Mohon tunggu...
Ritti Piany Sangadji
Ritti Piany Sangadji Mohon Tunggu... Lainnya - Mahina Maluku

Penikmat puisi dan sastra, pembelajar sepanjang masa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

4.15-6.15 PM

11 September 2021   07:33 Diperbarui: 11 September 2021   07:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ku percepat langkah kakiku untuk bisa naik sama-sama dengan mereka. Firasatku mulai tak tenang. Aku berdiri tepat disamping laki-laki, tapi sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Tatapannya tak bisa terdefinisikan. Tapi mungkin ada lara disana. Bulir air sebesar biji jagung terlihat jelas di wajah tenangnya. Ah, wajah yang tak asing.


"Ting" Bunyi lift membuatku harus memalingkan pandanganku darinya. Lelaki beserta rombongannya mulai berhamburan memasuki petakan sempit aku. Aku ikut, nyempil di sudut lift. Ada seorang pekerja yang tersenyum ke arahku. Ku balas dengan hal yang sama, walau tak semanis senyum yang kuberikan pada wanita tadi.

"Lantai berapa mbak?" Tanya salah seorang pekerja ke arahku. Maklum saja, hanya aku satu-satunya orang asing disitu. Mataku segera melihat angka merah yang berkedip di tembok lift.

"Sama Suster" Jawabku singkat. Pekerja berseragam putih itu langsung mengangguk.

Lantai 4, pintu lift terbuka. Rombongan itu langsung bergegas meninggalkanku sendirian, tanpa mengucap kata apapun. Aku santai, bergerak mengikuti arah langkah mereka.

Kamar nomor 403, 2 kamar setelah lift sebelah kanan. Aku takjub melihat kamar-kamar disini. Ruangannya berbeda dengan kamarku dibawah. Lebih mewah, indah dan elegan. Dari tempatku, aku bisa melihat dengan jelas lelaki itu membuka pintu kamarnya. Pandangan yang ditawarkan padaku sukses membuatku terkulai lemas. 2 jam setelah 4.15 sore, wanita berparas malaikat itu terlihat sangat sedih dengan untaian nilon yang melilit lehernya. Bayangan ayah saat aku melihatnya terakhir kali di bulan Februari kemarin langsung membanjiri ingatanku. Dan seketika semuanya gelap.

Di dalam mimpiku, aku melihat wanita itu duduk bersama Ayah. Bercengkrama berdua. Memandang kumpulan bunga kembang sepatu mahkota putih. Tampak nyata rona bahagia di raut wajah mereka. Bahagia yang sejati. Tanpa beban yang disembunyikan. Tanpa duka yang harus dipaksa menjadi senyuman. Mereka tertawa lepas disana. Sedang aku disini kembali memanen air mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun