Mohon tunggu...
Risvania Andaresta
Risvania Andaresta Mohon Tunggu... Lainnya - Selamat datang

Aku mau ngga bosen menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Resepsi Pernikahan dan Budaya Bisik-bisik Tetangga

21 Februari 2022   19:08 Diperbarui: 19 Desember 2022   14:41 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (detik.com)

Sepasang wajah muda-mudi terlihat semringah menyaingi bunga-bunga plastik yang merekah di sekitar pelaminan bertirai merah. Di hadapan keduanya, ibu-ibu dan bapak-bapak sibuk mengantre membentuk pose permainan ular tangga. 

Pemandang itu adalah kegiatan yang lumrah terjadi di dalam resepsi pernikahan yang digelar oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Namun, ada satu situasi akrab lain yang kerap muncul di sela-sela kebahagiaan sang pemangku acara, apalagi kalau bukan bisik-bisik tetangga.

Pengalaman tersebut mungkin tidak terjadi di semua pesta pernikahan, terutama untuk ukuran acara mewah yang diadakan di hotel kelas atas. Ya, walaupun pada dasarnya akan selalu ada orang yang berkata buruk tentang kita. 

Tetapi bagi kalangan yang mengandalkan lahan kosong dekat rumah, memblok satu gang pemukiman, menyewa lapangan RT/RW, memanfaatkan halaman masjid, hingga membooking gedung pertemuan sederhana, menjadi korban review dari para tetangga yang bermulut besar sudah dianggap sebagai bagian dari konsekuensi.

Aktivitas kondangan memang selalu penuh cerita dan mampu meninggalkan kesan tersendiri, tapi bukan berarti kita bisa mengekspresikan kesan tersebut melalui utasan review yang melukai orang lain. Sialnya, kejadian seperti ini tidak satu atau dua kali saya jumpai.

Meski tak ada peta yang sama untuk menuju arah dewasa, di tahun 2022 ini, mayoritas manusia yang sebaya dengan saya (sekitar 23 tahun ke atas) tampaknya sudah siap untuk menjadi orang dewasa seutuhnya, dan merawat kedewasaan itu sampai akhir hayat.  

Mereka bersuka cita membagikan foto pra nikah, sampai menyebar undangan versi digital di laman media sosial. Saya pun berkesempatan untuk terlibat dalam momen sakral tersebut sebagai seorang tamu undangan.

Dalam salah satu resepsi pernikahan yang berlangsung tak jauh dari tempat saya tinggal, ada saja tetangga sekitar yang hadir bukan untuk membawa ucapan selamat dan segenggam doa, melainkan nyali seujung kuku untuk melakukan ritual julid di belakang si tuan rumah. 

Persis seperti YouTuber yang tengah me-review barang atau makanan, mereka menjelaskan secara rinci apa saja kekurangan dari pesta pernikahan tadi. Kumpulan tetangga yang didominasi oleh ibu-ibu itu mulai memercikan api kenyinyiran.

"Banyak uang tapi kok pestanya gitu doang, harusnya kan bisa lebih mewah," ujar salah satu orang yang kemudian disambut dengan penuh semangat 45 oleh yang lainnya.

Dari awalnya yang hanya membahas tenda yang menurut mereka terlalu sederhana, lalu merembet ke hal-hal lain yang semakin merendahkan.

"Iya makannya juga ga enak, ga ada rasanya, tuh kata suami saya karedoknya juga hambar."

"Kalo dikampungku, katanya kalo hajatan terus makanannya anyep, berarti cewenya udah ga perawan," celetuk salah seorang ibu yang juga memiliki anak perempuan. Sontak pertanyaan tersebut membuat obrolan semakin panas.

"Nah iya sih, saya juga udah duga begitu. Apalagi dia (pengantin wanita yang rumahnya berdekatan dengan saya) kerja di Jakarta dan ngekos sendiri," balas ibu-ibu lain yang kini ucapan tersebut sudah menjurus ke arah fitnah.

Jauh sebelum hari itu, obrolan dengan tema serupa juga sudah pernah lewat di telinga saya. Bahkan mereka sampai menyebut bahwa suami yang mendampingi pengantin wanita sebenarnya bukanlah calon sebenarnya. Sang wanita disebut sudah berganti pasangan dalam kurun waktu sebulan.

Bak jamur beracun yang tumbuh di tengah musim hujan yang penuh berkah, para tetangga itu tidak ragu untuk menyebar desas desus di hari bahagia orang lain. Bahkan sesaat setelah mereka menyalami tangan kedua mempelai sambil memamerkan senyum terbaik.

Orang cenderung bergosip karena disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya memiliki kepribadian sadis. Ada semacam sadisme emosional yang berakar pada gosip, di mana pelakunya senang mengetahui bahwa orang lain mengalami tingkat rasa sakit yang tidak dia alami. Hal lain yang membuat orang bergosip juga dapat meliputi perilaku pengecut, merasa insecure, merasa cemas dan terbelenggu oleh ketidakpastian.

Sayangnya, lagi-lagi perempuanlah yang menjadi korban dari segala tuduhan. Posisi kaum hawa tidak pernah aman dan nyaman, sekali pun mereka berada di dalam lingkaran perempuan lain. 

Saat sejumlah perempuan memutuskan untuk tidak menggelar resepsi pernikahan, para tetangga akan sibuk menerka-nerka apa yang terjadi. Apakah dia hamil duluan? Apakah calon suaminya melarat? Semua prasangka negatif seolah-oleh ditembakkan agar membuat diri sendiri merasa lebih baik dan hebat.

Tidak mudah memang untuk menebas budaya bisik-bisik tetangga. Tapi saya rasa, memulainya dari diri sendiri akan membuahkan perubahan yang tak kalah berarti. Datang ke pesta pernikahan juga bisa menjadi momen untuk belajar menjadi tuan rumah yang baik di kemudian hari, ketika hendak menggelar sebuah acara. 

Apabila resah terhadap jamuan pesta yang menurut Anda tidak sesuai ekspetasi sebagai seorang tamu, bicaralah secara langsung pada si empunya acara. Banyak kata-kata dan tindakan yang lebih bijak untuk menyampaikan kritik dan saran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun