Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Palupi ingin Mati di Tanah Air (dua)

16 Oktober 2021   19:38 Diperbarui: 1 November 2021   14:09 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bag. Kedua

Mungkin Palupi takut ia akan meninggal di negeri orang meskipun ada keluarga kecilnya di sana. Anaknya satu, tapi sedang terpisah kota karena mengambil kuliah politik. Ia dan Sonia cukup dekat, hanya saja gadis itu amat mandiri. Suaminya melatih Sonia sejak bayi untuk menjadi individu yang tidak bergantung secara emosional dengan siapapun. Kamarnya terpisah sejak bayi. Dan apabila tamu Indonesia datang agak lama sedikit, Sonia balita akan melambaikan tangan tanda ia ingin punya privacy.
 
Lalu tahu-tahu Sonia sudah dewasa. Palupi pernah bercerita kepadaku, kalau ia ingin berpisah dengan suaminya. Bukan tak cinta lagi, ia hanya merasa hampa. "Kamu enak ya, bisa tetap di Indonesia. Hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri," katanya. Aku kira ada benarnya dia, eh maksudnya, pepatah itu. Palupi sejak tinggal berdua dengan Don, merasakan tarikan yang kuat akan romantisme tanah air.

Bagiku, itu sepenuhnya benar. Entah apa yang membuatku begitu terikat dengan negeri ini. Meskipun ada banyak kesempatan tinggal di luar Indonesia. Meskipun ada satu peristiwa singkat yang mungkin saja mengubah jalan hidupku, berlayar ke negeri orang. Tetapi Indonesia membuatku cinta mati padanya.

Dan aku tidak sendiri. Palupi juga. Dua tahun lalu, ia pulang ke Jakarta  untuk satu bulan saja. Waktu yang singkat itu kami puas-puaskan untuk hang out seminggu dua kali. Alin dan Donita di negaranya masing-masing. Yang kami obrolkan bukan lagi apa enaknya bersuamikan orang asing, melainkan di negara mana kami akan menghabiskan masa tua, haha.

Tapi aku sungguh tak menyangka bahwa kedatangan Palupi ke Indonesia 3 kali dalam kurun waktu dua tahun itu adalah untuk mempersiapkan dia "menikmati" masa tuanya. Usia kami berempat sudah 55 sekarang. Kali ketiga kedatangan Palupi, ia mengatakan tak akan kembali ke Amerika. Fixed, katanya. Lho? Lalu suaminya? Palupi tidak menjawab pertanyaanku. Yang terjadi malah, Palupi tinggal di rumah mendiang ibunya, lalu mengunjungi apartemenku setiap hari Jumat malam sampai Sabtu siang alias menginap, dan menitipkan ribuan arsip cerpen-cerpennya kepadaku.

Duh Palupi, apa-apaan ini?

Aku protes ketika Palupi menyerahkan hardisk eksternal 1 terra berisikan seluruh tulisannya. Tapi ia bergeming. "Carikan penerbit untuk cerpen-cerpenku ya? Kalau perlu, kamu yang jadi editornya. Kalau ada yang laku, 40 persen keuntungan buatmu. Sisanya baru kamu transfer ke rekening ku." Aku hanya melongo demi mendengar permintaan Palupi. Kenapa bukan dia sendiri sih yang berurusan dengan penerbit? Karya-karya Palupi sudah mendunia. Penerbit mana yang tidak kenal dia? Sutradara film mana yang tega menolak ide cerita darinya? Fiksi milik Palupi selalu menarik buat pembaca setianya. Tentu saja, sebab ia hanya menulis satu cerita panjang dalam setahun dan beberapa fiksi pendek dimana perlu. Temanya beragam, beberapa di antaranya seperti dokumentasi perjalanan hidupnya. Kalian tahu? Palupi pernah menulis beberapa cerita pendek tentang kepedihan hatinya memiliki anak perempuan yang tidak membutuhkan kehadirannya?

Setelah berdebat panjang, akhirnya aku menerima permintaannya. Baru satu penerbit yang kuhubungi, sudah meminta kontrak eksklusif. Sekarang ini perfilman Indonesia sedang bangkit. Tentu dibutuhkan cerita-cerita yang berkualitas. Waktu aku mendiskusikan masalah ini kepada Palupi, ia hanya menjawab, "Terserah kamu. Aturlah." Gila nih si Palupi.


Akhirnya aku minta bantuan Alin dan Donita beserta suami masing-masing untuk mengelola proyek ini. Mungkin kalian bertanya, mengapa tidak melibatkan suami Palupi? Pasti bertanya. Biar kujawab. Sejak awal Palupi terang-terangan bilang tidak ingin melibatkan suaminya. Dan kami menghormati privacynya.

Ketika proyek pertama sedang berjalan, Alin dan Donita minus Mark dan Arthur, ada di Jakarta. Para suami itu sedang ada pekerjaan. Di proyek kedua barulah mereka datang. Duh, senangnya kwartet burung pipit berkumpul lagi. Naskah milik Palupi dibeli oleh salah satu pemilik rumah produksi untuk pembuatan film web series. Harganya lumayan fantastis. Yah, setidaknya menurutku yang sempat jadi pengangguran kelas menengah, hihi.

Tapi sayang disayang, sepertinya kami hanya punya kesempatan mengerjakan satu proyek saja. Ketika akan melanjutkan ke proyek kedua, kami menerima kabar mengejutkan

***

Palupi masuk Rumah sakit. Asistennya memberitahu kami, Palupi jatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri. Tak perlu menunggu waktu lama, kami segera ke rumah sakit. Menemui Palupi yang sudah siuman walau masih pucat dan lemas. Tak satupun di antara kami yang mau bertanya apa penyakitnya. Tak perlu, setidaknya tidak di hadapan sahabat kami tercinta. Suami dan anaknya sudah diberitahu. Lusa mereka akan tiba di Jakarta.

Palupi belum bisa berbicara. Tubuhnya masih lemah. Aku dan Alin bergantian menjaga Palupi setiap hari, sementara Donita menyelesaikan urusan final dengan pihak rumah produksi. Kami ingin membuat Palupi nyaman; tak perlu berbicara dulu kalau belum siap. Kami bahkan tidak membahas satu katapun soal proyek pertama yang sudah deal itu. Kami cukup bersenang-senang saja dulu karena kwartet burung pipit bisa bertemu kembali di usia paruh baya kami.

Ketika Sonia dan ayahnya tiba, kami berbasa-basi sebentar lalu pulang untuk memberi kesempatan mereka melepas rindu. Dua hari kami tidak ke rumah sakit, dan kami mulai cemas. Bagaimana keadaan Palupi sekarang? Aku hanya bisa mengontak asistennya. Itupun info sekadarnya saja. Sekarang, suami dan keluarga besarnyalah yang mengambil keputusan untuk perawatan Palupi. Sempat tersiar kabar, Palupi akan dibawa pulang ke Amerika kalau sudah memungkinkan. Ah, semoga jangan dulu ya. Bukankah Palupi pernah bilang ia tidak akan pulang ke Amerika dan menetap di Indonesia selamanya? Harapan yang memancing rasa getir dua sahabatku. Kata Alin, 'Suaminya mau dikemanain? Kan mereka masih terikat pernikahan?'

Jumat malam kami bertiga berkumpul di apartemenku. Rencananya, besok siang kami akan ke rumah sakit. Tapi rupanya itu jadi hari terakhir kami bertemu burung pipit kami, Palupi. Ia tidak mengucapkan salam perpisahan, hanya tersenyum hangat. Ketika Palupi terkulai, kami bertiga memeluknya erat. Kami melepaskan kepergiannya. Ia beruntung, meninggal di tengah kehangatan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Dan terutama, di tanah  kelahirannya.

Aku bergegas meninggalkan kamar Palupi ketika Sonia dan ayahnya masuk seraya menangis histeris. Di koridor, suster Irma memintaku mendekat.

"Bu Palupi sudah pergi," kataku. Suster Irma mengangguk.

"Saya merasa berhutang pada ibu. Bu Palupi bercerita banyak tentang penyakitnya. Dan keinginannya untuk dirawat di Jakarta. Bahkan kalau bisa, ia ingin meninggal di sini. Suaminya tidak sepenuhnya tahu soal kanker stadium lanjut yang diidap Bu Palupi. Begitu pula anaknya. Anaknya hanya tahu kalau ibunya ingin pulang ke Indonesia karena kangen Jakarta."

Aku terdiam mendengar laporan suster Irma. Palupi Rengganis, cerpenis tersohor  itu, kembali ke tanah air untuk dikuburkan di tanah kelahirannya. Meski sedih, hatiku tenang sekarang.

***

Siang tampak kelam usai pemakaman Palupi. Sore ini kami berlima; aku, Alin, Donita, dan Don serta Sonya, akan bertemu untuk membicarakan pengelolaan seluruh naskah-naskah Palupi Rengganis. Rasanya, inilah pelipur duka kami ditinggal sahabat; membaca kembali kisah-kisah dan ceritanya, lalu mengabadikannya.

Selamat jalan Palupi. 'til we meet again ..... (selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun