Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyemai Kisah, Menuai Hikmah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembunuh Rasa

1 Juni 2013   16:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:41 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku ingin punya suami kaya njenengan Mas.”

Kalimat yang terlontar dari bibir Marni membuat tanganku berhenti menari-nari di atas keyboard. Sejenak kumenoleh ke arah Marni untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar. Aku dan Marni memang baru akrab beberapa minggu terakhir setelah kantor tempat kami bekerja merombak posisi para stafnya. Kebetulan tempat dudukku dan tempat duduk Marni berdekatan. Mulai saat itulah aku dan Marni mulai saling mengenal. Semula, aku hanya berani diam-diam melirik ke arahnya. Aku melihat Marni tidak seperti gadis-gadis lain yang pernah kukenal. Selain cantik, ada aura kecerdasan dan kesalehan yang memancar dari wajahnya.

Aku beruntung karena mendapatkan tempat kerja di samping Marni yang supel, agak cerewet, cerdas, dan juga cantik. Pembicaraan antara aku dan Marni pada awalnya lebih didominasi oleh Marni, sedangkan aku hanya sekadar menjawab apa yang ditanyakannya. Namun, perlahan pembicaraan kami berlangsung dua arah. Aku tidak lagi merasa terlalu minder berbicara dengannya. Terlebih ketika ia mengutarakan bahwa ia menganggapku sebagai seorang sahabat. Ini adalah sebuah kemajuan besar dari perkenalan kami. Entah apa yang membuatnya merasa aku bisa menjadi sahabatnya, padahal teman-teman pria lain di kantor juga ingin dekat dengannya.

Ucapan tentang ingin mempunyai suami seperti diriku yang terlontar dari bibir mungilnya sontak membuat anganku melambung. Namun aku sangat sadar, aku bukan siapa-siapa. Dilihat dari segi fisik, aku jauh di bawah teman-teman kantor yang juga mendekatinya. Dilihat dari kecerdasan, aku masih jauh di bawah Marni. Aku sungguh merasa tidak pantas jika terlalu berharap dan bermimpi terlalu tinggi untuk menjadi calon suaminya. Oleh karena itulah aku tidak terlalu memikirkan ucapannya itu. Toh, ia hanya ingin suami seperti aku. Ya, seperti aku. Itu berarti bukan aku. Meski awalnya aku merasa GR, tetapi itu hanya sesaat. Untuk selanjutnya aku tidak ingin memupuk impian yang terlalu tinggi terkait dengan dirinya, meskipun kuakui ia calon istri yang sangat ideal.

Hari-hari berikutnya aku dan Marni masih bercanda seperti biasa. Berbagi headset untuk mendengarkan musik yang diputarnya, bercerita tentang masa-masa kuliah, tentang keluarga, orang yang disukai, dan sebagainya. Semakin hari kami semakin akrab, meskipun sebatas di tempat kerja. Aku pun merasa senang dan bahagia bisa mengenal Marni sedekat itu, dan aku tidak berusaha meningkatkan level hubungan kami. Tidak, aku tidak berani. Marni berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dariku.

Tak terasa hubungan persahabatan antara aku dan Marni semakin dekat, hingga suatu hari Marni dipromosikan menjadi supervisor bersama beberapa karyawan lainnya. Hubungan kami agak sedikit renggang ketika Marni mendapatkan jabatan barunya, sedangkan aku tetap menjadi staf di bawah pengawasannya. Secara lisan, sebagai seorang sahabat, aku merasa senang dengan peningkatan kariernya. Akan tetapi, terus terang aku merasa kehilangan, iri, dan cemburu.

Aku merasa iri karena ia diangkat menjadi supervisor, meskipun kuakui ia pantas mendapatkannya. Aku juga cemburu karena ia akan lebih dekat dengan orang lain daripada denganku, walaupun pada awalnya ia masih sering menghampiri tempat dudukku untuk sekadar curhat atau ngobrol. Jika boleh memilih, egoku ingin ia tidak dipromosikan menjadi suprevisor. Egoku ingin ia selalu di sampingku. Jujur, hatiku merasa sakit dengan kejadian itu, meski secara lisan aku berbahagia untuknya. Mungkin jika yang dipromosikan adalah orang yang tidak aku sukai, aku tidak akan merasa sesakit ini. Namun, apa boleh buat, aku tak punya kuasa untuk mengubahnya.

Semakin hari hubunganku dengan Marni semakin jauh. Ia terlihat sibuk dengan tugas barunya. Sedangkan aku merasa tidak pantas lagi untuk sekadar curhat dengannya. Terlebih ia terlihat semakin akrab dengan rekan-rekan sesama supervisor. “Aku pasti sudah dilupakannya,” pikirku.

Suatu hari Marni memintaku untuk main ke tempat kosnya. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu Mas,” kata Marni saat menghampiri meja kerjaku. Ada kilatan misteri dalam matanya yang membuatku tidak bisa menolak permintaannya itu.

Ada rasa canggung yang menggantung di antara kami saat aku sudah sampai tempat kosnya. Maklum, entah sudah berapa lama kami tidak lagi ngobrol sedekat ini.

“Mas, apa aku masih kamu anggap sebagai sahabatmu?” ucap Marni dengan intonasi yang begitu berat, seolah kata itu tidak ingin ia lontarkan. Pertanyaan sederhana yang memecah kesunyian sekaligus menghentak kesadaranku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun