Mohon tunggu...
Rita Arsyantie
Rita Arsyantie Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Menilik Kondisi Lingkungan Pertambangan Emas di Indonesia

4 Juni 2021   13:01 Diperbarui: 4 Juni 2021   13:22 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Indonesia memiliki pertambangan emas yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Aktivitas pertambangan di Indonesia selalu mendapat stigma negatif dikalangan masyarakat. Selain tak ada izin resmi penambangan, aktivitas tersebut juga memicu terjadinya dampak negatif yang seringkali dilakukan manusia. 

Semestinya sebagai penguasa sumber daya alam di bumi, manusia berperan dalam menentukan kelestarian demi berjalannya kelangsungan lingkungan hidup. 

Namun pada realitasnya, manusia kerap memanfaatkan alam dengan keserakahannya secara ilegal salah satunya dengan melakukan aktivitas penambangan liar emas. 

Dibuktikan dengan penemuan jumlah penambangan emas yang kini telah mencapai sekitar 713 titik yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia meliputi Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan berpotensi akan terus bertambah seiring dengan ditemukannya lokasi penambangan baru (Aspinall dalam Hamzah, dkk., 2012).

Dalam tinjauan hukum Indonesia hal ini telah ditetapkan dalam UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai upaya pencegahan praktik penambangan liar yang sifatnya destruktif yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan bahkan membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia. 

Aktivitas penambang emas tersebut semata-mata karena ingin memperbaiki kondisi perekonomian mereka. Mengingat akan kondisi ekonomi yang tidak merata mengharuskan mereka untuk melakukannya demi memenuhi kelangsungan hidup. 

Pertambangan emas dijadikan sumber mata pencaharian utama karena pendapatan yang dihasilkan dapat dikatakan menjanjikan walaupun terkadang emas yang didapatkan tak menentu. 

Penambang emas umumnya didominasi oleh masyarakat setempat yang dilakoni secara turun temurun. Dari berbagai fakta yang ada, mayoritas penambang emas melakukan aktivitas menambang dengan cara tradisional.

Cara tradisional tersebut, dimana proses penggarapan dilakukan menggunakan alat-alat sederhana, seadanya dan tanpa pengaman. Proses penggarapan emas dilakukan melalui beberapa tahapan diantaranya, penggalian batuan, pengolahan dan pembuangan limbah (Sumual, 2009). 

Pada tahap penggalian batu, penambang mulai memasuki kawasan lubang tambang dengan bermodalkan cahaya sinar senter, semakin masuk kedalam udara segar semakin berkurang, dan ruang gerak juga semakin terbatas. 

Sehingga jumlah, orang harus dibatasi. Hal ini dilakukan demi menjaga keselamatan dan ketersediaan oksigen didalam lubang. Terkadang pipa-pipa menjadi saluran untuk menyuplai udara dari luar kedalam lubang tambang. Teknik penambang dengan memasuki wilayah lubang-lubang horizontal untuk mengorek badan tanah disebut dengan bakodong. 

Berbeda jika kawasan tambang berada di wilayah sungai, danau dan lereng gunung yang mengandung emas, penggarapan emas dilakukan dengan cara dompeng. 

Dompeng adalah sebutan bagi penggunaan mesin bermuatan air untuk mengalirkan material gunung yang kemudian disaring dan menghasilkan butir-butir emas. 

Teknik tradisional tersebut memicu resiko yang besar bagi penambangnya. Dilansir melalui laman trans7official, sejak tahun 2011 puluhan kasus kematian terjadi akibat kecelakaan di area pertambangan, namun penghasilan yang menjanjikan membuat mereka seakan tak peduli dengan segala resiko meski harus mempertaruhkan nyawa mereka. Penggalian lubang tambang secara asal-asalan sangat rentan menimbulkan longsor.

Untuk memastikan galian-galian tanah mengandung emas, penambang melakukan proses pemurnian dengan ditumbuk atau di masukkan kedalam mesin glendong dan mesin putar. 

Agar emas dapat terlepas dari partikel tanah, proses pemurnian dilakukan dengan menambahkan zat kimia berupa air raksa atau merkuri hingga sianida. Merkuri dan sianida adalah zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan karena zatnya tidak mudah terurai. 

Proses pemurnian tersebut menghasilkan dampak negatif dan menciptakan persoalan lingkungan baru. Pembuangan limbah tambang menyebabkan lingkungan menjadi tercemar. 

Pencemaran terjadi ketika sebagian merkuri yang digunakan terbuang bersama air limbah pencucuian ke tempat pembuangan baik di tanah maupun di air.

Pembuangan zat kimia bersama air ke aliran sungai dapat menyebabkan terjadinya akumulasi merkuri pada sedimen dan bioakumulasi pada ikan serta moluska (Rumengan, 2004). 

Tindakan tersebut juga membuat air sungai menjadi hitam dan berbau. Hal ini karena proses pemurnian memanfaatkan teknik amalgamasi (penggunaan merkuri), tailing (ampas) yang terbuang ke aliran sungai berakibat sungai menjadi keruh dan tercemar merkuri (Hg) (Rezki, dkk., 2017). 

Pencemaran yang terjadi di aliran sungai tersebut mengancam kehidupan ekosistem rantai makanan. Apabila merkuri masuk kedalam tubuh manusia akan mengakibatkan timbulnya penyakit, walaupun penyakit yang datang tidak dirasakan langsung oleh manusia. Penyakit akibat pencemaran zat kimia merkuri yang sering terjadi yaitu mercurilialism, minamata disease, mad hetter' disease (Sumual, 2009). 

Permasalahan akibat amalgamasi di area lahan pertanian mengakibatkan lahan tak dapat digunakan lagi sebab limbah merusak biodiversitas, merusak kontruksi dan struktur tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi sulit beradaptasi karena ketersediaan kandungan hara yang rendah (Hamzah, dkk., 2012; Dondo, dkk., 2021).

Aktivitas pertambangan berskala besar dapat menyebabkan kerusakan lingkungan jangka panjang diantaranya tanah longsor, erosi, perubahan benteng alam, pencemaran air, udara maupun tanah. 

Dilansir dari laman geotimes.id, para ahli lingkungan menjelaskan terkait aktivitas pertambangan yang ditulis oleh Unger, Corinne, Alex Lechner, dan Ian Wilson (2013), dengan judul "Prevention of negative mining legacies a mine rehabilitation perspective on legislative changes in Queensland." 

Dalam tulisan tersebut menyatakan bahwa lingkungan tidak bisa dikembalikan ke fungsi utamanya. Artinya hanya bisa diminimalisasi dampaknya melalui serangkaian pendekatan. 

Menurut Moreno et al dalam Hamzah, dkk., (2012) merekomendasikan dua pendekatan dalam meridiasi tanah akibat limbah penambangan emas, pertama yaitu dengan menggunakan gen-gen tumbuhan (transgenik) dalam meningkatkan resistensi Hg serta mempertinggi daya tampung volitilisasi; kedua yaitu dengan larutan mengandung sulfur yang tidak bertoksis menginduksi akumulasi logam berat kedalam jaringan tumbuhan berbiomassa tinggi. 

Sedangkan, dari pihak pemerintah mengambil tindakan atas aktivitas penambangan emas tradisional rakyat ini dengan cara merekomendasikan dan menyediakan beberapa lapangan pekerjaan di bidang pertanian, perkebunanm perikanan maupun peternakan. Selain itu, pemerintah juga mengambil tindakan tegas untuk menutup aktivitas penambangan ilegal.

Sumber

Dondo, S. M., Kiyai, B., & Palar, N. (2021). Dampak Sosial Pengelolaan Tambang Emas di Desa Bakan Kabupaten Bolaang Mongondow. Jurnal Administrasi Publik, 7(101).

Hamzah, A., Kusuma, Z., Utomo, W. H., & Guritno, B. (2012). Penggunaan tanaman Vetiveria zizanoides L. dan biochar untuk remediasi lahan pertanian tercemar limbah tambang emas. Buana Sains, 12(1), 53-60.

https://geotimes.id/op-ed/tentang-tambang-emas-di-tumpang-pitu/ (diakses pada 3 Juni 2021).

https://youtu.be/R0uOwEXNYg8 (diakses pada 3 Juni 2021).

Rezki, M., Zulkarnaini, Z., & Anita, S. (2017). Kajian Dampak Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Terhadap Lingkungan Sungai Batang Kuantan Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan, 11(2), 106-115.

Rumengan, I. (2004, September). Dampak Biologi dari Pertambangan Emas Rakyat di Daerah Aliran Sungai Talawaan, Manahasa Utara. In Makalah. Seminar masalah dan solusi penambangan emas di Kecamatan Dimembe (Vol. 9).

Sumual, H. (2009). Karakterisasi Limbah Tambang Emas Rakyat Dimembe Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Agritek, 17(5), 258-270.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun