Aku melihatnya lagi, wanita paruh baya yang mengenakan baju abu-abu khas penguni gedung besar ini. Selalu, di jam ini, tak pernah terlambat. Jam 4.15 sore, jika kau kesini, kau juga tentu akan menjumpainya. Wanita pemilik tatapan meneduhkan namun sarat akan makna kesepian, bibirnya selalu tersenyum, cantik sekali, sambil sorot matanya menatap lurus ke arah jajaran bunga kembang sepatu berwarna putih yang tumbuh rapi di sudut sana.
Baru seminggu aku disini. Dan sama seperti wanita itu, aku juga mengenakan pakaian abu-abu. Bedanya, abu-abuku tak pernah kelihatan, ia selalu kututupi dengan jaket biru cerah bermantel toska yang diberikan ayah di hari ulang tahunku kemarin. Jaket yang penuh kenangan, ekspresi rindu tanpa batas. Ah sudahlah, aku disini tidak akan membahas jaket atau pakaian apapun itu namanya. Wanita yang kutaksir umurnya mendekati setengah abad itu lebih menarik untuk kupandangi.
Aku selalu duduk di tempat ini. bahkan sejak hari pertama aku menjadi bagian kecil dari kerumitan gedung ini. Aku menyukai tempatnya. Teduh, tak bising seperti bilik atau lorong tempat aku biasa menghabiskan sisa hari. Dan sejak hari pertama aku disini, aku selalu melihatnya, wanita tua itu, pada jam segini, dia akan mulai memasuki tempat ini, kemudian mengambil tempat di deretan bangku nomor 2 pojok kiri, dekat lampu taman bulat besar yang tingginya bisa mengalahkan pepohonan yang baru mulai tumbuh di dekat tempatku ini.
Satu minggu aku disini, satu minggu itu pula aku selalu melihatnya. Sosoknya Tak pernah datang lebih awal atau terlambat, selalu tepat jam 4.15, dia sudah memasuki tempat ini.
Hari ini ku beranikan diri untuk mendekatinya. Perlahan aku beranjak dari spot favoritku menuju ke tempat biasa wanita itu menghabiskan penghujung siangnya. Aku duduk tepat disampingnya, malu-malu aku menatap matanya dan ku sampaikan salamku melalui sebuah senyum terbaik yang pernah kuberikan pada pria yang diam-diam kusukai saat masa remajaku dulu. Wanita itu membalas senyumku. Membalas tatapanku, sekilas saja. Kemudian kembali memandangi barisan kembang sepatu disana. Aku diam, ah, bodoh! Kenapa mendekat kalau tidak ada topik diskusi?! Akhirnya sekarang kami duduk berdua, tanpa sepatah katapun yang terucap! Aku mengutuk diriku untuk kebodohan yang sudah kubuat sore ini. Dalam beberapa kasus, keberanian saja tidak akan cukup. Ia harus sepaket dengan perencanaan yang matang tentang untuk apa keberanian itu ada. Dan sekarang, aku mencemooh ketidak matangan rencana untuk duduk bersama wanita ini.
Aku kembali menatapnya. Masih dengan senyuman, tapi senyumku ini lebih sendu kala melihatnya. Wanita itu masih lurus memandangi pemandangan indah didepannya. Seolah tak terpengaruh dengan kedatanganku. Aku membalikkan pandanganku, menatap objek yang sama dengan apa yang dipandanginya.
"Kau tahu nak, hidup ini seperti kembang sepatu yang kita pandangi sekarang ini" wanita itu membuka pembicaraan. Aku refleks memandang kembali wanita itu setelah beberapa menit keheningan menemani kami.
"Maksudnya tante?"
"Bunga disana tampak cantik. Kelopak putihnya mengundang siapa saja yang lewat untuk memandangnya. Tapi nak, tak semua kelopak bisa berumur panjang. Ada saja tangan-tangan usil yang memetiknya saat kecantikan paripurna bunga itu sedang bagus-bagusnya" Aku terdiam, masih mencoba mencari maksud dibalik pembicaraan tak terencana ini.
"Dari kecil nak, kita dirawat, dididik dan disayangi penuh oleh orang tua kita. Sama seperti kembang sepatu itu, dia tumbuh disini. Dirawat oleh penjaga taman yang tengah beristirahat di sana, disiram tiap hari agar menjadi tanaman subur dan indah" Wanita itu berhenti sejenak. Kemudian memutar pandangannya kearahku. beliau tersenyum. Aku membalas senyuman itu, walau aku tahu, senyuman itu tidak ditujukan padaku.
Sekilas tadi kulihat, pandangan matanya tak lagi kosong, ada relung kenangan yang sedang ingin diselaminya. Sesekali beliau menarik napas, dan menghembuskannya kembali. seolah pelukan masalah yang bersarang di pikirannya ingin dilepas dengan segera. Tetapi kadang beliau terdiam, mungkin karena belum ingin membiarkan sepenggal memori di hari kemarin pergi begitu saja. Aku masih lancang menganalisis arah obrolan ini, inti pembicaraanya apa, apa maksud pernyataan pembuka yang beliau ucapkan barusan.
"Saat kita beranjak dewasa, orang tua kita mulai belajar untuk melepas kita. mereka menitipkan kepercayaannya pada kita, karena mereka yakin kita sudah cukup matang untuk memegang kepercayaan tersebut. Pun kembang sepatu itu nak. Saat dia dewasa, perawatannya sudah tak sedetail saat dia masih bertumbuh. Ada jumlah pupuk yang dikurangi, ada perhatian yang dibagi dan lebih difokuskan untuk pertumbuhan pohon-pohon kecil di sudut belakang itu. Karena tukang kebun itu yakin, bahwa kembang sepatu ini sudah bisa berdiri sendiri" Kata wanita itu. Aku yang sedari tadi meraba arah pembicaraan kini sudah mulai memahami muaranya.
"Sayangnya nak. Banyak yang menganggap remeh kepercayaan itu. Mereka berbuat seenaknya-semau mereka. melanggar janji tersirat yang sudah mereka buat dengan orang tua mereka. Awalnya memang menyenangkan melakukan pelanggaran itu, tapi percayalah nak, ujung dari sikap semua kita itu adalah penyesalan" Bibirnya terkatup. Matanya menunduk, menatap batu bata bermotif oktagonal yang sedang dipijakinya.
"Penyesalan paling dalam" Katanya sambil terus menunduk.
"Ibarat kembang sepatu, saat sudah dipetik, maka tinggal menunggu hari untuk menjadi layu, bangkai dan membusuk" Dia kembali memandang lurus kedepan. Samar kulihat, matanya sedikit berkaca-kaca kali ini.
Lama berselang, aku belum bisa menemukan padanan kata untuk menjawab dikte pernyataan yang dipaparkannya barusan. Tujuh hari memandangi wanita ini tanpa sepengetahuannya adalah dosa tersendiri bagiku yang harus kubayar dengan perasaan tidak enak mendengarkan semua nasehatnya. Nasehat kehidupankah itu? Atau mungkin, wanita ini sudah melakukan sebuah pelanggaran di masa lalu, yang sekarang dia sesali. Apa yang bisa ku katakan untuk menguatkan hatinya? Apa yang harus ku utarakan untuk mengusir sendu dibalik senyuman bidadari ini? Memang benar, aku masih anak ingusan kemarin sore yang memaksakan diri untuk menjadi dewasa. Sial! Kenapa baru kusadari sekarang.
"Kamu lanjutkan saja dudukmu nak. Jalanmu masih panjang. Masa depanmu masih menunggu. Jangan pernah lakukan sesuatu yang pada akhirnya akan kau sesali" Wanita itu beranjak dari bangkunya setelah menepuk halus pundakku. Aku melambai padanya, melepas kepergiannya sambil melihat jam tangan hello kitty pemberian Ayah saat ulang tahun beberapa tahun kemarin. Jam tangan yang setia menemani dalam menyemai rindu padanya. Dan aku kembali terkejut. jam 5.45. Selalu jam ini, wanita itu bergegas meninggalkan tempat ini. Tak pernah terlambat, atau lebih cepat.
Aku bergerak cepat, menyusuri lorong gedung utama kemudian berbelok kanan melintasi lobi, kemudian lurus menuju halaman depan gedung. Beberapa kali aku salah menyolek orang. Sedikit malu, tapi aku langsung bergegas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Ah, aku memang paling payah dalam perkara mencari dan menemukan. Apalagi di tengah keramaian orang yang mengenakan baju abu-abu ini.
Aku memang bodoh. Kenapa tak kutanyakan saja namanya. Atau nomor kamarnya. Kenapa pula aku harus diam dan mendengar ucapannya. Sekarang aku kehilangannya. Sosok misterius itu. Dan entah bagaimana aku mulai merasakan keakraban emosi dengan wanita tua itu. Kenapa tak kutanyakan asbab gundahnya beliau, hingga beberapa mili air harus beradu di sepasang bola mata indahnya itu. Atau kenapa tak kuberikan pelukan hangat diakhir pembicaraan tak terencana itu. Kenapa aku hanya bisa menjadi patung hidup selama dua setengah jam bersamanya. Sungguh bodoh.
Tekadku untuk terus mencari sosoknya memang harus mengalah dengan kondisi fisikku yang tak lagi mendukung. Aku memutuskan untuk duduk di depan meja kerja para pekerja berseragam putih gedung ini. Baru beberapa menit aku mengambil napas, meja kerja didepanku mendadak riuh dengan kedatangan seorang pria berpakaian necis yang wajahnya tak asing bagiku. Aku memasang telinga, samar-samar mencoba menangkap pertukaran informasi yang sedang terjadi di depan sana. Namun hasilnya nihil. Tak ada satupun yang berhasil kudapat. Mataku kemudian siaga, mengamati tindakan mereka dari sini. Laki-laki yang berdiri disana terus berbicara, seakan memberikan instruksi dengan wajah yang tampak pucat, para pekerja mengangguk, ada beberapa yang mengikuti langkah pria itu, sementara yang lain masih tetap duduk di meja kerjanya. Mereka tampak gelisah. Dan instingku langsung membawa langkah kaki mengikuti arah jalan para pekerja barusan.
Menyusuri lorong di gedung ini memang sangat menyiksa. Ada bermacam bau disini. Bau pesakitan kataku. Bau obat, suntik, infus, antiseptik dan apapun itu namanya, semuanya berkeliaran dengan liar di sini. Mungkini itulah alasannya aku lebih suka menghabiskan waktuku di tempat tadi, tempat yang juga digunakan oleh wanita jelmaan bidadari untuk menyendiri di sisa harinya. Disana lebih lapang, beda dengan lorong-lorong disini. Sempit dan gelap.
Para pekerja di depan mempercepat langkah mereka. Pria didepan itu juga lebih cepat, setengah berlari mereka berjalan. Aku mengendap pelan di belakang mereka. Takut ketahuan dan akhirnya dimarahi. Lorong ini sudah ku hafal. Tak jauh dari lokasi ini, akan ada percabangan di depan. Arah kirinya menuju Instalasi Gawat Darurat, dan kanannya menuju kamar-kamar yang lain. Rombongan di depanku mengambil jalur kanan dan berhenti tepat di depan pintu lift.
Ku percepat langkah kakiku untuk bisa naik sama-sama dengan mereka. Firasatku mulai tak tenang. Aku berdiri tepat disamping laki-laki, tapi sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Tatapannya tak bisa terdefinisikan. Tapi mungkin ada lara disana. Bulir air sebesar biji jagung terlihat jelas di wajah tenangnya. Ah, wajah yang tak asing.
"Ting" Bunyi lift membuatku harus memalingkan pandanganku darinya. Lelaki beserta rombongannya mulai berhamburan memasuki petakan sempit aku. Aku ikut, nyempil di sudut lift. Ada seorang pekerja yang tersenyum ke arahku. Ku balas dengan hal yang sama, walau tak semanis senyum yang kuberikan pada wanita tadi.
"Lantai berapa mbak?" Tanya salah seorang pekerja ke arahku. Maklum saja, hanya aku satu-satunya orang asing disitu. Mataku segera melihat angka merah yang berkedip di tembok lift.
"Sama Suster" Jawabku singkat. Pekerja berseragam putih itu langsung mengangguk.
Lantai 4, pintu lift terbuka. Rombongan itu langsung bergegas meninggalkanku sendirian, tanpa mengucap kata apapun. Aku santai, bergerak mengikuti arah langkah mereka.
Kamar nomor 403, 2 kamar setelah lift sebelah kanan. Aku takjub melihat kamar-kamar disini. Ruangannya berbeda dengan kamarku dibawah. Lebih mewah, indah dan elegan. Dari tempatku, aku bisa melihat dengan jelas lelaki itu membuka pintu kamarnya. Pandangan yang ditawarkan padaku sukses membuatku terkulai lemas. 2 jam setelah 4.15 sore, wanita berparas malaikat itu terlihat sangat sedih dengan untaian nilon yang melilit lehernya. Bayangan ayah saat aku melihatnya terakhir kali di bulan Februari kemarin langsung membanjiri ingatanku. Dan seketika semuanya gelap.
Di dalam mimpiku, aku melihat wanita itu duduk bersama Ayah. Bercengkrama berdua. Memandang kumpulan bunga kembang sepatu mahkota putih. Tampak nyata rona bahagia di raut wajah mereka. Bahagia yang sejati. Tanpa beban yang disembunyikan. Tanpa duka yang harus dipaksa menjadi senyuman. Mereka tertawa lepas disana. Sedang aku disini kembali memanen air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H