Mbak Puspa itu orangnya idealis, tidak suka neko-neko untuk urusan pekerjaan. Tapi pada saat yang sama, ia juga realistis. Kalau ada sesuatu persoalan, ia cepat sekali mengambil keputusan.Â
Dulu waktu Minda ada sedikit masalah dengan Taufan, mbak Puspa tanpa tedeng aling-aling membela Taufan. Sebal rasanya diperlakukan demikian. Tapi Puspa punya alasan.Â
Pertama, Minda memang bersalah. Kedua, ia tidak ingin tampak nepotis, membela pihak yang bersalah hanya kerena orang itu memiliki hubungan pertemanan. Minda akhirnya bisa menerima sikap mbak Puspa dan merasa aman bersahabat dengan seseorang yang tidak membelanya membabi buta.
Sebelum ke rumah Puspa, Minda mampir ke toko buah. Untuk buah tangan.
Mbak Puspa bersorak senang menyambut kedatangan Minda. Terakhir bertemu, perut mbak Puspa masih rata. Sekarangpun tetap rata, tapi sudah ada 3 anak di rumahnya. Lama sekali rupanya mereka tidak bertemu. Lalu mengalirlah obrolan sana-sini.Â
Tentang kesibukan si mbak yang pergi pagi pulang malam. Tetapi sangat cakap menjaga keharmonisan keluarga. Ia dan suaminya bahu-membahu mengasuh ketiga anak mereka, dan mengatur pekerjaan rumah tangga.
Di sela keseruan membicarakan masalah pekerjaan, Minda dengan santai menanyakan apakah di kantor tempat Puspa bekerja sudah ada SP. "Apa itu SP, Min?"
"Serikat Pekerja, mbak. Kan ada UU-nya" jawab Minda lugas.
"Oh, dikirain Serikat Persaudaraan, hehe."
"Haha ... kalau itu sih di gereja," canda Minda.
Tapi suasana canda tidak berlangsung lama, sebab sejurus kemudian mbak Puspa menegaskan bahwa di kantornya semua urusan kepegawaian sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. "Untuk apa ada SP lagi, 'kan semua peraturan sudah dipenuhi perusahaan kami?" nada suara Puspa terdengar agak tinggi kali ini.