Memasuki era globalisasi dengan percepatan tingkat kebutuhan akan barang dan jasa, memberikan dampak pada akses penggunaan hasil sumber daya alam yang merupakan bahan energi untuk kelangsungan hidup manusia. Globalisasi menuntut adanya pemodernan teknolgi yang siap pakai dengan penggunaan bahan bakar sebagai energi seperti halnya Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurut Aprillani Arsyad, Minyak dan Gas Bumi (Migas) adalah sumber daya alam yang strategis dan tidak dapat diperbaharui dan merupakan komoditas primer yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai arti penting dalam kegiatan perekonomian nasional.
Oleh karena itu, pengelolaannya harus dilakukan secara profesional dan berkelanjutan, agar dapat memberikan manfaat secara maksimal berupa kesejahteraan bagi rakyat secara keseluruhan. Pengeloaan Migas menjadi energi dilakukan oleh Pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat, yang berkesesuaian dengan Undang–undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Tak urung BBM menjadi “primadona” yang banyak diperebutkan oleh berbagai kalangan industri pengguna BBM, hingga penggunaan yang bersifat persorangan (individu). Secara pengusahaan Migas telah diatur dalam Undang – Undang No. 22 Tahun 2001 pasal 5 bahwa Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas; 1) Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup, Eksplorasi, Eksploitasi. 2) Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup, Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga.
Antara Pro – Kontra Usaha
Namun sudah menjadi realitas sosial bahwa BBM sering disalahgunakan secara illegal oleh berbagai pihak pengusaha yang tidak dilengkapi izin dan masyarakat sehingga dapat merugikan Pemerintah (Negara) juga masyarakat yang membutuhkan itu sendiri. Pelanggaran yang lumrah terjadi adalah berupa penimbunan minyak (minyak tanah, premium, solar, dan lain sebagainya) yang dilakukan oleh pihak – pihak yang ingin mengambil keuntungan lebih. Meskipun begitu, masih ada pro kontra terkait dengan penjualan BBM bersubsidi versi eceran yang ada pada kegiatan usaha hilir.
Contohnya adalah pengecer di daerah ataupun kota, atau tempat usaha yang sangat menggunakan bahan bakar dengan kuantitas yang tinggi. Memang benar bahwa bahan bakar yang dijual dalam bentuk eceran merupakan usaha niaga untuk mempermudah konsumen membeli bahan bakar ketika stok bahan bakar terbatas, ataupun ketika kita berada diwilayah yang sulit dalam memperoleh bahan bakar dari SPBU, dikarenakan akses yang sulit atau mengalami kelangkaan. Mainstream seperti ini merekonstruksi tentang penjualan BBM yang resmi dan ideal.
Seperti di daerah yang jarang dilakukan pengawasan secara intens oleh Pemerintah, seringkali pengusaha minyak lokal berbondong – bondong menuju SPBU untuk memasok BBM dalam jumlah besar. Banyak cara yang dilakukan, seperti memasok BBM menggunakan tangki bensin yang sudah dimodifikasi, untuk menampung jumlah bensin diluar dari kapasitas normal seperti motor dengan mesin besar biasanya mengkonsumsi BBM 15 – 20 liter menjadi 25 liter.
Ironisnya, hal ini dilakukan secara berulang menuju ke SPBU yang sama atau berbeda, serta ada juga yang menggunakan jerigen untuk menambah kapasitas penampung. Disisi lain, pengecer juga tak lain adalah seorang masyarakat kecil yang berusaha keluar dari jerat rantai kemiskinan yang ada di Negara kita. Pengecer menjual BBM yang sudah di simpan untuk keperluan masyarakat yang dijual melalaui konsensus kolektif harga eceran di wilayah – wilayah tertentu dengan varian yang berbeda,
walaupun kebanyakan pengecer pemilik modal yang besar seperti badan usaha (korporasi) lebih diuntungkan dibanding pengecer kecil karena memasok BBM dengan kuantitas yang banyak. Banyak diantara badan usaha (korporasi) yang memanfaatkan budaya “bensin eceran” untuk dijual kembali kepada perusahaan besar, atau tempat lain yang memiliki selisih perbandingan harga yang cukup besar.
Hal seperti ini dikarenakan lemahnya pengawasan dan kontrol dari pihak petugas SPBU dan Pemerintah. Tidak hanya itu, penyalahgunaan BBM bersubsidi yang dipasok oleh pengecer juga belum memiliki aturan standar terkait dengan jumlah maksimum yang dibeli oleh pengecer mengingat pentingnya juga BBM eceran uantuk situasi tertentu mesik terkadang harus dijual dengan harga yang tinggi.
Kebijakan Pro Rakyat
Secara produk hukum, sanksi atas pelanggaran BBM sudah diatur dalam Undang –Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 53 sampai dengan Pasal 58, dengan anacaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). Penerapan pidana ini juga seringkali menguntungkan para pelaku karean tidak ada batas minimum hukuman pidana yang pasti, secara tafsir melalui Undang – Undang No. 22 Tahun 2001 pasal 53 sampai dengang 58 berarti hukuman minimal adalah 1 (satu) hari dan maksimal adalah 6 (enam) tahun dan straf minima denda juga tidak ada, maka dapat dikatakan butuh ketegasan secara hukum karena berguna memberikan efek jera bagi pelaku perseorangan.
Berbeda dengan badan usaha (korporasi) yang menyalahgunakan BBM bersubsidi, yang ditambah sebanyak sepertiganya, produk hukum ini harus bisa menertibkan rakyat kecil yang berniat baik menjual BBM eceran untuk kebutuhan masyarakat banyak dalam situasi tertentu, namun juga harus memiliki batas pasokan BBM untuk pengecer agar lebih terkontrol mendistribusikannya, caranya juga dapat menggunakan kartu kontrol yang dipergunakan saat membeli BBM untuk kebutuhan dagang. Perlu juga diperhatikan kepada pengecer nakal yang memiliki mitra dengan penjahat berkerah atau memiliki kekuasaan berupa modal sosial dan modal materil di kalangan masyarakat.
Ketegesan produk hukum yang dibuat haruslebih tajam kearah pemilik modal lain seperti korporasi yang tidak memiliki izin karena korporasi memiliki potensi tindak kriminal besar yang seperti menimbun, dan pengangkutan penjualan kepada perusahaan besar, ke luar negeri, atau tempat lain yang memiliki harga BBM yang tinggi. Dengan demikian hukum diharapkan akan seimbang serta efektif untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan penjualan BBM dapat menjadi sarana usaha masyarakat kecil untuk terlepas dari rantai kemiskinan.
[caption caption="Sumber: Hasil Dokumentasi Lapangan di SPBU Bangka Belitung (Foto Pengecer Menggunakan Jerigen Bertutup Sarang Burung)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H