"Laris mbak jualannya?" bukan Lilit yang bertanya, melainkan Rini. Siang itu, Lilit mampir ke warung Rini untuk menyantap satu mangkok bakso urat dan segelas teh manis hangat. Lilit akan memilih meja paling sudut, supaya bisa duduk berlama-lama. Tenang saja, ia akan memesan makanan tambahan.
"Seperti biasa, Rin. Daganganku lebih banyak dibeli sama relasi suamiku."
"Hmmm, ndak apa-apa mbak. Yang penting bisnis lancar," timpal Rini. Mantan asistennya itu tahu bahwa Lilit terpaksa melepas warung bakso kepadanya demi satu lelaki di rumahnya.
Tapi sudah berapa lama ia, Lilit, hidup di atas kemauan orang lain? Setelah ayahnya, kini suaminya. Rini takut suatu waktu Lilit akan melakukan tindakan tak terduga. Entah menceraikan suaminya, entah berhenti tiba-tiba, atau berbicara kepada suaminya dengan bahasa yang belum pernah diungkapkan sebelumnya.
Rini sudah sering mendengar dan menyaksikan, para perempuan yang tertekan di rumahnya akan memberontak juga. Semoga Lilit bercerita kepadanya jika ingin melakukan sesuatu. Lebih baik lagi kalau ia berbicara baik-baik kepada Ganda. Tidak ada yang lebih melegakan jika orang hidup di dalam sangkar buatannya sendiri, atas kemauannya. Bukan sangkar pemberian tapi disodorkan secara paksa.
Lilit boleh kembali berjualan di sini, dan aku menjadi asistennya, desah Rini. Lilit adalah sahabatnya. Bukan sekedar pemberi dan pencari kerja. Ia masih ingat bagaimana sumringahnya Lilit ketika berada di warung ini. Energi perempuan itu selalu menularkan kekuatan, membuatnya betah bekerja berjam-jam.
Aku berdoa semoga kamu bisa mengambil keputusan dengan tepat. Aku tahu kedatanganmu bukan sekedar makan atau mengobrol denganku. Yang utama bagimu adalah menyerap semua yang terbaik di tempat ini, meski sekadar suasana. Ya, ini adalah tempatmu, Nyonya Ganda Aruan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H