Nuri gelisah memikirkan sahabat baiknya Thomas, putus cinta. Ia tahu, Thomas bukan tipenya Dahlia. Gadis itu lebih suka pria yang cerdas dan sedikit urakan. Gambaran yang justru ada pada Dietrich. Siapa Dietrich, itulah masalahnya.
Dietrich sejak remaja sudah menjadi adik kesayangannya Thomas. Bukan adik kandung, tapi sabahat yang lebih muda. Di komunitas ini, semua orang yang lebih muda otomatis dipanggil dan dianggap adik meskipun terpaut satu tahun. Kalau ada yang mengatakan itu sikap feodal, orang-orang seperti Nuri juga Thomas akan merujuk ke kitab suci. Di sana ada perintah  bahwa yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Caranya? Misalnya, yaaa bersikap sopan gitu, dan sopan santun itu antara lain dengan memanggil adik untuk yang lebih muda dan kakak untuk sebaliknya.
Terkadang pembagian ini sedikit merepotkan. Dahlia yang terang-terangan menyukai Dietrich --dan Dietrich yang diam-diam mencintai Dahlia---gerah ketika ia meminta dipanggil nama saja oleh lelaki yang lebih muda 7 tahun itu. Dietrich tidak keberatan. Tetapi ketika teman-teman mendengar dia memanggil Dahlia tanpa sapaan "Kak", ia ditegur ramai-ramai.
"Aku nyerah Kak. Aku tetap panggil kamu "Kak Lia" saja. Tapi tidak mengurangi kedekatan kita kok," pinta Detrich. Dahlia akhirnya setuju. Demi mempertahankan harmoni pertemanan dan per-relasian antara yang tua dan yang muda.
Tapi ada gonjang-ganjing di Sabtu siang itu. Thomas mendiamkan Dietrich. Suasana di pertemuan itu jadi agak ganjil. Siapapun tahu, mereka bersahabat. Bersahabat baik malah. Seperti ulat yang diselubungi kempompong kata teman-teman mereka. Lekat. Tapi tak ada yang berani bertanya ada apa gerangan. Tahu-tahu saja Thomas berbicara keras soal kesopanan dan tata krama. Ditujukan kepada Dietrich.
Dietrich terpana sesaat. Benaknya diliputi pertanyaan, mengapa Thomas membahas soal kesopanan dan tata krama di siang bolong begini. Bukankah itu pelajaran dasar pertemanan yang rasanya ia sudah lulus belasan tahun lalu? Sikap tidak sopan yang mana yang telah aku perlihatkan? tanya Diertrich. Yang ia tidak setuju, Thomas mengatakannya di sebuah acara yang dihadiri banyak orang. Tentu mereka bertyanya-tanya, ada apa ini.
***
Setelah sepanjang 2 jam menahan diri, akhitnya Dietrich bertanya. Usai pertemuan itu, ia mengajak Thomas makan syomai di kedai kopi tak jauh dari tempat mereka.
"Kenapa kakak mengatakan aku tak sopan tadi?" Detrich yang memulai percakapan.
" Kamu memang tidak sopan, Dit," jawab Thomas. Suaranya pelan.
"Tidak sopan, bagaimana Kak?"
Thomas diam sejenak. Ia mengatur posisi duduknya. Tampaknya ia belum terlalu siap untuk berterus-terang. "Kak Nuri bilang apa sama kamu?" Thomas balik bertanya.
Dietrich mendelik. Kenapa ada nama Tante Nuri segala sih? "Aku tidak tahu, aku belum bertemu beliau 2 minggu ini."
"Jadi dia belum menelepon kamu ya?"
"Belum. Ada apa?"
Thomas memperbaiki duduknya kembali. Posisi yang sebetulnya sudah ajeg. Ia gelisah, hendak memulai darimana untuk memperbincangkan perkara yang genting ini kepada Dietrich.
"Dit," akhirnya Thomas berani. "Aku sedang mendoakan Dahlia."
Dietrich seperti sedang mendengar genderang yang ditabuh sepenuh tenaga. Jelas Thomas bukan sedang mendoakan Dahlia sebagai orang sakit. Atau yang akan menghadapi ujian. Atau hal-hal lainnya. Thomas sedang mendoakan Dahlia sebagai calon pasangan hidup. Tradisi di komunitas mereka, sedang naksir seseorang akan dibasahasakan dengan kalimat "aku mendoakan dia". Dan gawatnya, senior tidak boleh didahului. Apalagi senior seperti kak Thomas yang punya banyak jasa kepadanya.
"O gitu ya, kak."
"Ya."
"Jawaban Dahlia bagaimana, kak?" Dietrich terdengar seperti memelas.
Thomas menjadi kikuk. Dahlia mungkin belum tahu kalau ia didoakan dan diberi perhatian khusus olehnya. Dahlia malah mungkin sedang asyik bersenang-senang dengan Dietrich. Duh, kenapa Kak Nuri tidak segera berbicara kepada Dietrich? Jadinya begini deh. Miskomunikasi.
"Dahlia belum tahu kalau dia aku doakan. Aku akan minta bantuan kak Nuri menyampaikan hal ini. Aku belum siap mengatakannya langsung. Kalau ada orang ketiga yang jadi mediator, mungkin lebih baik."
Dietrich tertunduk. "Asal kamu bahagia kak," desahnya.
 ***
"Kak Lia, kita berteman saja ya?"
"Lho, kenapa begitu Dit? Apa teman-temanmu protes lagi soal panggilan kamu ke aku?"
"Bukan, bukan itu.|
"Lalu?"
"Ini soal kak Thomas, Lia."
"Kenapa dengan Thomas?"
"Dia sudah lama mendoakan kamu. Dari kita belum saling ..."
"Lho, terus kenapa? Ya, aku berterimakasih untuk kak Thomas yang sudab memberikan perhatian dan doanya. Tapi kan aku memilih kamu, Dit?" protes Dahlia.
"Tidak bisa begitu."
"Kenapa?"
"Kak Thomas ...." Dietrich kesulitan meneruskan kata-katanya.
"Tidak usah diteruskan Dit. Aku mengerti. Kamu dulu pernah cerita ke aku bagaimana gentingnya masalahmu. Thomas yang menyelamatkan kamu waktu itu. Bukani tu saja, dia sudah kamu anggap sebagai pengganti ayahmu kan? Kalau sekarang kamu dan Thomas sama-sama menyukai aku, tentu ini jadi bencana nasional."
Dietrich tertawa.
"Aku pikir, kita sudahi saja Dit. Bukan untuk memihak kepada Thomas. Tapi tidak berpihak kepada siapa-siapa. Aku setuju dengan saranmu, kita berteman saja."
"E, e ... maksudku, kamu dengan kak Thomas saja. Aku tidak apa-apa kok."
"Gila aja kamu. Jadi, segitu saja cintamu sama aku Dit? Main oper begitu, ih."
"Anu, bukan itu maksudku. Aku kenal baik kak Thomas. Dia orang yang bertanggung jawab ..."
"Cukup Dit, aku tidak suka jadi piala bergilir seperti ini, even itu atas nama mendoakan pasangan hdiup. Ngerti mas?"
"Ngerti bu."
"Bilang sama kak Thomas kamu itu, jangan susah-susah doain aku. Aku tidak bersedia. Kamu juga, ingat ya, aku sungguh tidak suka dioper-oper seperti ini. Apalagi sama orang yang aku sayang."
"Oke, oke Dahlia. Baiklah. Ambillah keputusan yang terbaik, maafkan aku tidak bisa meneruskan kisah kita. "
"Aku maafkan kamu. ***
[fiksi daur ulang "Tali Temali Percintaan, 2014]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H