Winda merencanakan untuk meminta cerai esok hari. Ia menulis semua unek-uneknya di catatan telepon genggam yang akan ia kirim esok sepulang mengajar.
Winda tidak berani mengutarakan keinginannya untuk bercerai secara lisan. Ia merasa tidak mampu menghadapi kemarahan Didy bila ia mengutarakan secara lisan.
Setelah pesan permintaan cerai terkirim esok hari, Winda dan Fira akan pulang ke rumah adik Winda, Dafa. Rumah Dafa dekat dengan sekolah. Baru selanjutnya ia akan meminta Didy untuk pergi dari rumah pemberian ibu.
Hari itu hati Winda berdebar lebih cepat. Ia meninggalkan rumah bersama Fira saat Didy masih tertidur lelap. Ya, Didy terbiasa bangun siang, sementara Winda dan Fira harus berangkat pagi sekali untuk mencapai sekolah.
Winda tentu saja tidak memberitahukan rencana perceraiannya pada Fira.
Selama mengajar hati Winda bimbang. Benarkah keputusan yang akan diambilnya? Bercerai, kata yang sebenarnya membuat Winda trauma. Trauma karena ayah ibunya dahulu juga bercerai. Ia telah merasakan pahitnya perceraian. Haruskah Fira mengalaminya juga? Namun di sisi lain Didy telah melukai hati Winda begitu dalam.
Dalam kebimbangan tiba-tiba ia menerima telepon yang mengejutkan.
Tangan Winda gemetar dan badannya lemas saat mendengar kabar di ujung telepon. Didy kecelakaan!
Winda menatap kertas yang harus ditandatanganinya dengan mata berkunang-kunang. Perlahan ia bubuhkan tanda tangan tanda persetujuan tindakan operasi pada Didy. Tulang kaki kiri Didy remuk terlindas mobil.
Selesai menandatangani tanda persetujuan Winda kembali menghampiri Didy yang terbaring lemah. Ia akan dibawa ke ruang operasi.
“Winda, Winda….” Didy mengerang lemah, tangannya ingin menggenggam tangan sang istri. Namun jemarinya tidak cukup kuat menggenggam.