Kehadirannya sempat ditolak warga. Kalau bukan karena Mbok Nah yang mati-matian membela, mungkin ia terusir seperti anjing buduk. Mbok Nah sendiri merupakan warga desa ini yang mencari nafkah di Jakarta. Hanya dua atau tiga bulan sekali dia pulang menengok rumahnya yang hampir ambruk. Kepulangannya bersama lelaki aneh kali ini membuat warga berang.
Mbok Nah belum sempat membuka pintu saat puluhan warga mendatanginya. Sempat terjadi keributan saat warga bertanya perihal lelaki yang bersamanya. Untung Pak Lurah mampu meredakan suasana.
“Siapa dia, Mbok? Kenapa orang dibawa ke sini? Lihat keadaannya. Mengerikan!” Pak Lurah mengucapkannya sambil menunjuk pemuda di samping Mbok Nah yang terbungkuk-bungkuk. Orang yang ditunjuk tersenyum.
“Namanya Suwung, Pak Lurah. Dia anak angkat saya!” jawab Mbok Nah dengan nada memelas. “Izinkan dia tinggal di sini untuk menemani saya. Saya tidak akan pergi ke kota lagi!”
Orang-orang yang hadir saling tatap.
“Sebenarnya kami tidak keberatan, Mbok. Hanya saja, keadaannya membuat kami ngeri! Kami takut warga resah. Bukan begitu bapak-bapak dan ibu-ibu?”
Pertanyaan itu disambut jawaban kompak dari warga. “Benar!”
“Saya jamin, dia tidak akan berbuat macam-macam!” Mbok Nah hampir putus asa untuk meyakinkan warga.
*****
Tidak butuh waktu lama untuk membuat Suwung terkenal. Cerita tentang kepalanya beredar seperti aliran listrik yang memasuki rumah-rumah, bukan hanya dari desa kami, tapi juga desa tetangga. Tidak sedikit orang sengaja datang melihat keadaannya. Beberapa dari mereka bergidik, tapi ada juga yang justru kagum dengan keramahannya. Ya, Suwung selalu tersenyum pada orang-orang yang memandang nyinyir.
Perawakan lelaki itu tegap. Usianya mungkin tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Hanya saja, bagian atas kepalanya cekung. Ya, cekung, seperti sebuah mangkuk! Isu seputar nama dan bentuk kepalanya itu pun beredar. Katanya, ia diberi diberi nama Suwung karena isi kepalanya kosong alias suwung. Kasarnya, ia tidak punya otak. Ada juga yang mengatakan bahwa Suwung itu orang edan. Entah dari mana asal mula perkataan itu.
Jika hanya mengenalnya sepintas, bisa jadi orang akan langsung percaya isu itu. Memang, secara fisik ia cukup ganteng dengan kulit bersih dan tato bergambar keris membara di tengkuknya. Ia juga selalu menyendiri dan tidak pernah bicara dengan orang lain. Jika diajak bicara, ia hanya menanggapi dengan tersenyum. Senyum yang tulus, sebenarnya. Tapi, entah mengapa orang-orang menganggap senyumnya justru mengandung misteri.
Rumahku tidak seberapa jauh dari rumah Mbok Nah. Saat melewati rumah itu, aku sering melihat Suwung sedang menggores-gores tanah menggunakan ranting, seperti menggambar sesuatu. Beberapa kali aku memperhatikan tingkahnya. Untungnya, ia seperti tidak merasa terganggu. Ia menganggapku tak ada, tetap asyik dengan ranting di tangan. Semakin lama memperhatikan, semakin bertambah kerut di dahiku.
“Wung,” begitu aku memanggilnya, “apa yang kamu gambar itu?” tanyaku mencoba mengajaknya bicara.
Alih-alih menjawab, ia berpaling sekilas, tersenyum, lalu kembali asyik dengan kegiatannya.
Aku hendak meninggalkannya saat ia berkata pelan. “Garis takdir. Rakyat miskin. Tuhan menghilang!”
Aku melongo. Ini adalah kalimat pertama yang kudengar dari mulutnya.
“Maksudmu?”
Ia tidak menjawab. Tangannya bergerak mengikuti alur garis yang ada di tanah. Alur garis seperti benang kusut. “Ini! Garis takdir! Lalu, ini ....” Tangannya kembali bergerak. Mau tak mau mataku mengikuti gerakannya. “Rakyat miskin, dan Tuhan menghilang,” lanjutnya dengan nada datar dan pelan.
“Nggak ngerti aku, Wung!”
Suwung tersenyum kecil tanpa menoleh.
“Takdir rakyat miskin itu seperti benang kusut! Sulit diurai.”
Aku mengangguk. “Terus, apa hubungannya dengan Tuhan menghilang? Kan, Tuhan yang membuat takdir bagi mereka.”
Suwung tersenyum. “Ya, itulah! Seringkali kemiskinan membuat orang lupa kalau ia sedang berada di dalam takdir Tuhan. Oleh orang kaya, kemiskinan dijadikan tambang kekayaannya. Dan, orang-orang kaya itu pun lupa pada Tuhan. Hilanglah Tuhan.”
Aku mengernyitkan dahi. “Mbuhlah, Wung!” Aku tak mampu menyelami perkataan Suwung. Daripada semakin stres, aku pun meninggalkannya.
*****
Desaku gempar. Rombongan delapan mobil mewah dengan sirine memekakkan lewat dan berhenti di balai desa. Orang-orang di sawah berhenti mencangkul. Ibu-ibu bergegas keluar rumah. Anak-anak berhenti bermain. Mereka beramai-ramai ke balai desa. Aku tak mau ketinggalan.
Pak Lurah menunjuk ke arahku begitu aku sampai di sana. Aku merasa pandangan seluruh warga desa tertuju padaku.
“Wir, sini!” teriak Pak Lurah. Beliau berdiri diapit dua bapak bersafari hijau tua.
Aku berjalan santai sembari melirik mobil-mobil mewah yang kulewati. Mobil-mobil itu berkaca hitam dan tertutup, sehingga tak sedikit pun bagian dalam yang dapat kulihat. Tapi, saat melewati mobil nomor tiga dari depan, langkahku tertahan. Sekilas terlihat penumpang di kursi belakang lewat kaca yang mungkin sengaja diturunkan sedikit. Seorang perempuan cantik, seperti artis di TV.
“Wir, cepetan! Ini ada tamu butuh bantuanmu!” teriak Pak Lurah lagi.
“Iya, Pak!” jawabku sekenanya. “Ada apa, Pak Lurah?”
“Ini, Wir, rombongan dari Jakarta ini mau bertemu Suwung. Apa kamu bisa memanggilkan Suwung kemari?”
Aku terbengong. Orang dari Jakarta mencari Suwung? Buat apa?
“Wah sulit, Pak!” Aku melirik dua orang di samping Pak Lurah. “Bagaimana kalau saya antar mereka ke Suwung? Tapi, jangan semua. Suwung tidak mau bertemu banyak orang.”
“Bagaimana, Bapak-bapak? Si Suwung itu memang aneh, meski tidak pernah bikin resah di sini. Tapi, ya itu, dia suka menyendiri,” tanya Pak Lurah kepada dua orang di sampingnya.
“Sebentar, Pak,” sahut seorang di antara mereka.
Mereka berdua seperti merundingkan sesuatu. Salah satu dari mereka lalu berjalan ke mobil yang ada gadis cantiknya tadi. Tidak berapa lama kemudian, pintu mobil terbuka. Seorang gadis keluar dari mobil.
“Cantiknya! Cakepnya! Wuihhh ....” Begitulah celoteh para warga melihat gadis itu. Ada juga warga yang membuat suitan panjang, yang membuat suasana gaduh.
Gadis itu sepertinya tidak merasa terganggu. Dengan anggunnya, ia berjalan ke arahku. Pesonanya membuat mulutku melongo.
“Antarkan saya ke tempat Suwung!” pintanya tanpa basa-basi. Aku tergagap. Ada kesan sombong dari tingkahnya. Bahkan, Pak Lurah juga tidak ditegurnya.
“Ya sudah Wir, kamu antarkan dia!” perintah Pak Lurah. Lugas. Sepertinya kurang suka tingkah gadis itu.
*****
“Bagaimana Mbak bisa kenal Suwung?” tanyaku pada gadis itu saat berjalan ke tempat Suwung. Sekadar basa-basi.
“Saya nggak kenal! Dan, itu bukan urusanmu!” potongnya, ketus.
Darahku mendidih. Aku mempercepat langkah, tak peduli apakah mereka tertinggal atau tidak.
Kulihat Suwung masih asyik dengan rantingnya di tempat semula saat aku meninggalkannya.
“Wung, ada yang nyari kamu!” Tanganku menunjuk ke arah aku datang.
Suwung menoleh, lalu kembali asyik dengan kerjaannya. Tak acuh.
Gadis cantik itu menarik napas panjang saat sampai. “Kamu Suwung?” tanyanya tanpa basa-basi, setelah mengatur napas.
Suwung menghentikan kegiatannya. Ia memandang Si Gadis. Bibirnya menyunggingkan senyum. Tapi, tak ada kata keluar dari sana. Lalu, Suwung kembali asyik dengan rantingnya.
“Saya Ariani.” Gadis itu menjulurkan tangannya ke Suwung.
Suwung tak menyambut. Ia asyik dengan rantingnya. “Garis takdir. Rakyat miskin. Tuhan menghilang!” kata Suwung. Pelan tapi jelas.
Gadis itu berjalan ke belakang Suwung. Sejenak ia memperhatikan tengkuk pemuda itu. Lalu, “Kamu adalah orang yang saya cari. Kamu harus ikut saya!”
Gadis itu menyambar tangan Suwung. Ranting di tangan Suwung dirampas, lalu dicampakkannya. Suwung memberontak. Ia menghentakkan tangan gadis itu dengan keras. Hampir saja gadis itu terpelanting jika ia tidak sigap menyeimbangkan diri. Napasnya memburu, mungkin kaget dengan reaksi Suwung.
“Pak, paksa laki-laki ini ikut!” perintahnya.
*****
Balai desa masih ramai saat kami kembali. Pak Lurah juga masih menunggu. Orang-orang di dalam mobil tidak ada satu pun yang keluar. Sombong sekali mereka, pikirku.
Dari wajahnya, aku menebak Pak Lurah tidak suka dengan kehadiran mereka. Pak Lurah semakin terlihat tak senang saat melihat kami datang dengan cara tidak wajar. Lelaki bersafari yang tadi bersamaku menelikung kedua tangan Suwung ke belakang.
“Ada apa ini? Kenapa Suwung dibegitukan?” tanya Pak Lurah dengan nada tinggi, begitu kami sampai beberapa langkah di depannya. “Suwung, kamu nggak apa-apa?” tanya Pak Lurah beralih ke Suwung.
Suwung tersenyum, lalu berkata, “Tuhan menghilang!”
Semua yang hadir terdiam. Suara Suwung selama ini belum pernah terdengar. Namun, sekali terdengar, kalimatnya membuat otak berpikir keras. Hening.
“Terpaksa, Pak Lurah.” Gadis cantik itu memecah keheningan. “Kami butuh Suwung sekarang juga.”
“Untuk apa? Dia tidak pernah berbuat onar selama ini. Meski terlihat aneh, tapi dia cukup sopan. Ada apa sebenarnya?”
“Maaf sebelumnya, Pak, kalau kami kurang sopan. Oh ya, saya Ariani, sekretaris pribadi Presiden Partai Pilihan Rakyat. Beliau ada di mobil itu. Maaf, beliau tidak bisa turun,” kata gadis itu menunjuk mobil yang semula dinaikinya.
“Hah? Ketua partai? Dari pusat?”
Ariani mengangguk. “Iya, Pak. Kami ada perlu dengan Suwung.”
“Saya tak mengerti!”
“Begini, Pak. Penasihat spiritual atasan saya menyuruh beliau untuk mencari orang bernama Suwung dengan ciri-ciri khusus. Tadi, saya sudah melihat bahwa Suwung itulah yang kami cari.”
“Terus?”
“Suwung akan kami ajukan sebagai calon bupati dari partai kami.”
“Suwung? Jadi calon bupati? Orang tanpa otak itu?” tanya Pak Lurah dengan dahi berkerut dalam. Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban.
Gadis itu tersenyum. Ia berjalan mendekati Suwung yang masih dipegang erat oleh bapak bersafari. “Lepaskan dia!” perintahnya.
Gadis itu menuntun Suwung ke mobil mewah yang tadi ditunjuk. Seorang lelaki berperawakan tambun membuka pintu mobil dari dalam. Suwung didorong masuk ke dalam mobil. Lalu, pintu ditutup dari luar.
Semua orang terdiam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setengah jam telah berlalu saat pintu mobil terbuka. Suwung keluar. Mukanya pasi. Tubuhnya terlihat lemah.
Dari jendela mobil yang sedikit terbuka, sebuah tangan melambai. Dua bapak bersafari mendekat. Beberapa saat kemudian, keduanya berkeliling sambil membagikan uang kepada warga desa. Dan, tanpa kuduga, gadis cantik di sampingku menyelipkan segepok uang ke tanganku. Uang yang sangat banyak.
“Ini untukmu! Berkat Suwung, partai kami pasti akan menjadi pemenang Pilkada. Dan, percaya atau tidak, orang-orang seperti Suwung inilah yang kelak akan jadi pemimpin kalian.”
Aku bergeming, tidak mengerti. Rombongan itu meninggalkan balai desa dengan ribuan pertanyaan di benakku. Aku menoleh ke Suwung.
“Garis takdir. Rakyat miskin. Tuhan menghilang!” ujarnya sambil berlalu dengan langkah gontai.
*****
Tiga hari kemudian dan hari-hari berikutnya, desa kami ramai didatangi orang-orang bermobil mewah. Mereka mengaku dari partai tertentu. Tujuannya satu, menemui Suwung. Dan, Suwung masih saja asyik dengan ranting dan tanah yang digoresnya. Dan dari mulutnya kini selalu terdengar, “Garis takdir. Rakyat miskin. Tuhan menghilang.”
Dan, hingga kini, aku masih tak mengerti apa maksud ucapannya.
Tangerang Selatan, April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H