Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat-surat untuk Irena (2)

28 Februari 2019   15:00 Diperbarui: 28 Februari 2019   15:38 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kamu masih ingat dengan ceritaku tentang satu pasar yang menjual kebutuhan masyarakat dengan harga murah? Paling murah di antara passar-pasar yang ada di kota ini. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa ada sarana vital masyarakat yang melakukan persaingan tidak sehat seperti ini. Karena murahnya itulah, banyak orang yang berbelanja di pasar tersebut. Kalau sekali waktu mereka membeli sesuatu di pasar lain dan si pembeli protes, "Kenapa mahal sekali? Di pasar Anu lebih murah." Maka si penjual akan menjawab dengan ketus, "Belanja saja di sana, tak usah di sini." Ya, bagaimana tidak ketus kalau orang-orang sering membandingkan kedua pasar itu. Belakangan aku diberitahu Neni, ternyata pasar yang murah itu milik perorangan. Gila. Apa ini namanya, Ren?

Hari-hari berikutnya selama seminggu aku full di rumah, membereskan barang-barang yang kutinggal cukup lama. Barulah di awal minggu kedua, aku mulai beraktivitas di luar. Yang pertama, menemui kepala sekolah dimana aku akan mengajar sebagai guru tidak tetap. Kupikir, aku akan mengajar 1 atau 2 hari saja dalam seminggu. Ternyata harus masuk setiap hari, dari pagi sampai siang. OMG Reeeen, dengar itu Ren? Aku mesti bekerja nine to five lagi? Aku harus melupakan angan-angan bangun tidur menikmati suasana pagi di rumah, lalu jogging 3 keliling di lapangan, atau berjalan kaki ke tempat orang menjual ikan. Lalu menikmati primetimeku di rumah. Aku harus melupakan itu!

Kini aku harus bergegas menuju sekolah setiap pagi.

Barangkali kamu bertanya, kenapa tidak ditolak saja tawaran mereka? Ketimbang mengeluh tidak jelas begitu. Kok repot sekali Imelda ini. Ya, aku sudah duga kamu akan bertanya begitu. Dan aku akan menjawab begini; lalu apa gunanya sahabat kalau bukan jadi tempat curhat, wkwkwk. Kita ini pasangan sahabat perempuan, Sist. Meski aku tak lagi mau membedakan gaya persahabatan berdasarkan gender. Maksudku, bukankah kita ini sudah biasa bercerita apa saja tak peduli butuh solusi atau tidak. Kalau orientasinya selalu solusi, itu mah si Didi.

Aku menerima dulu tawaran Ibu Sulaeman, dengan masa uji coba 2 bulan. Kalau tidak cocok, akan kulepas.

Akhirnya, tepat tanggal 1 kemarin aku mulai mengajar. Setelah pimpinan di sekolah mengurus semua keperluan adiminstrasiku. Mulai dari SK sampai seragam mengajar. Meski merasa belum perlu itu semua karena masih uji coba, aku menurut saja. Aku menghargai upaya beliau mengupayakan agar hak-hakku diperhatikan dengan baik. Walaupun untuk ukuran seorang pekerja, honor yang kuterima di bawah standar.

Hari pertama mengajar, aku mati gaya. Tidak tahu bagaimana menertibkan anak-anak yang ribut dari awal sampai akhir. Pulang sekolah, aku menonton youtube yang menayangkan metode mengajar murid sekolah dasar. Aku serap sebisanya. Tapi ini jadi petaka waktu di hari kelima, aku diminta memberi ceramah di kampus. Gaya berkomunikasi kepada anak SD tak bisa kuhindarkan beberapa kali. Mereka bete tentu saja. Duh, Ren. Aku tak mau memperpanjang uji coba ini. Bulan Januari aku berhenti saja.

***

Aku sungguh naif ya Ren, kalau menganggap semua anak-anak itu

masih imut dan unyu-unyu.

Sekarang sudah mulai musim hujan. Aku mulai merasa kelabu seperti cuaca yang mendung. Apalagi tadi kudapati bangku yang biasa diduduki Filemon, murid kelas 5 itu, kosong. Kenapa dia tidak masuk ya? Aku agak khawatir dia merajuk karena minggu lalu kudenda Rp 500,- gara-gara memukul pantat teman perempuannya. Aku memang marah kepada anak-anak yang memukul. Aku umumkan bahwa kalau ada anak yang memukul, termasuk memegang bagian tubuh yang sensitif temannya, akan aku panggil. Aku menjelaskan sedikit kenapa mereka tidak boleh melakukan hal itu. Anak-anak perempuan semuanya bersorak setuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun