Jika hanya mengenalnya sepintas, bisa jadi orang akan langsung percaya isu itu. Memang, secara fisik ia cukup ganteng dengan kulit bersih dan tato bergambar keris membara di tengkuknya. Ia juga selalu menyendiri dan tidak pernah bicara dengan orang lain. Jika diajak bicara, ia hanya menanggapi dengan tersenyum. Senyum yang tulus, sebenarnya. Tapi, entah mengapa orang-orang menganggap senyumnya justru mengandung misteri.
Rumahku tidak seberapa jauh dari rumah Mbok Nah. Saat melewati rumah itu, aku sering melihat Suwung sedang menggores-gores tanah menggunakan ranting, seperti menggambar sesuatu. Beberapa kali aku memperhatikan tingkahnya. Untungnya, ia seperti tidak merasa terganggu. Ia menganggapku tak ada, tetap asyik dengan ranting di tangan. Semakin lama memperhatikan, semakin bertambah kerut di dahiku.
“Wung,” begitu aku memanggilnya, “apa yang kamu gambar itu?” tanyaku mencoba mengajaknya bicara.
Alih-alih menjawab, ia berpaling sekilas, tersenyum, lalu kembali asyik dengan kegiatannya.
Aku hendak meninggalkannya saat ia berkata pelan. “Garis takdir. Rakyat miskin. Tuhan menghilang!”
Aku melongo. Ini adalah kalimat pertama yang kudengar dari mulutnya.
“Maksudmu?”
Ia tidak menjawab. Tangannya bergerak mengikuti alur garis yang ada di tanah. Alur garis seperti benang kusut. “Ini! Garis takdir! Lalu, ini ....” Tangannya kembali bergerak. Mau tak mau mataku mengikuti gerakannya. “Rakyat miskin, dan Tuhan menghilang,” lanjutnya dengan nada datar dan pelan.
“Nggak ngerti aku, Wung!”
Suwung tersenyum kecil tanpa menoleh.
“Takdir rakyat miskin itu seperti benang kusut! Sulit diurai.”