Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak, Bukan Wanita Idaman Lain #2

26 Juli 2023   09:53 Diperbarui: 26 Juli 2023   10:03 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duhhh, aku seperti merasakan kembali beratnya menjadi pergujingan orang karena menanggung rasa malu. Setidaknya sekarang sudah lebih dari lima orang yang mendugaku ada hubungan khusus dengan Iwan. Aku benci mengalami hal ini kembali. Kalaulah Iwan belum beristri, tentu akan lain masalahnya. Aku jadi ingat, bagaimana dulu --beberapa bulan lalu---Iwan pernah complain kepada Mama Jordan karena mengomentari kebiasaannya pulang malam. Dia secara sepintas bilang padaku, "Mel, aku nggak suka sekali caranya Mama Jordan ngurusin hidup gue. Mana dia tahu kalau tiap pulang kerja gue kongkow-kongkow sama sohib-sohib gue. Eh, dia malah myebar gosip kalau gue suka bawa perempuan ke rumah. Gila tu orang. Kalo temen-temen sekantor sih udah tahu gue ngapain aja, mereka bakal kebal kalo gue digosipin punya perempuan. Secara, nggak buktinya juga. Di sini Mel, sekecil apapun yang kita bikin, orang bakal tahu. Nah, ngapain juga kita berulah. Tapi begitu si Jerita bilang-bilang begitu, gue senewen juga. Gimana kalo cerocosan dia kedengeran istri gue?"

Aku tak paham benar apa masalahnya waktu itu. Karena aku tak tahu apa sebab Mama Jordan sampai membuat pernyataan seperti itu. Tapi kini, setelah aku turut digunjingkan barulah aku mengerti kekhawatiran yang pernah dirasakan Iwan. Terpikirkah aku untuk melaporkan Zus Jerita pada polisi atas tuduhan pencemaran nama baik? Oh, tidak! Zus Jerita adalah sahabatku. Beberapa kerabatnya pun aku kenal dengan baik. 

Aku bersama Neta pernah membahas topik ini di radio tempatku bertugas. Kami mengadakan talk show dengan tema 'relasi sosial yang harmonis'. Aku mengundang Pak Alex, temanku di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk menyoroti masalah pencemaran nama baik dari sisi hukum. Menurutnya, sah-sah saja kalau kita melaporkan orang yang telah membuat gosip tentang kita kepada pihak kepolisian. Tetapi di bagian penutup, narasumber lainnya (seorang pendeta) memaparkan bahwa apabila masalah penyebaran gosip terjadi di lingkungan dekat, sebaiknya masalah tersebut diselesaikan dulu secara kekeluargaan.

Waktu itu, aku kami semangat sekali mengarahkan acara talk show tersebut. Namun kalau diminta mengulang kembali tema itu, lidahku pasti kelu.

***

Kini hari-hariku tidak lagi sama. Aku berangkat tidur dengan beban yang menindih dan bangun dengan hati yang terkoyak. Mama Jordan adalah orang pertama yang langsung cocok dengaku ketika memulai pertemanan di kota ini. Biasanya butuh waktu yang lama untuk bisa dekat dengan seorang teman. Padahal, teman adalah kebutuhan utamaku selama tinggal di kota ini. Dengan Mama Jordan aku bisa berbicara apa saja dan aku anggap dia cukup dewasa untuk membahas hal-hal yang agak sedikit nyeleneh. Dia pun begitu tampaknya. Di dua bulan pertama kos di rumah itu, kami seperti kawan lama yang bebas membicarakan apa saja. Mulai dari selera makanan, relasi dengan lawan jenis, sampai dengan isi dompet masing-masing. Bagi kaum perempuan, tak perlu gengsi mengatakan 'aku belum punya uang saat ini'. 

Mama Jordan juga sering mengatakan bahwa rasanya lebih enak jadi single sepertiku ketimbang menikah dan punya anak. Kata dia, "Kamu enak deh mbak Elda, bisa kemana saja kapan kamu suka. Nggak ada tanggungan." Aih, memang ya. Rumput tetangga selalu lebih hijau, begitu jawabku.

Aku betul-betul tidak siap kehilangan seorang teman dekat. Sama tidak siapnya jika orang banyak mendengar berita tentang aku dan Iwan. Aku merasa aneh juga, kenapa tidak terpikir untuk menunggu Mama Jordan dan mencari waktu berbicara dari hati ke hati soal ini? Tapi sudahlah, hatiku kalut bukan main. Yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana secepatnya keluar dari situasi ini.Tampaknya aku harus siap jika kehilangan kedua sahabatku. Dengan Mama Jordan dan dengan Iwan. Aku tidak sanggup mengelola begitu banyaknya persoalan di kota ini.

Aku belum genap dua tahun dan pekerjaan yang aku tangani membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Aku tidak bisa tetap stabil berada di antara ketiganya; memperhatikan orang-orang yang aku layani, berdekatan dengan Iwan, dan tetap berteman dengan Mama Jordan seolah tidak terjadi apa-apa. Akupun tidak bisa berdoa dalam keadaan seperti ini. 

Aku hanya bisa mengalihkan keresahanku dengan meminta Clara, salah satu sahabat baikku --meski usianya masih muda-- menginap di rumah. Setidaknya kami bisa mengobrol apa saja, sehingga masalahku bisa terlupakan sejenak. Dalam obrolan kami, Clara sempat menanyakan soal rumah yang bisa dijadikan tempat ngumpulnya anak-anak. Baik itu anak-anak didikku di sekolah maupun teman-teman mahasiswa di komunitas. 

Entah kenapa, sentilan tentang rumah itu seolah menjadi inspirasi bagiku untuk pindah. Ohhh, pindah lagi? Bagaimana pula ini? Aku sesunguhnya nyaman tinggal di sini. Sekolah tempatku mengajar sangat dekat. Anak-anak bisa sering mampir. Suasananyapun asri. Kamarku luas dan halaman rumah ini dikelilingi banyak pepohonan, termasuk apotek hidup. Semua penghuni rumah ini bebas mengambilnya kapan saja. Jadi, masa' aku harus pindah lagi? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun