Mohon tunggu...
Rita Agustin
Rita Agustin Mohon Tunggu... Administrasi - A Girl Who Loves Flower, Rain, and A Cup of Tea

"The best investment you can make is an investment in yourself. The more you learn, the more you will earn." - Warren Buffet

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita tentangku dan Lilin Pemancar Kebahagiaan

30 Desember 2020   21:07 Diperbarui: 29 April 2021   10:54 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://fi.pinterest.com/Marlene. El

 

Pada suatu malam, di sebuah tempat yang bukan kerajaan, aku berjalan menyusuri ruas kota Jakarta. Earphone terpasang di telingaku, dan alunan lagu merdu aku dengarkan sembari menenteng makanan yang aku beli dari restoran cepat saji di mall tempatku bekerja, untuk menu makan malamku. 

Aku berjalan sambil menggerutu, karena lelah seharian bekerja dan menerima banyak keluhan dari orang sekitar. Berharap ingin cepat sampai kosan dan menyantap makanan. 

Di tengah perjalanan, hujan turun, aku terpaksa mencari tempat berteduh di dekat tenda warung pinggir jalan untuk mengeluarkan payung agar bisa melanjutkan perjalanan, lalu mataku tertuju pada sosok lelaki tua yang duduk di pinggir trotoar di bawah rintik hujan dengan pakaian tak layak pakai, wajah kusam, tangan yang memegang perut seperti memberi tahu semua manusia yang lalu lalang bahwa ia sedang kelaparan, serta ada baskom kecil di depannya, berharap orang yang lewat akan memberinya sedikit uang untuk bertahan hidup.

Namun, sayangnya, tidak ada satu mata pun dari orang-orang berpakaian rapi yang sekedar melirikkan matanya. Mereka sibuk berlarian mencari tempat berteduh untuk dirinya sendiri. 

Tiba-tiba hatiku seperti tertancap pisau tajam yang dapat membunuh hanya dalam satu sayatan. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan dari pada melihat keegoisan manusia terhadap manusia lain yang membutuhkan.

Aku sedikit menitikkan air mata, lalu aku dapati lelaki tua itu melihatku yang sedang memandang ke arahnya, dan di matanya aku melihat sebuah harapan. 

Tanpa pikir panjang, aku langsung memberikan makanan yang rencananya akan ku makan sambil nonton film favoritku, untuk menghilangkan rasa penat. 

Tak lupa aku sisihkan sedikit uang makan harianku untuk kuletakkan di baskom kecil miliknya. Senyum seketika mengembang di wajah lelaki tua tersebut, dan ia mengucapkan terima kasih yang tiada hentinya.

Aku melanjutkan perjalanan ke kosanku yang tinggal tersisa beberapa langkah lagi. Aku berjalan dengan perasaan bangga, dan semua lelah yang ku keluhkan di awal, seketika larut bersama air hujan yang turun. Rencana makan malam dengan makanan favorit pun harus kugantikan dengan nasi warteg yang hanya tersisa lauk orek tempe dan telur dadar. Alhamdulillah.

Iya, aku bangga karena aku menumbuhkan senyum di wajah lelaki tua itu yang aku yakin sangat sulit untuknya tetap bertahan hidup di dunia yang kejam ini. Dunia memang kejam, karenanya aku tidak ingin menjadi orang yang kejam juga, dengan tidak peduli pada orang-orang sekitarku yang membutuhkan.

Memberi hal sekecil apapun kepada orang lain, menurutku akan sangat memberikan arti untuk mereka. Kita tidak pernah tau, hal yang menurut kita kecil, akan sangat bermakna untuk orang yang membutuhkan. Berbagi senyuman, kasih sayang, cerita, berbagi waktu untuk mendengarkan cerita, dan berbagi sedikit harta yang kita miliki dapat menjadikan hidup lebih bermakna dan menjadikan kita manusia yang bermanfaat.

Selain memberikan makna untuk kehidupan, berbagi, memberi, dan menyantuni juga seperti lilin yang memancarkan apa yang aku sebut dengan 'kebahagiaan'. Kita terlahir di dunia ini memiliki tugas sebagai kurir, yang mengantarkan paket berisi senyuman. Dan dengan berbagi kita dapat menjadi pembawa suatu perubahan. Berbagi dan terus mengembangkan diri adalah cara terbaikku agar aku bisa terus bertahan, di dunia yang selalu menuntut kesempurnaan.

Aku mengerti bahwa pertemuan dengan lelaki tua itu adalah cara Tuhan menegurku yang lupa untuk bersyukur. Aku lupa, bahwa terlepas dari banyaknya keluh kesah yang aku alami di kehidupan, aku masih diberikan banyak nikmat. Nikmat yang dengannya aku masih bisa menulis cerita ini, aku masih bisa melihat senyum keluarga, teman-teman, dan orang-orang yang aku sayangi.

Aku terinspirasi membagikan ceritaku ini karena aku teringat kalimat yang diucapkan (Almarhum) Haji Soeprapto, seorang pendiri JNE yang telah mengajariku banyak hal tentang memberi. Beliau mengatakan bahwa dalam setiap harta yang kita miliki, terdapat harta anak-anak yatim. 

Kegiatan menyantuni anak yatim yang rutin beliau lakukan dari sebelum berdirinya JNE hingga saat beliau wafat, membuatku lebih memahami bahwa kesuksesan seseorang atau sebuah organisasi, tidak luput dari pengaruhnya terhadap kemakmuran orang lain. Terima kasih JNE, telah menjadi arti dalam setiap langkah perjalanan kami.

Yuk! sama-sama kita terus menjadi kurir pengantar paket berisi senyuman dan lilin pemancar kebahagiaan untuk orang sekitar :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun