Mohon tunggu...
Aristia PM
Aristia PM Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang belajar nulis

Skenario terbaik berasal dari takdir Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lorosae | Bab 4 | Perjalanan

6 Januari 2019   23:38 Diperbarui: 6 Januari 2019   23:41 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Amarasi Timur. Perlu waktu sekitar lima jam untuk bisa sampai ke tempat ini. Tak ada kepikiran buat buka google maps. Kami belum kenal aplikasi ini. Percaya saja om supir tak kan menyesatkan.

 Perkiraan kepala sekolah bahwa perjalanan akan memakan waktu tiga jam, tidak sepenuhnya salah. Bisa jadi motor trailer kepala sekolah melaju lebih cepat daripada oto yang kami naiki. Yang penting, kami tak pusing dengan alamat. Kami cukup duduk tenang dan menikmati pemandangan. Sambil sesekali bercanda menghangatkan suasana.

Kota Kupang kota yang tenang. Tak padat manusia, tak ada macet yang membuat lelah. Sesekali birunya laut mengintip malu-malu. Menemani oto yang sedang melaju di atas jalanan beraspal. Dari jauh, air laut bisa terlihat lebih tinggi dari pandangan mata. Seakan laut ada di atas kepala. Jika dekat, deburan ombaknya terdengar berbisik, wangi airnya menyentil indera penciuman. Wangi laut berbeda dengan wangi tanah hutan. Agak sedikit amis.

Binatang peliharaan berkeliaran bebas di jalanan. Tak ada alasan pengendara untuk kebut-kebutan. Jika sekali saja binatang itu terlindas, entah siapa nanti yang akan tewas. Sang binatang ataukah sang pelindas?

Dari Kota Kupang, oto melaju ke Pasar Oesao. Sayur mayur di pinggiran jalan terlihat segar walau hari sudah senja karena beberapa menit sekali penjualnya menyiramkan air yang diisikan ke wadah plastik bekas minuman, lalu dilubangi kecil-kecil. Menciptakan cipratan yang menyegarkan. Beberapa jongko nampak kosong ditinggalkan pemiliknya. Hari semakin senja.

Pasar Oesao menjadi batas kota. Oto putih berhenti di sini, tak berani meneruskan perjalanan ke desa. Barang-barang semua dikeluarkan. Walau dibayar mahal, sang supir dan kernet tidak mau masuk ke desa. Mereka tetap menurunkan penumpang di pasar ini.

Neusik noin meu ma
Au nao noko kuan

Musik-musik kupang seakan menyambut kami yang baru turun dari oto. Di pojokan pasar, terlihat ada kedai makan bercat hijau. Agak tertutup memang, tapi tak ada salahnya mampir sebentar. Kalau merasa tak nyaman, tinggal keluar lagi.

Kedai makan bercat hijau itu ternyata milik orang Jawa. Menu masakannya mirip menu warung tegal. Lumayan untuk mengganjal lapar sekaligus mengobati rindu akan kampung halaman. Ah, baru juga tiga hari, tapi hati sudah mulai rindu keluarga. Aku pesan nasi, ayam goreng, bobor labu siam, dan sambal terasi. Tak lupa segelas es teh manis melengkapi hidangan santap siang.

Keluar kedai, terlihat ada beberapa oto lain berbentuk mobil bak terbuka berjajar rapi, menanti penumpangnya di tanah kosong belakang pasar. Berpenutup terpal dengan kayu-kayu terpasang melintang beberapa baris sebagai tempat duduk di bak belakang. Oto semua  jurusan yang menuju penjuru kabupaten, berkumpul di Pasar Oesao. Tidak banyak jumlahnya. Penumpang harus tahu kapan jadwal oto-oto ini kembali ke desa. Kami beruntung masih ada oto yang mangkal sore itu.

"Tesbatan,  Tesbatan?", seorang kernet yang duduk santai di bak belakang oto menawarkan tumpangannya kepada kami. Kami tak paham.

"Mau pi mana?", sepertinya sang kernet mengerti kebingungan kami.

"Pakubaun", jawab Kang Arya.

"Ho, Naik sudah!"

"Ini ke Pakubaun?"

"Iya iya."

Kernet yang terlihat seperti masih usia anak SMP itu loncat turun dari oto, lalu membantu kami menaikkan barang-barang ke bak belakang. Setelah semua siap, kernet pergi memanggil supir.

Oto bak terbuka inilah yang diizinkan masuk ke pedesaan karena medan yang akan ditempuh lebih beresiko. Kendaraan bermodel angkot  tidak berani masuk desa karena khawatir tidak akan kuat melewati jalan yang rusak.  Batuan licin, jalan berkelok, turunan yang tajam, lumpur yang dalam, bahkan beberapa oto harus nekat menerobos masuk ke dalam sungai untuk menyebrang. Jarang sekali ada jembatan di kabupaten. Tapi justru disitulah keseruannya.

Oto desa mulai meninggalkan pasar. Tak ada lagi laut dan deburan ombaknya di pinggir jalanan. Kiri kanannya kini hanyalah hutan jati yang menghijau karena siraman air hujan. Ada juga pohon kayu putih yang batang kayunya seakan dicat putih. Pohon kayu putih, tapi bukan Oleum Cajuput.  Jarak antar rumah penduduk nampak renggang. Menandakan jumlah penduduknya belumlah terlalu padat.

Jalanan masih mulus beraspal, berkelok tajam dengan turunan dan tanjakan yang curam. Supir harus membunyikan klakson setiap kali akan berbelok. Jalan ini sempit. Hanya bisa dilewati dua oto, itu pun sedikit berdempetan. Yang tercium kini bukan lagi wangi laut, melainkan wangi hutan basah yang sesekali berbaur dengan bau kampas rem.

Hampir dua jam perjalanan, jalan aspal pun habis. Berganti bebatuan dan lumpur becek yang masih bisa dilewati kendaraan. Oto berjalan perlahan. Jembatan beton kecil yang sedikit rusak di bagian pinggirnya menjadi penghubung antar desa. Jembatan ini mulai terendam air semata kaki. Rupanya desa itu baru saja diguyur hujan. Air sungai meluap. Oto terus berjalan perlahan. Sampai akhirnya tiba di lokasi tujuan.  Sebuah bangunan baru, tempat kegiatan masyarakat desa setempat. Disini kami melepas penat sementara.
***

Gelap gulita di KCD, Kantor Cabang Dinas. Kami baru tiba menjelang maghrib. Bangunan baru ini terpasang perangkat listrik lengkap, tapi gelap karena listrik di desa ini hanya dinyalakan pada waktu siang untuk menunjang pelayanan masyarakat desa.

Sebatang lilin aku nyalakan. Samar-samar aku mengenali teman-teman baruku. Kang Arya dan Teh Lina akan mengajar di SD. Bli Gusti, Bang Ahmad dan Bang Jacky akan mengajar di SMP.

Salah seorang pejabat desa maghrib tadi menemui kami. Beliau memberikan arahan tentang bagaimana keadaan desanya.

Saat sedang mengobrol, seorang bapak setengah baya mendekati kami. Badannya kurus, rambutnya keriting, berbaju oranye, bercelana pendek selutut warna krem muda. Berjalan tanpa penerangan. Seakan terlihat seperti baju berjalan tanpa badan karena kulit hitamnya berbaur dengan gelapnya malam.

Bapak itu menggedor pintu kaca dengan hati-hati. Kang Arya berdiri membuka pintu dan mempersilakan bapak tersebut masuk. Kami melantai. Musim hujan membuat udara sedikit dingin.

"Selamat malam bapak ibu semua. Beta Kato. Beta dengar dari warga, ada orang di KCD. Bapak ibu dong dari mana?"

"Oh, iya, Pak! Kami dari Jawa. Ada yang dari Bali, ada yang dari Lombok."

"Bapak ibu semua ada buat apa di sini?"

"Mereka ini guru dari pusat. Bapak Arya dan Bu Nia nanti mengajar di SD. Pak Ahmad, Pak Gusti dan Pak Jacky nanti mengajar di SMP. Nah, Ibu Ratih nanti mengajar di SMA", bapak pejabat membantu menjelaskan kepada Pak Kato.

"Ho, yang mengajar di SD dan SMP ni dekat. Na ibu yang mengajar di SMA, jauh. Dia punya SMA ada di gunung. Dari aspal habis tadi, masih pi naik gunung lai", ujar Pak Kato.

Duh! Aku melongo.

"Bapak ibu pasti capek to? Su makan ko belum?", tanya Pak Kato berbaik hati.

"Hehe.. Belum, Pak!", jawab Kang Arya.

Ah, Kang Arya ini memang paling cepat kalau urusan makan. 

"Na begitu, mari kotong main di beta pu rumah. Sonde jauh dari sini. Dekat sa. Kotong makan sama-sama. Sonde usah takut deng beta. Be on buat macam-macam. Beta orang baik", Pak Kato berusaha meyakinkan kami.

"Bapak, ibu, silakan ikut Pak Kato. Tidak apa-apa, Pak Kato ini orang baik.", Pak Pejabat membenarkan Pak Kato.

Sebenarnya, agak khawatir kami dengan orang baru. Tapi entah kenapa, firasat kami mengatakan bahwa Pak Kato ini memang orang baik. Tatapan matanya biasa saja. Tak ada yang mencurigakan. Kami berenam memutuskan untuk berangkat mengikuti Pak Kato. Tas dan semua barang bawaan kami tinggal di KCD. Selesai dari rumah Pak Kato, kami akan kembali bermalam di KCD.

 Ditemani lampu senter kami menyusuri hutan. Jalan gelap gulita, sepi. Jarak antar rumah berjauhan, itupun tertutupi rimbunan semak atau pepohonan. Sedikit sekali orang yang keluar malam-malam. Mereka keluar tanpa penerangan, sama seperti Pak Kato. Dari nyala rokoknya, kami bisa mengenali ada orang atau tidak di depan kami.

Di musim hujan ini, jalanan berlumpur, kami harus hati-hati memilih jalan.

"Bapak, ibu, disini musti hati-hati! Jang terlalu baik deng orang sini. Nanti diracun.", Pak Kato mulai bercerita sambil berbisik.

Hah? Kok sama kayak cerita Kak Diah dan Kak Elen?

"Jadi bener ya katanya orang baik itu justru diracun?", aku penasaran.

Pak Kato mengangguk. Sangat hati-hati beliau bicara. Rumah-rumah di sekitar kami bertembok bebak. Suara kami mungkin saja bisa terdengar ke dalam rumah, walaupun jarak rumah ke jalan cukup jauh. Sepi sekali desa ini di waktu malam. Sepi dan gelap. Sinar pelita tak cukup sampai menggapai jalanan di depan rumah.

"Iya. Baru-baru ini ada yang meninggal di kampung sebelah. Dia punya perut hancur. Ada orang jahat kasih dia minum air keras."

" Hah? Kok bisa? Gimana ceritanya itu Pak?", Bli Gusti ikut penasaran

"Sssttt... Jangan keras-keras. Nanti ada orang dengar.", Pak Kato mengingatkan.

"Sumur dekat hutan tu, yang dikasih tutup kayu, itu sumur beracun. Ada orang jahat kasih air keras ke sumur. Ini polisi ada pi pulang-pi pulang selidiki ini kasus. Su satu minggu", Pak Kato mulai bercerita.

"Oh, terus tertangkap ga yang meracuninya?", Kang Arya ikut penasaran.

"Iya, sudah ditangkap. Tapi polisi masih selidiki kasus ini. Jadi bapak ibu semua jangan kaget kalau nanti lihat mobil polisi keluar masuk desa."

Obrolan terus berlanjut. Sampai tak terasa kami sudah tiba di depan rumah Pak Kato. Rumah sederhana  yang berdinding bebak. Seorang anak perempuan seusia anak SD menyiapkan makan malam sederhana untuk kami berenam. Sepiring nasi dan telur goreng. Kebaikan Pak Kato sudah lebih dari cukup dibandingkan lauk sederhana yang dihidangkan.

*****

Pi / pigi = pergi
On/sonde = tidak/bukan
Deng = dengan
Jang = jangan
Bebak = dinding yang terbuat dari pelepah tanaman gewang yang disusun, lalu disatukan dengan cara ditusuk pada beberapa bagian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun