suasana menuju kelam, lebih cepat dari biasanya. Gerombolan Jalak menari bersama angin, meliuk-liuk serupa tarian pengiring sang prajurit menuju medan pengabdian. Tirai gerimis mulai diturunkan perlahan, menghamburkan jejak kepergian Radja yang mengecil lalu menghilang ditelan rimbun hutan bambu.

Satu jam lebih waktu yang berlalu semenjak Radja pergi, Ikhsan nampak berdiri diantara puluhan tentara pelajar
"Siapkan perlengkapan kalian secepatnya, ada misi yang harus kita selesaikan"
"Kami sudah siap sedari tadi Kapten" ucap seorang pemuda
"Apa misinya Kapten?" Salah seorang lagi bertanya.
"Kekota, bawa kembali Radja dan istrinya dengan selamat, hindari tembakan yang tidak perlu, kalian mengerti?" Ujar Iksan tegas
"Siap Kapten" Ucap para pemuda serentak
"Ayo, kita bergerak cepat" lanjut Ikhsan mulai bergerak, diikuti puluhan tentara pelajar dibelakangnya

Ikhsan berjalan cepat, bisa dibilang berlari. Dipikirannya hanya ada Radja, sahabatnya. Rasa khawatir dan takut kehilangan seorang sahabat terbaik, yang mendidikasikan hidupnya untuk perjuangan. Seorang yang selalu berada digaris depan dalam berbagai misi, penyusun strategi yang ulung, dan seorang penembak yang jitu. Salah seorang putra bangsa terbaik yang dikenalnya. Dada Ikhsan bergetar "Ya Gusti, selamatkan Radja, sahabatku"

Radja mengendap-endap dengan hati-hati sambil memegang pistolnya erat-erat. Menyusup, lalu masuk kerimbun tanaman pagar tet-tehan, lebih kurang 100 Meter berjarak dari rumah kediamannya. Jantungnya bedegub semakin kencang, darahnya medesir, lalu terbelalak "Ya Gustiii, Ariinaaaa..."

Dalam remang malam yang hanya diterangi lampu minyak, terlihat seorang wanita yang sedang hamil besar dijambak rambutnya dan diseret keluar dari rumah. Tidak jelas berapa jumlah musuh yang berada mengelilingi Arina, hanya terdengar suara wanita malang itu yang meratap menahan sakit dan menangis. Saat moncong senjata diarahkan kekepala Arina, Radja harus membuat keputusan, keputusan yang akan mengakhiri hidupnya.

Tak sekalipun pernah Radja merasa gentar menghadapi pertempuran, bahkan dalam pertempuran yang berdarah-darah sekalipun seperti di Palagan Halmahera maupun Morotai, Ia terus maju. Apalagi dengan hari ini, pertempuran yang tidak hanya melibatkan dirinya, tetapi nyawa istri dan bakal anaknya juga terlibat. Dalam keadaan menegangkan yang mengharuskannya bertindak, secara reflek tangan Radja segera menarik pelatuk pistolnya menghantam tengkorak musuh yang sedang mengarahkan senjata ke kepala Arina. Bunyi pistol yang keras segera menyadarkan musuh, untuk melepas tembakan balik kearah pagar teh-tehan. Berondongan peluru menembus tubuh Radja, lelaki itu roboh dalam pergumulan yang tak seimbang. Arina menjerit histeris, mengetahui sosok tersebut adalah Radja, suaminya. Arina menghambur, didetik-detik ajal yang menjemput Radja, terdengar lirih suaranya "Aku melihat cahaya di perutmu, jagalah ia" Radja gugur, Arina jatuh pingsan.

Mayat Radja kemudian diseret dan digantung di alun-alun kota. Ikhsan dan rombongannya datang terlambat dan hanya mendapati Arina yang tak sadarkan diri. Esok paginya Arina melahirkan anak perempuan yang diberi nama Cahaya, Cahaya Radja yang harus ia jaga.

*HAMOT (Hare Majesteits Ongeregelde Troepen) adalah gerombolan bandit yang bekerja untuk pemerintahan Belanda pasca Proklamasi 1945
*Wingate Operation (Menyusup kebelakang garis musuh, kemudian melakukan serangan cepat dan mengejutkan)
*Wehrkreise (dari bahasa Jerman : Lingkaran Pertahanan) memiliki arti pertahanan daerah, bentuk strategi ini digunakan oleh TNI ketika Agresi Militer Belanda ke II, mengisolasi pasukan musuh di kota.
*Nama dan tempat disamarkan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun