Kontestasi politik dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bisa jadi menjadi sebuah tantangan bagi gagasan nasionalisme di kalangan pemuda. Jika dulu para pemuda Indonesia terwujud dari kesatuan jong Ambon, jong Jawa, jong Selebes, jong Papua, jong Andalas dan sebagainya, maka para pemuda saat ini cenderung terjebak dalam fanatisme kandidasi kepala daerah yang mereka dukung.
Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 sebenarnya adalah bukti nyata sebuah nasionalisme yang menyatakan kesiapan para pemuda ketika itu untuk menjadi satu tanah air, satu satu bangsa dan satu bahasa. Momentum tersebut telah menjadikan pemuda sebagai pelopor gagasan ideologi nasionalisme yang akhirnya dirumuskan ke dalam Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam konteks ini, pemuda adalah pendiri bangsa Indonesia yang juga menginspirasi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia hingga saat ini.
Pancasila sebagai Dasar Nasionalisme
Nilai-nilai luhur sebagai sebuah bangsa yang diwadahi dalam Pancasila dan butir-butirnya telah terabai oleh isme-isme lain yang dengan sangat mudah diakses melalui internet dan media sosial. Fungsi dasar kewarganegaraan (citizenship) sudah tidak lagi dibangun oleh kesadaran atas ideologi bersama, melainkan lebih kepada fungsionalitas semata. Sehingga dapat dipahami ketika generasi muda Indonesia tidak lagi menemukan hal-hal sakral dalam bernegara.
Nasionalisme memang harus didasarkan pada suatu gagasan ideologi kebangsaan yang kuat, yakni Pancasila. Namun sayangnya, saat ini belum ada mekanisme sistematis yang dilakukan oleh negara untuk memastikan generasi muda dapat memahami Pancasila sebagai fondasi ideologi negara yang membangun nasionalismenya.
Jika di era yang lalu ada kegiatan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diberikan saat awal SMP, SMA, perguruan tinggi, dan bagi CPNS, maka saat ini Pancasila tidak lagi secara massif diintrodusir kepada generasi muda sebagai suatu warisan ideologi pengikat bangsa.
Pasca reformasi tahun 1998, bangsa kita seolah-olah alergi dengan Pancasila. Kalau pun ada, Pancasila hanya tinggal sekedar dekorasi formil ruangan kelas di sekolah atau ruang-ruang kantor di jajaran birokrasi. Sementara gagasan yang sebenarnya dari Pancasila sebagai dasar negara tidak pernah masuk dalam ruang ingatan pemuda Indonesia saat ini. Pluralisme sebagai intisari nasionalisme Indonesia di benak pemuda menjadi terbatas pada sekat-sekat pilihan politik yang katanya berasaskan pada Pancasila.
Oleh karena itu, pemuda Indonesia berhak untuk mengikat dirinya kembali sebagai manusia Indonesia yang memahami dan mampu menerapkan gagasan nasionalisme yang ada dalam Pancasila. Hal ini penting karena Pancasila bukan hanya sekedar jargon politik atau program kerja sebuah rezim pemerintahan tertentu.
Pancasila adalah peninggalan para pemuda pendiri bangsa Indonesia yang menjadi dasar kita sebagai negara bangsa. Pemuda Indonesia juga berkewajiban mengembangkan karakter sebagai warga bangsa yang mengacu pada ideologi Pancasila tersebut.
Nasionalisme di Era Globalisasi
Tantangan lain bagi nasionalisme pemuda Indonesia adalah kenyataan berlangsungnya globalisasi. Praktik globalisme yang sedang terjadi ini memang bisa membuat pemuda menjadi pengembara dunia dalam 2 pengertian: pengembara lintas negara, yang melakukan travelling untuk tujuan studi, wisata, kunjungan ilmiah, dan sebagainya; dan juga pengembara di dunia maya, dimana batas negara menjadi tidak relevan lagi. Dengan demikian, pemuda Indonesia saat ini sudah mulai berkecenderungan untuk menjadi warga dunia di dalam sebuah global village.
Pemuda yang sering melakukan perjalanan ke luar negeri atau yang memang sedang menjalani masa studi dalam jangka waktu yang lama di suatu negara harus dilihat sebagai sebuah potensi untuk mengembangkan diaspora ke-Indonesia-an keseluruh penjuru dunia.
Para pemuda ini harusnya dilindungi dari “godaan” untuk menetap di luar Indonesia dengan sebuah tantangan untuk bisa mendayagunakan segenap pembelajaran dan pengalamannya di luar negeri untuk membangun negara Indonesia.
Sementara para pemuda pengembara dunia maya juga perlu mendapatkan perhatian yang tak kalah pentingnya. Menurut data yang dilansir oleh Kementerian Kominfo pada tahun 2015, dari 88,1 juta pengguna internet di Indonesia, 79 juta atau hampir 90% adalah pengguna media sosial, dan 49%nya adalah berusia 18 – 25 tahun.
Hal ini peluang dan tantangan bagi bangsa Indonesia ke depan. Akan menjadi tantangan ketika para pemuda justru terdampak oleh sisi negatif media sosial yang cenderung pseudo reality, yakni menyederhanakan sebuah fakta yang kompleks dalam sebuah sudut pandang foto atau pernyataan pendek.
Gejala viral dunia maya juga menjadi tantangan tersendiri dalam mengembangkan kapasitas pemuda Indonesia. Alih-alih dijadikan wahana menyebarkan gagasan dan pengetahuan yang positif, viral dunia maya hanya dijadikan alat hiburan yang berkonten dangkal semata.
Namun demikian, hal ini bisa juga menjadi sebuah peluang yang sangat baik ketika negara benar-benar mampu memproteksi para pemuda agar memanfaatkan semaksimal mungkin wahana internet dan media sosial secara positif dan produktif, seperti misalnya untuk mengembangkan industri kreatif dan juga bisnis online.
Pancasila untuk Pemuda
Jika memang tantangan globalisasi dan juga kontestasi politik menjelang pemilihan kepala daerah secara langsung di awal tahun 2017 nyatanya dapat menggerus nasionalisme pemuda, maka gagasan untuk kembali mengintrodusir Pancasila kepada pemuda dengan cara-cara yang lebih mutakhir dari pada sekedar penataran P4 tentunya adalah satu-satunya jalan menemukan kembali nasionalisme pemuda Indonesia.
Paling tidak ada tiga alternatif opsi yang bisa dilakukan untuk mengintrodusir ulang Pancasila kepada para pemuda.
Pertama, dilakukan dengan cara paling klasik yakni memasukkan kembali muatan Pancasila sebagai materi intra kurikuler di pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Cara yang agak koersif ini mungkin tidak terlalu disukai namun terbukti efektif menanamkan perspektif ideologi Pancasila di era yang lalu.
Kedua, memberikan pilihan kegiatan-kegiatan program bermuatan bela negara berbasis Pancasila dengan insentif yang membuat pemuda tertarik untuk mengikuti program tersebut. Seperti misalnya program wajib militer di Singapura yang bersifat opsional, namun mendapatkan insentif sebagai warga negara kelas satu sebagai sons of the nation, sehingga pemuda Singaupura berbondong-bondong mengikutinya.
Ketiga, menghimbau kepada pemimpin negeri ini agar selalu menjadikan Pancasila sebagai referensi dalam memberikan pernyataan publik. Opsi ini tentunya memang masih menjadi agenda lanjutan tersendiri, karena memang bursa pemilihan presiden dan hingga kepala daerah tidak pernah melakukan uji penguasaan Pancasila sebagai persyaratannya.
Namun paling tidak, ketika pemimpin di negeri ini sering mengucapkan Pancasila secara eksplisit dari mulut mereka ketika tampil di media massa, pemuda mungkin akan tergerak untuk mencari tahu tentang Pancasila yang sebenarnya.
Rissalwan Habdy Lubis
Direktur PUSKAMUDA (Pusat Kajian Kepemudaan)
www.puskamuda.or.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H