Mohon tunggu...
Aristia PM
Aristia PM Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang belajar nulis

Skenario terbaik berasal dari takdir Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lorosae | Bab 4 | Perjalanan

6 Januari 2019   23:38 Diperbarui: 6 Januari 2019   23:41 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Pakubaun", jawab Kang Arya.

"Ho, Naik sudah!"

"Ini ke Pakubaun?"

"Iya iya."

Kernet yang terlihat seperti masih usia anak SMP itu loncat turun dari oto, lalu membantu kami menaikkan barang-barang ke bak belakang. Setelah semua siap, kernet pergi memanggil supir.

Oto bak terbuka inilah yang diizinkan masuk ke pedesaan karena medan yang akan ditempuh lebih beresiko. Kendaraan bermodel angkot  tidak berani masuk desa karena khawatir tidak akan kuat melewati jalan yang rusak.  Batuan licin, jalan berkelok, turunan yang tajam, lumpur yang dalam, bahkan beberapa oto harus nekat menerobos masuk ke dalam sungai untuk menyebrang. Jarang sekali ada jembatan di kabupaten. Tapi justru disitulah keseruannya.

Oto desa mulai meninggalkan pasar. Tak ada lagi laut dan deburan ombaknya di pinggir jalanan. Kiri kanannya kini hanyalah hutan jati yang menghijau karena siraman air hujan. Ada juga pohon kayu putih yang batang kayunya seakan dicat putih. Pohon kayu putih, tapi bukan Oleum Cajuput.  Jarak antar rumah penduduk nampak renggang. Menandakan jumlah penduduknya belumlah terlalu padat.

Jalanan masih mulus beraspal, berkelok tajam dengan turunan dan tanjakan yang curam. Supir harus membunyikan klakson setiap kali akan berbelok. Jalan ini sempit. Hanya bisa dilewati dua oto, itu pun sedikit berdempetan. Yang tercium kini bukan lagi wangi laut, melainkan wangi hutan basah yang sesekali berbaur dengan bau kampas rem.

Hampir dua jam perjalanan, jalan aspal pun habis. Berganti bebatuan dan lumpur becek yang masih bisa dilewati kendaraan. Oto berjalan perlahan. Jembatan beton kecil yang sedikit rusak di bagian pinggirnya menjadi penghubung antar desa. Jembatan ini mulai terendam air semata kaki. Rupanya desa itu baru saja diguyur hujan. Air sungai meluap. Oto terus berjalan perlahan. Sampai akhirnya tiba di lokasi tujuan.  Sebuah bangunan baru, tempat kegiatan masyarakat desa setempat. Disini kami melepas penat sementara.
***

Gelap gulita di KCD, Kantor Cabang Dinas. Kami baru tiba menjelang maghrib. Bangunan baru ini terpasang perangkat listrik lengkap, tapi gelap karena listrik di desa ini hanya dinyalakan pada waktu siang untuk menunjang pelayanan masyarakat desa.

Sebatang lilin aku nyalakan. Samar-samar aku mengenali teman-teman baruku. Kang Arya dan Teh Lina akan mengajar di SD. Bli Gusti, Bang Ahmad dan Bang Jacky akan mengajar di SMP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun