Pandangannya menerawang kembali. Melamun. Kosong, jauh di dalam sana.
         "Bu, Ardi tahu, semenjak ayah meninggal, ibu banyak diam. Pastilah mengingat-ingat ayah," kataku.
         "Bila ingin menangis, menangislah, Bu. Tidak perlu menjadi manusia yang pura-pura kuat menghadapi kenyataan," sambungku.
         "Air mata bukanlah kelemahan, tetapi diciptakan untuk melapangkan pikiran dan perasaan kita," lanjutku.
         Tetiba menjawab ucapanku.
"Di, ternyata ayahmu sudah setahun meninggalkan ibu," katanya.
Tertumpah di ujung mata, air mata mengalir. Kupahami dan kuingat betul saat-saat itu. Kami sekeluarga terdampak Covid-19 bahkan saat itu istriku sedang mengandung usia janin tiga bulan. Kami bertahan tiga hari dengan kondisi lemah berjuang. Ayahku memiliki penyakit bawaan jantung koroner yang memang menjadi semakin berbahaya jika terdampak virus tersebut.
         "Ayah tidak mau dibawa ke rumah sakit," kata ibu.
 Aku yang merasa bahwa tubuhku yang masih kuat di antara kami, nekat ke luar rumah mencari rumah sakit yang menerima pasien Covid-19. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, tak kutemukan kamar kosong, semua penuh, full. Sambil meneteskan air mata, kupasrahkan nasib ayahku. Kutelepon istriku, kusampaikan kabar yang buruk ini. Aku pulang dengan lunglai, sesak di dada. Ya, Allah beginikah takdir yang harus kami hadapi. Ikhlas.
         Kubuka pintu pagar rumah dengan perlahan. Lantunan Surat Yasin terdengar lirih menemani ayah yang tergolek dengan napas yang tersengal. Kukuatkan hati, kupeluk ayah ibu bergantian.
         "Sabar, ikhlas, kita kuat, kitab isa hadapi, ini semua," ucapku sembari menatap satu per satu wajah ayah, ibu, dan istriku.