Mohon tunggu...
Rita Kum
Rita Kum Mohon Tunggu... Pramusaji - Pramusaji

Perempuang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Persekutuan yang Tidak Suci

1 Agustus 2018   03:42 Diperbarui: 1 Agustus 2018   07:41 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang  media Agustus 2018. Tepatnya tanggal 10, pukul 00.00 WIB. Pergerakan  berbagai pihak terkait semakin terlihat jelas. Bagaikan gir yang  terpasang di mesin, perputarannya kian dipacu.

Itu adalah sebuah  konsekuensi. Konsekuensi mesin demokrasi. Pasang-memasang suku cadang  pun terjadi. Bahkan bukan tak mungkin juga ada aksi bongkar pasang.  

Apapun  yang tengah dan akan terjadi. Cukup menarik untuk dicermati, detil demi  detilnya. Sebab, kesalahan kecil saja dalam aktivitas tersebut, bisa  fatal akibatnya.

Mari kita bicara dalam konteks yang lebih lugas.  Dikaitkan dengan konteks aktivitas politik yang tengah hingar-bingar  dipertontonkan. Dalam hal ini, fokusnya adalah menangkap dan memaknai arah komunikasi politik yang dihelat kelompok penantang incumbent.

Jika boleh berteori sedikit. Komunikasi politik menjadi amat penting karena saat ini adalah tahun politik. Hal  itu kian menjadi penting, saat disampaikan oleh tokoh-tokoh kunci di  ranah politik. Dan menjadi maha penting tatkala terkait dengan  kepentingan masyarakat luas sebagai audiens.

Bermula pada Selasa  (24/7/2018), ketika Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono  membuka pintu kediamannya. Menyambut kedatangan koleganya, Ketua Umum  Partai Gerindra Prabowo Subianto.  

Sebuah pertemuan tertutup pun  bergegas dilaksanakan. Dan berujung pada cuplikan tayangan pernyataan  sikap bersama yang disiarkan stasiun televisi berita, Metro TV.

Dari  banyak hal yang disampaikan keduanya, satu poin yang patut dicatat  adalah sinyalemen dukungan SBY terhadap Prabowo sebagai calon presiden  penantang petahana. Ada lima poin yang disebut landasan pertemuan itu.

Kala  itu diungkapkan, kesepakatan kedua pihak untuk berkoalisi belumlah ada.  Namun, baik SBY maupun Prabowo, saling melontarkan kata sanjungan.  Boleh jadi, saking hebohnya aksi saling sanjung itu, Prabowo pun  menyebut SBY sebagai Presiden. "Bapak Presiden SBY."

Aktivitas  politik selanjutnya dihelat SBY keesokan harinya. Kali ini, tamu penting  yang diterima adalah Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. 

Usai  pertemuan, keduanya pun menemui awak media, menyampaikan satu dan lain  hal yang dianggap penting. Dan masih dalam konteks komunikasi politik,  SBY pun menyambung sesi tanya jawab media, usai mengantar tamunya  pulang. 

Kisah seputar perjalanan panjang Partai Demokrat dalam  mewarnai jagat politik 2018, diungkap detil oleh SBY. Soal langkahnya  menuju koalisi, yang akhirnya menemui hambatan, hingga PDKT-nya ke  koalisi 'seberang'.

 Satu catatan yang kemudian layak dipertimbangkan  adalah alasan SBY menghelat semua langkah tersebut. Yakni, demi meraih  tiket dalam kontestasi demokrasi di 2024.

Sebagaimana Undang-undang  nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal 235 ayat 5  menyebutkan, "dalam hal partai politik atau Gabungan Partai Politik yang  memenuhi syarat mengajukan Pasangan Calon tidak mengajukan bakal  Pasangan Calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak  mengikuti pemilu berikutnya".

