Pada Tanggal 5 Juli 2015 Ketua Umum MIUMI, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi membedah kesalahan konsep "Islam nusantara" yang belakangan diusung kelompok Umat Islam yang didukung Negara. Mengapa mereka melabeli Islam Arab, Islam Indonesia, Islam Malaysia, Islam Sunda, Dst? Menurut beliau, karena sebahagian mereka ingin menjadikannya plural, jika sudah terjadi pluralitas maka akan terjadi relativitas.
Ia juga menyatakan bahwa penyebutan Islam nusantara berarti memberikan atribut Islam dengan sesuatu yang partikular, yang sangat membatasi Islam. KH Misbahul Anam menyampaikan dengan satu istilah "Islam Nusantara" akan berpotensi memunculkan istilah-istilah lain.Peneliti budaya Jawa, Susiyanto menilai bahwa ada perbedaan antara Islam Nusantara dengan dakwah para wali. Menurutnya, pada masanya Wali Songo tidak menginginkan Islam Nusantara sebagai target dakwah mereka; "Tapi mereka itu sedang melakukan proses pengislaman Nusantara. jadi, saya melihat ini dua hal yang berbeda." Tandasnya.
John L Esposito menulis buku Islam The Straight Path (Islam jalan lurus atau Islam Sirathal Mustaqim). Di Indonesia sendiri pernah diintroduksi Islam rahmatan lil'alamin. Keduanya tidak ada maslah dalam penyebutannya. Abul Ala Al-Maududi dalam bukunya Toward Understanding Islam (1996), mengatakan bahwa Islam tidak dapat dinisbatkan kepada pribadi atau kelompok manusia manapun karena Islam bukan milik pribadi, rakyat, atau negri maan pun.
Prof. Koentjaraningrat mengatakan: "Religi dan Agama sulit juga untuk (disesuaikan) dengan sengaja menurut sifat-sifat khas Indonseia. Agama adalah Titah Tuhan' maka sebaiknya janganlah kita berusaha untuk mengembangkan sesuatu agama Islam khas ala Indonesia...".
Dalam kalangan NU sendiri menolak istilah Islam nusantara, mereka tetap memilih istilah yang sudah jadi jati diri bangsa yaitu Islam Rahmatan Lil'alamin. Hal ini disampaikan oleh KH Misbahussalam, Wakil ketua PCNU Jember, KH Musyiddin Abdusshomad Rasi Syuriah PCNU Jember. Cendikiawan Muslim Mohammad Nasih (25/6/2015) mengatakan, istilah Islam Nusantara sesungguhnya lahir dari kegagalan dalam memahami Islam yang memiliki nilai-nilai universal. Pencetus Islam Nusantara, kata Nasih, gagal memisahkan antara Islam sebagai doktrin dan peradaban yang lahir dari doktrin itu.
Aspek-aspek yang menyebabkan Penduduk Nusantara dengan mudah menerima ajaran Islam; aspek sastra, aspek tasawuf (mistik). Menurut Ira M Lapidus dalam History of Islamic Societies, penyebaran Islam ke Nusantara hampir mirip dengan penyebarannya ke Afrika.
Teori Islam masuk ke Indonesia
Teori Makkah sebagaimana diungkap oleh Buya Hamka dalam seminar "masuknya Islam ke Indonesia" di Medan Tahun 1963. Berdirinya kesultanan Samudra Pasai pada abad ke-13 bukan bukti awal kedatangan Islam, tapi bukti perkembangan Islam.
KH Idrus Ramli, Islam datang ke Tanah Melayu pada masa Khalifah Utsman bin Affan, ada juga yang menyatakan bahwa Islam datang ke tanah Melayu masa Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Tapi yang jelas yang datang ke nusantara adalah Islam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Michael Laffan, Profesor dari Universitas Princeton, lewat bukunya, Sejarah Islam di Nusantara menyimpulkan bahwa: "Islam Nusantara bukanlah aliran sempalan, kesuksesan penyebaran Islam di Nusantara melalui Ordo Sufi yang berdatangan dari Persia, India, dan Afrika Utara. Itu terjadi antara Abad ke-15 hingga ke-18. Setelah muncul kolonisasi, sejak itu muncul polarisasi dalam Islam. Muncullah Wahhabisme dan langsung mengambil jalur politik-kekuasaan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H