Tangisan Terakhir
Oleh : Ristiana Nadifa
Kasur empuk, kamar mungil yang dihuni oleh seorang gadis kecil berusia 9 tahun. Wajahnya yang cantik, bola matanya yang besar dan sifatnya yang ceria menjadi ciri khas Nadi penyebab rumah selalu ramai karena ulahnya tidak ada satu detikpun rumah itu sepi dan hening jika ada dirinya, keluarga kecil yang sangat dia banggakan. Terutama sosok Ayah yang menjadi cinta pertamanya, karena kesalahan sekecil apapun yang dia perbuat selalu ada ruang maaf yang Ayahnya berikan. Apalagi jika kakaknya Rendy mengganggunya, Ayah selalu menjadi garda depan untuk membelanya.
“Ayahhhhhh, ayo temenin Ade nonton film Barbie”.
“Boleh tapi Ayah makan dulu ya”
“Yaudah deh tapi tolong setelin dulu kasetnya”
Ayah pun bergegas ke ruang tv untuk menyetel kaset film Barbie kesukaan Nadi.
“Sudah, Ayah makan dulu ya nanti kalau udah selesai Ayah kesini temenin Ade”
“Makasih ya Ayahh”
Sambil menunggu Ayahnya Nadi sibuk dengan asyiknya menonton film itu hingga tidak sadar mengapa Ayahnya begitu lama sudah sekitar 1 jam lebih tidak biasanya Ayah makan selama itu, karena Nadi selalu hafal berapa menit Ayahnya selesai makan.
“Ayahhhhhhhh, kok lama sekali makannya nanti filmnya ke buru habis Yahhh”
Dipanggilnya lagi oleh Nadi tapi tak kunjung ada jawaban, cemas mulai muncul gadis sekecil itu tiba-tiba langsung berpikir yang tidak-tidak tentang Ayahnya. Dia takut Ayahnya tiba-tiba pingsan, lalu seperti disambar petir dia berinisiatif untuk turun dan menghampiri Ayahnya. Dia melihat Ayahnya sudah terkapar di bawah meja makan dengan posisi tidak sadarkan diri, badannya seketi melemas melihat Ayahnya, perasaan yang campur dan penuh kebingungan, akhirnya dia bergegas menghampiri Ayahnya dengan tangis yang terus menetes dipipi mungilnya.
“Ayahhhhhhhh”
“Ayahhhhhhhhhhhhhh, Ayahhh bangun ini Nadi Yahhhh”
“Tolonggggggg, siapapun diluar tolonggggg”
“Tolongin Ayahhhhhhhh”
Nadi hanya bisa menangis histeria sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayahnya agar tersadar.
“Kenapa Nadi? Ayahnya kenapa kok bisa dibawah gini”
“Nadi juga gatau tiba-tiba udah jatuh dibawah, salah Nadi tadi ga nemenin Ayah makan kayaknya Ayah ngambek sama Nadi deh”
Obrolan yang sudah gajales diucapkan Nadi pada tetangganya karena rasa panik dan bingung yang Nadi rasakan.
“Ibumu dimana? Kok ga dirumah, Kakakmu juga kemana?”
“Ibu kepasar sama Kakak jadi Nadi berdua sama Ayah nemenin”
10 menit kemudian Ibu dan Kakak Nadi sampai dirumah dengan perasaan aneh karena rumahnya sudah ramai oleh warga setempat.
“Ada apa ini? Ramai sekali dirumah saya?”
“Ibu Nadi, tidak ada apa-apa ayo masuk kedalam”
Dengan penuh kesadaran tetangganya menyuruh Ibu Nadi untuk masuk kedalam rumahnya tanpa memberikan penjelasan alasan mengapa rumahnya ramai sekali. Setelah dirinya masuk melihat suaminya terkapar tidak sadarkan dirinya, Ibu Nadi langsung lemas dan menangis karena dia pikir suaminya telah tiada.
“Ayahhhhh? Ayah kenapaaaaa de?”
Sambil memeluk Nadi dengan erat dan panik, tidak lama kemudian Ayahnya Nadi dilarikan kerumah sakit. Dengan mendapatkan penanganan yang khusus dokter menyatakan bahwa Ayahnya Nadi mengalami demensia yaitu kehilangan setengah dari ingatannya akibat benturan dikepalanya. Setelah dilakukan pemeriksaan Ayahnya dibawa keluarga untuk pulang dan berobat secara berkala.
Nadi yang kini hanya bisa terdiam karena respon Ayahnya yang kini hamper melupakan setengah dari memori bersamanya, dia hanya menyesal karena tidak menemani Ayahnya saat itu mungkin saja jika dia tidak meninggalkan Ayahnya sendiri kejadian itu tidak pernah terjadi.
Sudah hari senin saja waktunya Nadi kembali bersekolah akan tetapi setelah kejadian itu Nadi tidak pernah meninggalkan Ayahnya sedetikpun.
“Nadi tidak mau sekolah, Nadi mau disini aja nemenin Ayah ya Ibu”
“Ayah biar Ibu yang temenin kamu sekolah aja yahh”
“Ayah gapapa de nantikan pulang sekolah masih bisa ketemu lagi”
“Gamau, nanti Ayah malah ninggalin Ade”
“Sini peluk ayah”
Nadi pun memeluk ayahnya sambil menangis kecil karena takut Ayahnya kenapa-napa.
“Nadi anak pintar, kesayangan Ayah jagain Ibu yaaa kalau Ayah kenapa-napa. Janji dulu ya sama Ayah gaboleh berantem sama Ibu sama Kakakmu juga”
“Kok gitu ngomongnya sih Yahh? Ayah gaboleh kemana-mana, kalau Ayah hilang dunia aku gimana?”
Sambil memeluk dengan erat, Nadi sama sekali tidak punya firasat buruk tentang ucapan yang baru saja mereka bicarakan. Hingga dia berangkat dan sekolah seperti biasanya, akan tetapi setelah aktivitasnya selesai dan langsung bergegas pulang dia mendapati sebuah bendera kuning terpasang didepan rumahnya dia hanya hanya bisa berdiri mematung dan bertanya-tanya maksud dari semua ini.
“Permisi Pak, ini siapa ya yang meninggal di rumah saya? Ayah Ibu saya baik-baik aja tadi pagi kok sekarang ada bendera ini di rumah saya? Bapak salah pasang bendera ya?
“Maaf ya nak, Ayahmu sudah tidak ada tadi jam 12 siang Ba’da Zuhur yang sabar ya nak”
Lemas sudah seluruh badan, gemetar, dan tidak sanggup lagi untuk menarik nafas Nadi bergegas lari menghampiri ayahnya yang kini sudah terbaring ditutupi kain putih.
“Ayahhhhhhhhhhhhhhhhh”
“Ayahhhhhhh, bangun cepetttttttt Nadi udah pulang ini Ayah bilang tadi mau ketemu Nadi lagi, gaada yang nyuruh Ayah tidur. Ayahhhhhhhhh”
Sambil menangis tak tertahankan kini gadis kecil itu hanya bisa memeluk ayahnya yang sudah tidak bisa berbicara padanya.
Hari itu adalah tangis terakhir paling tulus yang gadis kecil itu tumpahkan, tidak ada lagi tawa tulus yang dia berikan hanya wajah yang mengharapkan cinta pertamanya kembali hingga saat ini diusia dia yang sudah menginjak 21 tahun, luka yang tidak pernah benar-benar sembuh setelah kepergiannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H