Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Palupi ingin Mati di Tanah Air (dua)

16 Oktober 2021   19:38 Diperbarui: 1 November 2021   14:09 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi sayang disayang, sepertinya kami hanya punya kesempatan mengerjakan satu proyek saja. Ketika akan melanjutkan ke proyek kedua, kami menerima kabar mengejutkan

***

Palupi masuk Rumah sakit. Asistennya memberitahu kami, Palupi jatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri. Tak perlu menunggu waktu lama, kami segera ke rumah sakit. Menemui Palupi yang sudah siuman walau masih pucat dan lemas. Tak satupun di antara kami yang mau bertanya apa penyakitnya. Tak perlu, setidaknya tidak di hadapan sahabat kami tercinta. Suami dan anaknya sudah diberitahu. Lusa mereka akan tiba di Jakarta.

Palupi belum bisa berbicara. Tubuhnya masih lemah. Aku dan Alin bergantian menjaga Palupi setiap hari, sementara Donita menyelesaikan urusan final dengan pihak rumah produksi. Kami ingin membuat Palupi nyaman; tak perlu berbicara dulu kalau belum siap. Kami bahkan tidak membahas satu katapun soal proyek pertama yang sudah deal itu. Kami cukup bersenang-senang saja dulu karena kwartet burung pipit bisa bertemu kembali di usia paruh baya kami.

Ketika Sonia dan ayahnya tiba, kami berbasa-basi sebentar lalu pulang untuk memberi kesempatan mereka melepas rindu. Dua hari kami tidak ke rumah sakit, dan kami mulai cemas. Bagaimana keadaan Palupi sekarang? Aku hanya bisa mengontak asistennya. Itupun info sekadarnya saja. Sekarang, suami dan keluarga besarnyalah yang mengambil keputusan untuk perawatan Palupi. Sempat tersiar kabar, Palupi akan dibawa pulang ke Amerika kalau sudah memungkinkan. Ah, semoga jangan dulu ya. Bukankah Palupi pernah bilang ia tidak akan pulang ke Amerika dan menetap di Indonesia selamanya? Harapan yang memancing rasa getir dua sahabatku. Kata Alin, 'Suaminya mau dikemanain? Kan mereka masih terikat pernikahan?'

Jumat malam kami bertiga berkumpul di apartemenku. Rencananya, besok siang kami akan ke rumah sakit. Tapi rupanya itu jadi hari terakhir kami bertemu burung pipit kami, Palupi. Ia tidak mengucapkan salam perpisahan, hanya tersenyum hangat. Ketika Palupi terkulai, kami bertiga memeluknya erat. Kami melepaskan kepergiannya. Ia beruntung, meninggal di tengah kehangatan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Dan terutama, di tanah  kelahirannya.

Aku bergegas meninggalkan kamar Palupi ketika Sonia dan ayahnya masuk seraya menangis histeris. Di koridor, suster Irma memintaku mendekat.

"Bu Palupi sudah pergi," kataku. Suster Irma mengangguk.

"Saya merasa berhutang pada ibu. Bu Palupi bercerita banyak tentang penyakitnya. Dan keinginannya untuk dirawat di Jakarta. Bahkan kalau bisa, ia ingin meninggal di sini. Suaminya tidak sepenuhnya tahu soal kanker stadium lanjut yang diidap Bu Palupi. Begitu pula anaknya. Anaknya hanya tahu kalau ibunya ingin pulang ke Indonesia karena kangen Jakarta."

Aku terdiam mendengar laporan suster Irma. Palupi Rengganis, cerpenis tersohor  itu, kembali ke tanah air untuk dikuburkan di tanah kelahirannya. Meski sedih, hatiku tenang sekarang.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun