Tahun 2010 yang lalu saya menulis artikel di Kompasiana dengan judul: Orang-orang Hebat di Sekitar Kita yang bercerita tentang orang-orang yang saya kenal tapi samasekali bukan orang terkenal. Mereka adalah orang biasa dari kalangan akar rumput yang, menurut pandangan saya, banyak memiliki nilai-nilai luhur yang tidak terlihat secara kasat mata tetapi dapat dirasakan dari perilaku mereka sehari-hari.Â
Semangat hidup mereka, meskipun sebatas untuk mempertahankan kehidupan diri dan keluarganya, tidak dipungkiri telah memberikan inspirasi pada saya. Mereka adalah Pak Tadjuni, tukang kebun langganan kami dan Pak Lubis (nama panggilan), penjaga kompleks perumahan dimana saya tinggal.
Tulisan ini mirip dengan artikel sebelumnya, tapi kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman pribadi berjabat tangan dengan orang-orang yang memang dikenal secara umum, paling tidak pada jamannya.Â
Mereka adalah orang-orang yang pernah saya temui, meskipun hanya sekilas dan sempat berjabat tangan, orang-orang yang pernah memegang jabatan penting di negeri ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Inilah kisahnya.
Sarwo Edhie Wibowo
Tahun 1966. Pemberontakan PKI yang gagal melalui peristitwa berdarah G-30-S memunculkan peran pelajar, mahasiswa dan ABRI yang berhasil menumpas PKI sampai keakar-akarnya.Â
Saya waktu itu masih pelajar dan, bersama-sama dengan pelajar lainnya, bergabung dalam KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia). Pada waktu melakukan defile di alun-alun Bandung, saat melalui panggung kehormatan, saya lari kearah panggung dan dengan spontan tegak berdiri, Â memberi hormat dan menyalami komandan upacara waktu itu, yaitu Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, namanya kemudian menjadi Kopassus).Â
Pada waktu itu nama Sarwo Edhie dan RPKAD sangat akrab di kalangan pelajar dan mahasiswa, karena bersama-sama pelajar dan mahasiswa menjadi pelopor penumpasan gerakan makar yang dimotori PKI, yang kemudian melahirkan Orde Baru. Â Demikian cintanya kepada RPKAD sehingga dibuatkan lagu untuk mereka, dalam bahasa Jawa: "abang-abang barete, lonteng-lonteng klambine, sopo iku jenenge, RPKAD" (merah baretnya, loreng-loreng bajunya, apa namanya? RPKAD).
Dalam perkembangannya, penumpasan gerakan komunis meninggalkan jejak sejarah yang kelam karena terjadi pembunuhan massal diantara masyarakat sendiri, yang terjadi di berbagai daerah.Â
Beruntung saya tidak melihat dan mengalaminya sendiri, tetapi menurut cerita, banyak korban jatuh dari kedua belah fihak yang meninggalkan trauma mendalam bagi kerabat dan keluarga yang mengalaminya, yang berdampak lama setelah kejadian itu terjadi.
Kalau diingat kembali peristiwa salaman dengan Sarwo Edhie pada waktu itu, saya tidak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi, karena sepengetahuan saya, cuma saya yang melakukannya, dan tidak ada pengawal atau petugas yang menghalangi.
Menurut yang saya dengar, pada jaman pemerintahan SBY pernah ada pemikiran untuk mengangkat Sarwo Edhie menjadi pahlawan nasional, tapi banyak pula yang menentangnya, karena dianggap nepotis. Selain meninggalkan nama harum pada masanya, Sarwo Edhie juga dianggap paling bertanggung jawab atas pembantaian jutaan orang-orang komunis pada waktu itu. Terlepas dari kontroversinya, Sarwo Edhie meninggalkan keturunan yang kemudian menjadi Ibu Negara Presiden RI ke 6 (Kristiani) dan Komandan Kopassus (Pramono), yang dulu pernah disandangnya. Jabat tangan itu memberi kesan tersendiri pada saya.
Soeharto
Pada jaman Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, pembangunan menjadi agenda utama pemerintah. Sebagai PNS Penulis merasakan betul denyut nadi pemerintahan yang memberikan porsi yang sangat besar terhadap pembangunan, terutama pembangunan fisik di seluruh pelosok tanah air.Â
Pemerintahan Orde Baru akhirnya tumbang pada tahun 1998, lagi-lagi oleh gerakan mahasiswa, karena pemerintah yang otoritarian serta penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merebak dan merajalela.
Tahun 1996, dua tahun sebelum Orde Baru tumbang, Penulis mendapatkan piagam Satyalencana Karya Satya 10 tahun dari Pemerintah, dan pada kesempatan itu saya berkesempatan bertemu dan berjabatan tangan dengan Pak Harto. Meskipun hanya sesaat, saya sempat merasakan hangatnya jabatan tangan Soeharto dengan senyumnya yang khas.Â
Senyum inilah yang barangkali menginspirasi Cindy Adam membuat judul bukunya tentang Soeharto "The Smiling General". Setelah itu, saya hanya bertahan sembilan tahun menjadi PNS sebelum mengambil pensiun dini.
Meskipun hanya sesaat, pengalaman berjabatan tangan dengan Presiden RI ke 2 memberikan kesan tersendiri, karena waktu itu Soeharto sudah hampir seperti legenda, sulit ditemui kecuali orang-orang terdekatnya. Selain itu, tekanan mahasiswa dan masyarakat yang menginginkan Soeharto turun dari jabatannya semakin hari semakin meningkat. Â Â
Emil Salim
Tidak ada pendekar lingkungan yang paling konsisten selain Emil Salim. Saya pernah bertemu dan berjabat tangan dengan beliau, tapi di tempat yang kurang semestinya, yaitu (maaf) di kamar kecil, dan itu terjadi tidak hanya sekali, tapi dua kali. Itu terjadi setelah Pak Emil memberikan ceramah di kantor tempatku bekerja.Â
Emil Salim dikenal sebagai pribadi yang ramah. Pada waktu kebetulan bertemu di kamar kecil beliau menyapa dan menjabat tangan saya sambil tersenyum, padahal beliau pasti tidak tahu siapa saya kecuali salah seorang peserta seminar. Sampai sekarang Emil Salim masih aktif dan pakar yang disegani, dan selalu diundang dalam berbagai pertemuan dan seminar.
Fauzi Bowo (Bang Foke)
Sewaktu saya sering berkunjung ke Balai Kota DKI Jakarta dalam rangka membahas proyek pengendalian banjir dimana saya terlibat didalamnya, saya harus bertemu dengan Gubernur DKI yang waktu itu dijabat Sutiyoso, tapi karena berbagai hal, pertemuan sering diwakilkan kepada Fauzi Bowo, wakilnya.Â
Sejak itu saya beberapa kali ketemu dan berjabat tangan dengan Bang Foke, panggilan akrab Fauzi Bowo. Waktu itu Bang Foke-lah yang lebih aktif mengendalikan proyek pengendalian banjir. Sewaktu Foke ikut kampanye pemilihan gubernur, slogan yang digunakan adalah "serahkan pada ahlinya".Â
Foke memang memiliki latar belakang pendidikan yang mendukung, yaitu Dipl. Ing jurusan penataan kota lulusan Brunswick, Jerman. Ternyata slogan tersebut tidak selalu menjamin, pada pemilihan gubernur untuk yang kedua kalinya pasangan Foke--Priyanto kalah melawan pasangan Jokowi-Ahok tahun 2012.
Walau bagaimana, saya selalu terkesan dengan penampilan dan kefasihan Foke berbahasa Inggeris dan Jerman, dan merasa beruntung bisa bersalaman beberapa kali dengan orang nomor satu di DKI Jakarta waktu itu. Kelak Foke ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk menjadi duta besar di Jerman, negara tempat dia menuntut ilmu.
Djarot Saiful Hidayat
Mungkin banyak yang belum tahu, selain dikenal sebagai kota dimana proklamator Bung Karno dimakamkan, Blitar juga dikenal sebagai kota perintis dalam penanganan sanitasi di Indonesia.Â
Di kota bersejarah inilah Deklarasi Sanitasi dicanangkan dan dijadikan tempat dimulainya Konferensi Nasional Sanitasi yang pertama kali. Di kota ini pula dibentuk Asosiasi Kota Peduli Sanitasi atau AKOPSI, di mana Jokowi, waktu itu Walikota Solo, ditetapkan sebagai Ketua AKOPSI yang pertama (dalam perkembangannya keanggotaan AKOPSI termasuk Kabupaten, sehingga singkatannya menjadi AKKOPSI). Penanganan masalah sanitasi di Indonesia memang dirasakan jauh tertinggal dibandingkan dengan penanganan prasarana kota lainnya seperti jalan dan air minum.
Dalam salah satu pertemuan dalam rangka pembentukan asosiasi kota-kota peduli sanitasi itulah saya pertama kali bertemu dengan Walikota Blitar yang waktu itu dijabat oleh Djarot Saiful Hidayat.Â
Pak Djarot dikenal sebagai walikota yang sangat peduli dengan sanitasi. Dan dalam kesempatan itu saya merasa terhormat untuk duduk bersama memimpin rapat bersama Pak Djarot, dan bersalaman dengannya setelah rapat selesai. Setelah kalah dalam pemilihan gubernur mendampingi Basuki Tjahaja Purnama, Djarot juga gagal dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara.Â
Saya merasa beruntung berkesempatan bertemu dan bersalaman dengan Pak Djarot, yang merupakan walikota perintis dalam masalah sanitasi, sektor yang merupakan profesi keahlian pilihan saya sewaktu sekolah dulu.
Sandiaga UnoÂ
Takdir mempertemukan saya dengan Sandiaga Uno. Waktu itu, sekitar tahun 2013, saya mendapat bantuan hibah dari Inotek, yayasan nirlaba dalam pengembangan teknologi inovatif (www.inotek.org) yang dibentuk Sandiaga. Bekerjasama dengan The Lemelson Foundation dari AS, Yayasan Inotek memberikan hibah untuk pengembangan produk berbasis inovasi teknologi.Â
Sidang penetapan pemberian hibah untuk produk inovasi yang saya buat waktu itu dipimpin oleh Sandiaga Uno selaku Pembina Yayasan Inotek. Itulah satu-satunya kontak saya dengan Sandiaga, saat dia menjabat tangan saya setelah selesainya paparan saya. Sandiaga dikenal sebagai konglomerat muda bertangan dingin.Â
Banyak perusahaan-perusahaan yang hampir bangkrut dia selamatkan. Sandiaga kemudian berpasangan dengan Anies Baswedan memenangkan pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, mengalahkan pasangan petahana Basuki-Djarot, tapi pada tahun 2018 mengundurkan diri karena mengikuti Pilpres 2019 bersama Prabowo Subianto.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Waktu itu hari baru beranjak siang ketika saya mendengar Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang baru diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta akan berkunjung ke kantor kami.Â
Saat menyusur lorong menuju kamar kecil, secara kebetulan saya berpapasan dengan Basuki yang sedang berkeliling diantar seorang teman. Sayapun menyambut jabatan tangannya dan mengucapkan selamat datang. Basuki ternyata berperawakan tinggi dengan muka boyish.
Meskipun hanya sesaat bertemu dan berjabat tangan dengan Basuki, waktu itu saya sudah mempunyai firasat bahwa dia cocok memimpin Jakarta, dan terbukti benar. Tidak lama setelah dia menjadi Gubernur, proyek penanggulangan banjir Jakarta (Jakarta Urgent Flood Mitigation Project) dimana Penulis pernah ikut terlibat didalamnya menjadi lebih lancar.Â
Bahkan dia minta proyek selesai tiga tahun dari rencana semula lima tahun. Ini membuat staf Dinas Tata Air di DKI Jakarta menjadi kewalahan. Staf yang tidak becus langsung diganti dengan yang lebih baik, meskipun tidak secepat yang kita harapkan, maklum karena urusan Gubernur bukan cuma banjir. Banyak warga Jakarta yang merasa masalah banjir jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebenarnya banyak proyek-proyek di Jakarta yang merupakan kelanjutan dari proyek sebelumnya, seperti penanggulangan banjir, mass-rapid transit (MRT), Trans Jakarta atau busway, mega proyek reklamasi dan banyak lagi. Tapi pada saat Basuki jadi Gubernur-lah sebagian dari proyek-proyek itu mulai terwujud. Â Â
Basuki menjadi tokoh paling fenomenal setelah pernyataannya di Kepulauan Seribu dianggap menista agama. Dalam sejarah Indonesia barangkali tidak ada tokoh yang begitu kontroversial seperti dia.Â
Dalam perkembangannya, Basuki kemudian dinyatakan bersalah dalam proses di pengadilan dan dihukum penjara selama satu tahun. Terlepas dari tutur katanya yang terkadang kasar, Jakarta sebenarnya kehilangan dia yang mempunyai niat yang tulus untuk membenahi Jakarta, tapi Tuhan berkehendak lain. Â Â
Itulah beberapa orang yang pernah saya temui dalam perjalanan hidup ini, tidak banyak memang, tapi cukup memberikan kesan mendalam bagi diri saya. Ternyata kehidupan manusia itu naik turun, dan hitam atau putih itu relatif sifatnya, tergantung dari sisi mana kita memandangnya.
Jakarta, 15 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H