Mohon tunggu...
Ritti Piany Sangadji
Ritti Piany Sangadji Mohon Tunggu... Lainnya - Mahina Maluku

Penikmat puisi dan sastra, pembelajar sepanjang masa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

4.15-6.15 PM

11 September 2021   07:33 Diperbarui: 11 September 2021   07:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Saat kita beranjak dewasa, orang tua kita mulai belajar untuk melepas kita. mereka menitipkan kepercayaannya pada kita, karena mereka yakin kita sudah cukup matang untuk memegang kepercayaan tersebut. Pun kembang sepatu itu nak. Saat dia dewasa, perawatannya sudah tak sedetail saat dia masih bertumbuh. Ada jumlah pupuk yang dikurangi, ada perhatian yang dibagi dan lebih difokuskan untuk pertumbuhan pohon-pohon kecil di sudut belakang itu. Karena tukang kebun itu yakin, bahwa kembang sepatu ini sudah bisa berdiri sendiri" Kata wanita itu. Aku yang sedari tadi meraba arah pembicaraan kini sudah mulai memahami muaranya.

"Sayangnya nak. Banyak yang menganggap remeh kepercayaan itu. Mereka berbuat seenaknya-semau mereka. melanggar janji tersirat yang sudah mereka buat dengan orang tua mereka. Awalnya memang menyenangkan melakukan pelanggaran itu, tapi percayalah nak, ujung dari sikap semua kita itu adalah penyesalan" Bibirnya terkatup. Matanya menunduk, menatap batu bata bermotif oktagonal yang sedang dipijakinya.

"Penyesalan paling dalam" Katanya sambil terus menunduk.

"Ibarat kembang sepatu, saat sudah dipetik, maka tinggal menunggu hari untuk menjadi layu, bangkai dan membusuk" Dia kembali memandang lurus kedepan. Samar kulihat, matanya sedikit berkaca-kaca kali ini.

Lama berselang, aku belum bisa menemukan padanan kata untuk menjawab dikte pernyataan yang dipaparkannya barusan. Tujuh hari memandangi wanita ini tanpa sepengetahuannya adalah dosa tersendiri bagiku yang harus kubayar dengan perasaan tidak enak mendengarkan semua nasehatnya. Nasehat kehidupankah itu? Atau mungkin, wanita ini sudah melakukan sebuah pelanggaran di masa lalu, yang sekarang dia sesali. Apa yang bisa ku katakan untuk menguatkan hatinya? Apa yang harus ku utarakan untuk mengusir sendu dibalik senyuman bidadari ini? Memang benar, aku masih anak ingusan kemarin sore yang memaksakan diri untuk menjadi dewasa. Sial! Kenapa baru kusadari sekarang.

"Kamu lanjutkan saja dudukmu nak. Jalanmu masih panjang. Masa depanmu masih menunggu. Jangan pernah lakukan sesuatu yang pada akhirnya akan kau sesali" Wanita itu beranjak dari bangkunya setelah menepuk halus pundakku. Aku melambai padanya, melepas kepergiannya sambil melihat jam tangan hello kitty pemberian Ayah saat ulang tahun beberapa tahun kemarin. Jam tangan yang setia menemani dalam menyemai rindu padanya. Dan aku kembali terkejut. jam 5.45. Selalu jam ini, wanita itu bergegas meninggalkan tempat ini. Tak pernah terlambat, atau lebih cepat.

Aku bergerak cepat, menyusuri lorong gedung utama kemudian berbelok kanan melintasi lobi, kemudian lurus menuju halaman depan gedung. Beberapa kali aku salah menyolek orang. Sedikit malu, tapi aku langsung bergegas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Ah, aku memang paling payah dalam perkara mencari dan menemukan. Apalagi di tengah keramaian orang yang mengenakan baju abu-abu ini.

Aku memang bodoh. Kenapa tak kutanyakan saja namanya. Atau nomor kamarnya. Kenapa pula aku harus diam dan mendengar ucapannya. Sekarang aku kehilangannya. Sosok misterius itu. Dan entah bagaimana aku mulai merasakan keakraban emosi dengan wanita tua itu. Kenapa tak kutanyakan asbab gundahnya beliau, hingga beberapa mili air harus beradu di sepasang bola mata indahnya itu. Atau kenapa tak kuberikan pelukan hangat diakhir pembicaraan tak terencana itu. Kenapa aku hanya bisa menjadi patung hidup selama dua setengah jam bersamanya. Sungguh bodoh.

Tekadku untuk terus mencari sosoknya memang harus mengalah dengan kondisi fisikku yang tak lagi mendukung. Aku memutuskan untuk duduk di depan meja kerja para pekerja berseragam putih gedung ini. Baru beberapa menit aku mengambil napas, meja kerja didepanku mendadak riuh dengan kedatangan seorang pria berpakaian necis yang wajahnya tak asing bagiku. Aku memasang telinga, samar-samar mencoba menangkap pertukaran informasi yang sedang terjadi di depan sana. Namun hasilnya nihil. Tak ada satupun yang berhasil kudapat. Mataku kemudian siaga, mengamati tindakan mereka dari sini. Laki-laki yang berdiri disana terus berbicara, seakan memberikan instruksi dengan wajah yang tampak pucat, para pekerja mengangguk, ada beberapa yang mengikuti langkah pria itu, sementara yang lain masih tetap duduk di meja kerjanya. Mereka tampak gelisah. Dan instingku langsung membawa langkah kaki mengikuti arah jalan para pekerja barusan.

Menyusuri lorong di gedung ini memang sangat menyiksa. Ada bermacam bau disini. Bau pesakitan kataku. Bau obat, suntik, infus, antiseptik dan apapun itu namanya, semuanya berkeliaran dengan liar di sini. Mungkini itulah alasannya aku lebih suka menghabiskan waktuku di tempat tadi, tempat yang juga digunakan oleh wanita jelmaan bidadari untuk menyendiri di sisa harinya. Disana lebih lapang, beda dengan lorong-lorong disini. Sempit dan gelap.

Para pekerja di depan mempercepat langkah mereka. Pria didepan itu juga lebih cepat, setengah berlari mereka berjalan. Aku mengendap pelan di belakang mereka. Takut ketahuan dan akhirnya dimarahi. Lorong ini sudah ku hafal. Tak jauh dari lokasi ini, akan ada percabangan di depan. Arah kirinya menuju Instalasi Gawat Darurat, dan kanannya menuju kamar-kamar yang lain. Rombongan di depanku mengambil jalur kanan dan berhenti tepat di depan pintu lift.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun