"Kalian ditempatkan satu kampung ko?"
"Oh, tidak, Kak. Saya dengan Nia di Amarasi Timur. Farah di Amfoang Timur, Aya di Amfoang Barat Daya"
Kulihat kening Kak Diah berkerut. Kak Diah saling berpandangan dengan Kak Elen. Kak Elen melempar pandangan kepadaku memberiku isyarat bahwa dia tidak mengerti apa yang kumaksud.Â
"Apa itu Amfoang?", tanya Kak Diah.Â
Ku sodorkan SK penempatanku yang ditandatangani gubernur saat itu.Â
"Ini, kak."
"Ooohhh...ini Amfo-ang. Dibacanya Amfo-ang, bukan Amfoang. Kotong sonde mengerti Amfoang nah, ahaha.. "
Amfoang dibaca Amfo-ang, Amabi dibaca Am-abi, Nekamese dibaca Nekmese. Kefamnanu dibaca Kefa Mnanu. Lidahku ketlingsut.Â
Ini pertemuan pertama kami dengan Kak Diah dan Kak Elen, tapi rasanya  seperti teman akrab yang sudah lama tak jumpa. Kami mencari tahu info tentang lokasi yang akan kami tempati, bagaimana keadaan secara umum masyarakat disana, sambil sedikit belajar Bahasa Kupang.Â
"Neng, nanti di tempat tugas mesti hati-hati. Kalau jemur pakaian dalam, harus dibalik. Jahitannya harus di luar. Kalau buang pembalut harus dibakar. Kalau neng disambut sangat baik oleh warga kampung, Neng harus curiga. Biasa disini, orang baik itu diracun!"
"Hah?! Â Gimana kak? Diracun?"