Islam Nusantara
Oleh; Matnur Ritonga, matnurcritonga@gmail.com
Penamaan Islam Nusantara
Ahmad Sastra, salah satu penulis produktif yang pertama-tama menulis pada bulan juni 2015 tentang Islam Nusantara menyatakan sebaiknya yang digunakan adalah istilah Islam dan Nusantara. Hal ini ia kemukakan agar tidak terjadi kebingungan intelektual, pencampuradukan pemikiran dan budaya.
Masih menurut Sastra, Istilah Islam Nusantara juga bisa menyebabkan proses pendistorsian dan pendangkalan makna Islam dan ini sangat rawan ditunggangi kepentingan liberalisme, kapitalisme, sosialisme, pluralisme, bahkan radikalisme untuk menghilangkan jejak sejarah Islam di nusantara.
Menteri Agama sendiri pada bulan Agustus 2015 lalu menegaskan bahwa Islam Nusantara adalah nilai-nilai Islam yang diimplentasikan di bumi nusantara dan itu sudah sangat lama dipraktikan oleh para pendahulu kita. Menag juga merasa Negara punya kepentingan tinggi terhadap implementasi Islam Nusantara. Pada kesempatan yang sama hadir Direktur Program Pascasarjana STAINU Prof. Dr. Ishom Yusqi yang ia juga merupakan salah satu penulis buku Islam Nusantara.
Sebelumnya pada Muktamar NU ke-33 pada 1 hingga 5 Agustus 2015 yang dibanjiri air mata kedua Tokoh Utama NU yaitu KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH Abdul Malik Madadi, dimana pada muktamar tersebut Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan bahwa Islam Nusantara merupakan kekhususan yang menajdi cirri khas Islamnya orang-orang Nusantara, yaitu: laku Islam yang melebur secara harmonis dengan budaya yang sesuai syariat.
Masih menururt Kiai Said, setidaknya untuk mengembangkan Islam Nusantara diperlukan empat hal; semangat religious, ruhul wathaniyah, ruh ta'addudiyah (kebhinekaan), ruhul insaniyah. Kita sama-sama mengetahui bagaimana tanggapan langsung dari Grand Syaikh Mesir Ahmad Thayyib terhadap pemaparan KH Said Aqil Siroj saat keduanya berdialog di Kantor PBNU Jakarta pada 2 Mei 2018 lalu.
Terpampang pula dengan jelas di banner acara tulisan "Dari Islam Nusantara menuju kedamaian Alam Semesta". Jawaban sekaligus guyonan yang menyakitkan dari Grand Syaikh Azhar adalah "Seandainya saja Allah tahu bahwa bangsa Indonesia lebih pantas dari bangsa Arab untuk menerima dan mengemban risalah penutup kenabian, maka risalah tidak akan diturunkan kepada Nabi Muhammad".
Menurut KH Ma'ruf Amin ketua MUI yang juga Anggota BPIP, ada dua aspek dalam Islam Nusantara. Pertama, tidak tekstual tetapi tidak liberal, juga moderat dan dinamis dan bermanhaj tetapi juga tidak liberal. Kedua, pemikiran NU itu tidak terbatas pada nash saja, tapi dari ijtihadiyah (bisa memunculkan ijtihad baru) dan pemaparan beliau selanjutnyta tentang Islam Layyin dan sebagainya, yang mana pemaparan beliau ini bukanlah hal asing dalam Islam, setidaknya sepanjang yang penulis baca dan pahami tentang Islam.
Adapun definisi yang diberikan oleh Guru Besar UIN Prof. Dr. Azyumardi Azra adalah sebagai berikut "Islam Nusantara adalaqh Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi (pribumisasi), dan vernakularisasi (bahasa Arab ke bahasa local) Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy'ari, fiqih mazhab Syafi'I, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran.
Islam Nusantara yang kaya akan warisan Islam (Islam Legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global." Penulis buku Islam Nusantara (2002) ini juga mengatakan bahwa cara pandang normative dan idealistis atas Islam itu sebagai tidak historis.
Sedangkan Habib Luthfi bin Yahya yang juga Rasi Aam Jatman mengibaratkan Islam Nusantara seperti cara masyarakat di berbagai penjuru dunia menikmati makanan dengan berbagai alat masing-masing yang menunjukkan perbedaan budaya. Lanjut beliau bahwa Islam Nusantara adalah sebuah spirit penghargaan terhadap tradisi local yang tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai agama.