Coba kita renungkan sejenak.  Bertolak dari alasan itu, apakah koalisi baru, sejauh ini  Demokrat-Gerindra---yang digaungkan dalam pertemuan lanjutan SBY-Prabowo,  Senin (30/7/2018)---murni didasari oleh satu niatan yang sama antara kedua  belah pihak?  Walaupun memang sempat disampaikan pula sebelumnya, persoalan  yang tengah melilit bangsa ini menjadi concern kedua pihak untuk  mengambil peran dalam proses politik, dalam hal ini merebut kekuasaan  secara demokratis.

Secara sederhana, kendati mengungkap kesamaan  visi, nyatanya ada perbedaan kepentingan yang terlihat mendasar dari aksi bersama kedua tokoh politik papan atas tersebut. SBY  menyiratkan adanya kegundahannya lantaran gagal masuk dalam koalisi.  Karena itulah, pilihannya berikutnya adalah menciptakan koalisi baru  dengan Gerindra.

Dalam menetapkan pilihan berikutnya itulah, SBY  mengambil posisi bijaksana. Tidak menyorongkan putra mahkota, Agus  Harimukti Yudhoyono (AHY) sebagai calon wakil presiden. Padahal,  hasil pengukuran sejumlah lembaga survei menunjukkan AHY memiliki  tingkat elaktabilitas yang cukup tinggi jika didudukkan sebagai  cawapres.

AHY juga dianggap mampu mengaet generasi milenial, yang  jumlah suaranya diprediksi mencapai sekitar 30 persen dari jumlah total  jumlah DPT sementara untuk 2019 sebanyak 186 juta. 

Mengapa  kebijaksanaan serupa itu yang dipilih SBY? Boleh jadi, karena bukan itu  poinnya bagi sang pemilik partai berlambang mercy.

SBY agaknya lebih memandang sangat jauh ke depan. Melampaui satu putaran pesta demokrasi akbar yang akan digelar di 2019.

Itu pulalah sebabnya, SBY tidak ragu memberikan dukungan kepada  Prabowo, kendati jagoannya itu terbukti keok di dua kali kontestasi  serupa, pada 2009 dan 2014.

Sedangkan bagi Prabowo, momentum kali  ini agaknya disadari betul akan jauh lebih berat dari yang pernah dilaluinya. Karenanya, sempat ada kesan maju mundur untuk  ikut meramaikan pemilihan umum 2019.  

Kalaupun pada akhirnya Prabowo menunjukkan sikap tegas terkait pencalonannya,  yakni menerima kesepakatan internal Gerindra, dirinya lagi-lagi terlihat galau manakala bicara tentang sosok cawapres.

Tentu dirinya ingin maju dengan amunisi penuh di pinggang dengan harapan bisa membombardir 'musuh' di medan tempur. Karena memang ini menjadi pertaruhan kredibilitas terakhirnya di panggung politik.

Kiranya  sangat kecil kemungkinan, orang-orang yang mengelu-elukannya akan tetap bersikap sama jika lagi-lagi kegagalan menghadangnya. Jadi sosok cawapres menjadi amat penting baginya. 

SBY sejatinya sudah menekankan bahwa memilih cawapres adalah prerogatif  capres. Tapi kenyataannya, Prabowo tetap tak bisa segera tenang.  

Agaknya, lantaran jejaring telik sandi atau instingnya mengatakan, kendati DNA keduanya, Prabowo dan SBY sama-sama militer,  misi koalisi tidaklah akan sesempurna yang dibayangkan.

Itu  jualah jawaban mengapa SBY terkesan cuek dan 'membiarkan' Prabowo  menghadapi tekanan parpol lain, dalam koalisi itu, soal cawapres. SBY bahkan tampak cenderung memilih untuk duduk manis, mungkin, sambil mengatur strategi untuk 2024.

Toh, menang atau kalah koalisi di 2019, tiket untuk menghantar putra mahkota yang sudah kian matang, di periode  mendatang, sudah dalam genggaman SBY.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun