Dari awalnya yang hanya membahas tenda yang menurut mereka terlalu sederhana, lalu merembet ke hal-hal lain yang semakin merendahkan.
"Iya makannya juga ga enak, ga ada rasanya, tuh kata suami saya karedoknya juga hambar."
"Kalo dikampungku, katanya kalo hajatan terus makanannya anyep, berarti cewenya udah ga perawan," celetuk salah seorang ibu yang juga memiliki anak perempuan. Sontak pertanyaan tersebut membuat obrolan semakin panas.
"Nah iya sih, saya juga udah duga begitu. Apalagi dia (pengantin wanita yang rumahnya berdekatan dengan saya) kerja di Jakarta dan ngekos sendiri," balas ibu-ibu lain yang kini ucapan tersebut sudah menjurus ke arah fitnah.
Jauh sebelum hari itu, obrolan dengan tema serupa juga sudah pernah lewat di telinga saya. Bahkan mereka sampai menyebut bahwa suami yang mendampingi pengantin wanita sebenarnya bukanlah calon sebenarnya. Sang wanita disebut sudah berganti pasangan dalam kurun waktu sebulan.
Bak jamur beracun yang tumbuh di tengah musim hujan yang penuh berkah, para tetangga itu tidak ragu untuk menyebar desas desus di hari bahagia orang lain. Bahkan sesaat setelah mereka menyalami tangan kedua mempelai sambil memamerkan senyum terbaik.
Orang cenderung bergosip karena disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya memiliki kepribadian sadis. Ada semacam sadisme emosional yang berakar pada gosip, di mana pelakunya senang mengetahui bahwa orang lain mengalami tingkat rasa sakit yang tidak dia alami. Hal lain yang membuat orang bergosip juga dapat meliputi perilaku pengecut, merasa insecure, merasa cemas dan terbelenggu oleh ketidakpastian.
Sayangnya, lagi-lagi perempuanlah yang menjadi korban dari segala tuduhan. Posisi kaum hawa tidak pernah aman dan nyaman, sekali pun mereka berada di dalam lingkaran perempuan lain.Â
Saat sejumlah perempuan memutuskan untuk tidak menggelar resepsi pernikahan, para tetangga akan sibuk menerka-nerka apa yang terjadi. Apakah dia hamil duluan? Apakah calon suaminya melarat? Semua prasangka negatif seolah-oleh ditembakkan agar membuat diri sendiri merasa lebih baik dan hebat.
Tidak mudah memang untuk menebas budaya bisik-bisik tetangga. Tapi saya rasa, memulainya dari diri sendiri akan membuahkan perubahan yang tak kalah berarti. Datang ke pesta pernikahan juga bisa menjadi momen untuk belajar menjadi tuan rumah yang baik di kemudian hari, ketika hendak menggelar sebuah acara.Â
Apabila resah terhadap jamuan pesta yang menurut Anda tidak sesuai ekspetasi sebagai seorang tamu, bicaralah secara langsung pada si empunya acara. Banyak kata-kata dan tindakan yang lebih bijak untuk menyampaikan kritik dan saran.