Perumpamaan lain tentang konsep Islam Nusantara juga pernah disampaikan oleh Nadirsyah Hosen. Ia member contoh Islam seperti perusahaan makanan dari Amerika yang memiliki cirri khas menjual ayam goreng, namun disetiap Negara cara menikmatinya berbeda, ada yang menikmati dengan nasi, ada yang menikmati bersama kentang, dan sebagainya.
Seorang Peneliti dari Universitas Victoria, Faried F Saeong, mengatakan "Perlu Etnograf. Perlu masuk ke NU dulu untuk melihat praktik itu baru kemudian Anda kritik kalau mau. Kalau yang dipakai definisinya NU, mau mengritik NU silakan. Berarti dia paham." pungkasnya.Â
Mengutip perkataan KH Ali Musthafa Ya'kub, Ust. Abdul Somad menjelaskan Islam Nusantara adalah Islam yang ada di Nusantara, maksudnya Asia Tenggara, Islam yang dibawa dari Arab, semuanya pakai sorban, pakai jenggot, demikian Syaikh Achmad Dahlan dan Syaikh Hasyim Asy'ari. Intinya Islam itu Agama, dan Nusantara itu Budya.
Sedangkan Habib Taufiq Assegaf Pasuruan, mengatakan dengan lantang bahwa Islam Nusantara itu mengakibatkan paham yang menjurus kearah Fasadul  Qabilah wa Ta'assub Qabilah (fanatik kesukuan). Islam itu Dunia-Akhirat satu. Beliau juga mengutip Ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan Hamiyyatal Jahiliyah. Hati-hati, kita disatukan oleh Islam dan dengan Iman. Habib Rizieq Shihab memaparkan bahwa Penganut paham Liberal ganti nama Islam Inklusif, ditolak, ganti nama Islam Multikulturalisme, tlagi-lagi tidak laku, maka saat ini muncul Islam Nusantara.
Mereka mau masuk lewat budaya, mereka bungkus dengan budaya, Islamnya kita terima, Arabnya buang. Jilbab itu budaya Arab, Assalamu'alaikum diganti dengan Salam Sejahtera, selesai! Termasuk baca al-Qur'an, ngapain pakai langgam Arab? Kita punya banyak langgam, langgam jawa, sunda, Batak, Dst. Mereka bilang Islam itu pendatang, maka harus tunduk kepada adat istiadat, harus diindonesiakan. HRS memberi nama Islam Nusantara dengan Jama'ah Islam Nusantara (JIN).
Cak Nun ketika ditanya soal Islam nusantara dan Syi'ah, beliau malah menyuruh yang bertanya mencari tahu apa latar belakang dari Islam Nusantara itu? Apa hubungannya dengan Muktamar Jombang, hubungannya dengan beasiswa Iran, hubungannya dengan Mesir yang dihancurkan Arab Spring. Pelaku nya tidak hebat-hebat amat yang didalam Negri. Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah istilah, maka tergantung siapa yang menjelaskannya.
Kalau Islam Nusantara kembali kepada Islam yang dibawa Salafus Salih yaitu rahmah, lembut, maka itu baik, sebagaimana yang dianut oleh Wali Songo. Dakwah Wali Songo lemah lembut, sehingga mampu menikahi anak-anak  raja. Islam Nusantara ini digaungkan untuk mengkounter paham yang gampang membid'ahkan. Tetapi kalau yang digaungkan oleh anak-anak muda liberal sekarang ya salah kaprah.
KH Maimun Zubair dalam pengajian beliau memaparkan, Ummat Islam di Indonesia jangan karena golongan, tapi harus bersatu, yaitu Islam Nusantara; bedo tapi podo, podo tapi bedo. Penceramah Mamah dedeh dalam video kontroversinya menyinggung jangan hanya baca Surat Yasin! Berapa kali khatam dalam sebulan?
Jangan hanya bangga mengaji Yasin. Harus dirobah. Dalam video lainnya juga dikatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil'alamin, yang ama Islam mencakup semuanya. Maka tidak ada Islam Nusantara. Akan tetapi dalam ceramah live di televise Ia kemudian meralat ucapannya sebelumnya. Entah atas dasar aap Ia meralatnya. Dan Ustadz Abdul Somad pun sudah mengomentari ceramah mamah dedeh tersebut dengan penjelasan panjang lebar.
Pada Tanggal 5 Juli 2015 Ketua Umum MIUMI, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi membedah kesalahan konsep "Islam nusantara" yang belakangan diusung kelompok Umat Islam yang didukung Negara. Mengapa mereka melabeli Islam Arab, Islam Indonesia, Islam Malaysia, Islam Sunda, Dst? Menurut beliau, karena sebahagian mereka ingin menjadikannya plural, jika sudah terjadi pluralitas maka akan terjadi relativitas.
Ia juga menyatakan bahwa penyebutan Islam nusantara berarti memberikan atribut Islam dengan sesuatu yang partikular, yang sangat membatasi Islam. KH Misbahul Anam menyampaikan dengan satu istilah "Islam Nusantara" akan berpotensi memunculkan istilah-istilah lain.Peneliti budaya Jawa, Susiyanto menilai bahwa ada perbedaan antara Islam Nusantara dengan dakwah para wali. Menurutnya, pada masanya Wali Songo tidak menginginkan Islam Nusantara sebagai target dakwah mereka; "Tapi mereka itu sedang melakukan proses pengislaman Nusantara. jadi, saya melihat ini dua hal yang berbeda." Tandasnya.
John L Esposito menulis buku Islam The Straight Path (Islam jalan lurus atau Islam Sirathal Mustaqim). Di Indonesia sendiri pernah diintroduksi Islam rahmatan lil'alamin. Keduanya tidak ada maslah dalam penyebutannya. Abul Ala Al-Maududi dalam bukunya Toward Understanding Islam (1996), mengatakan bahwa Islam tidak dapat dinisbatkan kepada pribadi atau kelompok manusia manapun karena Islam bukan milik pribadi, rakyat, atau negri maan pun.
Prof. Koentjaraningrat mengatakan: "Religi dan Agama sulit juga untuk (disesuaikan) dengan sengaja menurut sifat-sifat khas Indonseia. Agama adalah Titah Tuhan' maka sebaiknya janganlah kita berusaha untuk mengembangkan sesuatu agama Islam khas ala Indonesia...".
Dalam kalangan NU sendiri menolak istilah Islam nusantara, mereka tetap memilih istilah yang sudah jadi jati diri bangsa yaitu Islam Rahmatan Lil'alamin. Hal ini disampaikan oleh KH Misbahussalam, Wakil ketua PCNU Jember, KH Musyiddin Abdusshomad Rasi Syuriah PCNU Jember. Cendikiawan Muslim Mohammad Nasih (25/6/2015) mengatakan, istilah Islam Nusantara sesungguhnya lahir dari kegagalan dalam memahami Islam yang memiliki nilai-nilai universal. Pencetus Islam Nusantara, kata Nasih, gagal memisahkan antara Islam sebagai doktrin dan peradaban yang lahir dari doktrin itu.
Aspek-aspek yang menyebabkan Penduduk Nusantara dengan mudah menerima ajaran Islam; aspek sastra, aspek tasawuf (mistik). Menurut Ira M Lapidus dalam History of Islamic Societies, penyebaran Islam ke Nusantara hampir mirip dengan penyebarannya ke Afrika.
Teori Islam masuk ke Indonesia
Teori Makkah sebagaimana diungkap oleh Buya Hamka dalam seminar "masuknya Islam ke Indonesia" di Medan Tahun 1963. Berdirinya kesultanan Samudra Pasai pada abad ke-13 bukan bukti awal kedatangan Islam, tapi bukti perkembangan Islam.
KH Idrus Ramli, Islam datang ke Tanah Melayu pada masa Khalifah Utsman bin Affan, ada juga yang menyatakan bahwa Islam datang ke tanah Melayu masa Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Tapi yang jelas yang datang ke nusantara adalah Islam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Michael Laffan, Profesor dari Universitas Princeton, lewat bukunya, Sejarah Islam di Nusantara menyimpulkan bahwa: "Islam Nusantara bukanlah aliran sempalan, kesuksesan penyebaran Islam di Nusantara melalui Ordo Sufi yang berdatangan dari Persia, India, dan Afrika Utara. Itu terjadi antara Abad ke-15 hingga ke-18. Setelah muncul kolonisasi, sejak itu muncul polarisasi dalam Islam. Muncullah Wahhabisme dan langsung mengambil jalur politik-kekuasaan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H