Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Berjumpa Diri yang Tak Dikenal

5 Agustus 2023   19:25 Diperbarui: 6 Agustus 2023   08:26 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku baru sadar, sesadar-sadarnya bahwa ternyata seumur hidup percintaanku, selalu aku yang mendahului ..." kata Kirana suatu pagi.

Ungkapan itu, kalau disampaikan 20 tahun yang lalu akan jadi aib nasional. Bagaimana tidak, pada masa itu hanya kaum adam yang layak untuk 'nembak' seorang perempuan. Tapi Kirana menceritakan 'aib'nya padaku baru-baru ini. 

"Bagaimana cara kamu nembak si Adam, Na?" tanyaku.

"Dengan surat."

"Surat itu kamu sampaikan sendiri?"

"Iya, tadinya. Setelah tahu dia tidak datang, surat itu kusimpan. Tidak jadi kuberikan."

"Lho, bagaimana sih maksudmu, Na?" tanyaku penasaran. "Kamu ngasih surat itu kalau dia datang? Kenapa enggak dikirim aja, pake pos atau apa gitu?"

"Aku membuat perjanjian dengan Tuhan, bahwa kalau dia datang di hari ini, tanggal sekian, sebelum sore tiba, aku akan memberikan surat itu dan memintanya membaca di rumah. Dan karena dia tidak datang, aku beranggapan kami tidak jodoh," sahut Kirana kalem.

"Oh, kamu meminta tanda dari Tuhan, dan ternyata Tuhan tidak mengabulkan doa kamu, lalu kamu anggap dia bukan jodohmu ya?"

"Iya ..."

"Na," sergahku. "Sesederhana itu?"

"Nggak sederhana sebetulnya. Kami berteman sudah 6 tahun. Dan kami tahu kok kalau kami saling menyukai. Tapi pada masa itu ada keharusan, para cowoklah yang harus menyatakan cinta. Bukan sebaliknya."

"Ya, aku ingat itu. Zaman kegelapan hahaha. Zaman yang membuat orang-orang seperti kalian banyak yang jomblo."

"Begitulah nasib kami ini, hehe."

Tapi sejurus kemudian Kirana menjelaskan bahwa kalau dia tidak berjodoh dengan Adam, bukan karena ia tidak bertemu dengan lelaki itu di waktu yang ia tentukan. Melainkan karena sesungguhnya ia sama sekali tidak mengenal Adam. Barangkali Adam pun demikian. Pada masa itu, modal rasa tertarik dan kecocokan fisik sudah cukup untuk membawa dua orang menjalin hubungan cinta.

Setelah sekian masa terlalui, barulah Kirana mengetahui, baik ia maupun Adam tidak dekat dengan ibu mereka masing-masing. Kita menarik apa yang sama dengan kita, kata Kirana selalu. Jadi, dulu ia tertarik kepada Adam karena ada kesamaan di antara mereka. Tapi keduanya belum tahu kalau salah satu yang sama itu adalah buruknya hubungan mereka dengan ibu masing-masing.

Kirana kemudian bercerita bahwa ibunya Adam sedikit mirip dengan ibunya. Sama-sama keras kepala, dominan, tidak mau mengalah, dan tidak pernah mau meminta maaf ketika bersalah. Adam, gambaran seorang perfeksionis tulen itu, pernah mendendam sejadi-jadinya pada sang mama karena beliau menganggap enteng perlakuannya pada Adam.

Kirana punya kisah serupa. Ibunya, juga pelit meminta maaf. Dan pada saat yang sama, apabila ia dan adik-adiknya meminta maaf karena suatu kesalahan, tidak dihargai sama sekali. Kalau salah ya salah.  

Seperti dijadwalkan, Adam dan Kirana teratur menceritakan perlakuan ibu mereka masing-masing. Penuh emosi, lalu kemudian lega. Apakah karena itu, makanya Kirana tertarik pada Adam lalu (hendak) mengiriminya surat? Tapi apa daya, Nana, begitu aku memanggilnya, terlebih dahulu membuat perjanjian dengan Tuhan. "Tuhan, aku mencintai Adam. Tapi aku tidak yakin apakah dia memiliki perasaan yang sama denganku. Itu sebabnya aku hanya sanggup mengungkapkan perasaanku lewat surat. Aku meminta tanda dari-Mu, kalau ia datang ke kantor sebelum bulan ini berakhir dan sebelum jam kerja usai, ia jodohku," doa Kirana.

Sumpah, ketika Kirana menceritakan peristiwa itu, aku tak bisa menahan tawa. Betapa naifnya Nanaku. Ia mengambil jalan pintas. Meminta tanda dari Tuhan, walaupun ia bisa memakai cara lain. Tapi Tuhan amat baik padanya. Ia tidak mengabulkan doa Nana, dan membiarkan sahabatku berproses dalam pendewasaannya.

Tidak lama, Adam menikah. Dan kami mendengar desas-desus bahwa pernikahan Adam gonjang-ganjing. Bukan, bukan bercerai atau ada perselingkuhan. Tetapi penuh pertengkaran dengan Hanna, istrinya. Untunglah hanya 3 tahun, memasuki tahun keempat, kami dengar Adam dan Hanna sudah harmonis. Yang mengejutkan, Adam mengakui bahwa sumber konflik dalam pernikahannya adalah dirinya, bukan istrinya. Ya, tentu saja Hanna punya kekurangan, tetapi menurut lelaki itu, yang parah adalah ketidakmatangan emosinya. Nana kerap bilang, Adam itu immature. Sering terpicu oleh hal-hal sepele, lalu punya standar yang amat tinggi terhadap orang lain.

Bagiku malah, Adam itu bukan hanya immature. Dia itu insecure. Bagaimana tidak, ketika salah satu teman wanitanya terlambat merespon sesuatu, ia akan marah besar. Kenapa aku tahu itu? Yah, 'kan aku juga temannya Adam. Tapi saat itu aku belum tahu kalau Adam dan Kirana sedang dekat.

Tentang  masalah Adam, Kirana kemudian menduga, masalah dengan ibunyalah yang membuatnya immature (atau insecure menurutku). Pengasuhan ibu yang kurang tepat bisa membuat anak-anak bermasalah, kata dia. "Aku juga begitu. Trauma dengan perlakuan Mamaku kerap membuat aku tidak bisa dekat dengan beliau," lanjut Kirana.

"Bagaimana seandainya tadinya kalian jadi menikah?" tanyaku.

"Yah, pastinya akan gonjang-ganjing juga. Tapi aku nggak yakin bisa tahan. Membayangkan perceraian di depan mata, duh, ngerinya. Mungkin itu sebabnya Tuhan tidak menjawab doaku. Bahkan sampai sekarang," jawab Nana.

"Ih, kelewat menyimpulkan kamu tuh."

"Iya, serius. Meski juga percaya bahwa jodoh lebih banyak ditentukan oleh kita sendiri. Selama bertahun-tahun aku sering bertanya-tanya, kenapa hubunganku dengan pria tidak pernah berakhir di pernikahan," akhirnya Nana curhat juga. 


"Kenapa?" tanyaku.

"Karena aku belum sepenuhnya mengenal diriku. Aku mengenal diriku masih sebatas apa yang dikatakan orang tentang aku. Tapi betul-betul menemukan diriku yang otentik, baru saat ini."

"Serius, Na? Aku kira, kamu amat jago dalam menganalisa kepribadian orang, termasuk diri sendiri."

"Betul sih, tapi belum seluruhnya. Pernah nggak kamu perhatikan, kalau aku tuh pembosan? Sering pindah-pindah tempat. Punya banyak teman, tapi hanya 1-2 yang dekat? Tidak pernah clbk ke mantan? Bisa bersemangat di satu waktu, tapi tak peduli di waktu yang lain?"

"Ya, aku tahu. Kamu seperti itu."

"Dan aku baru tahu, aku seperti itu karena memiliki gen Extremes yang kuat, dalam wujud energi untuk menjadi ekstrim, ekstrim dalam ritme. Energi ini tidak konsisten, Yun. Akan selalu mencari ritme, dan akan berubah setiap saat."

"Iya, aku tahu itu."

"Gen ini jadi masalah jika dihadapkan dengan relationship. Kadang terlalu perhatian, kadang tidak peduli. Tapi punya aura yang besar. Kehadiranku bisa dirasakan dalam sebuah ruangan bahkan sebelum aku masuk. Lalu ketika aku sudah hadir, semua mata tertuju kepadaku," urai Kirana tanpa bermaksud melebih-lebihnya. Ia memang begitu adanya. 

"Tepat sekali. Tapi, dari mana kamu tahu kalau kamu seperti itu? Gen apa tadi?" 

"Gen extremes, atau biasa disebut juga rhythm. Aku baru tahu ini setelah mempelajari Human Design. Asli Yun, aku terkaget-kaget setelah aku tahu seperti apa designku secara genetik." 

"Coba jelaskan, seperti apa itu. Aku nggak mudheng."

"Panjang Yun, kapan-kapan kita ngobrol soal ini. Atau, kamu ikut aja kelasnya. Lumayan lama sih, tapi kalau kita tahu seperti apa cetakan diri kita, lega rasanya."

"Hmmm, boleh juga kapan-kapan aku ikut kelas HD. Tapi ngomong-ngomong, "cetakan"mu itu mendukung untuk menikah atau tidak?"tanyaku penasaran.

"Menurutmu, dengan bawaan lahir punya energi ektrem sepertiku ini, cocok nggak kalau aku menikah?" Kirana bertanya balik sambil tertawa.

Tauk ah ... ***

____________

Terimakasih banyak kepada mbak Deassy Sita dari Kunci Hidup, dan Coach Tio Januar, pembimbing kelas Human Design dari SYB Bandung & Garuda Amerta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun