Mohon tunggu...
Humaniora

Cuaca Ekstrim dan Kebijakan Ekstrim

10 November 2016   15:01 Diperbarui: 10 November 2016   21:15 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada tahun 2012, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) melalui Direktorat Pengurangan Bencana menandatangani MoU dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia untuk “menugasi” UI sebagai salah satu focal point dari 12 jenis ancaman bencana yang ditangani BNPB, yakni cuaca ekstrim. Ketika itu Pusat Riset dan Respon Bencana UI atau Disaster Response and Research Center UI (DRRC UI) belum berdiri, karena DRRC UI memang baru resmi berdiri dengan SK Rektor UI No. 0140A/SK/R/UI/2014 per tanggal 4 Februari 2014.

Sejak ditandatanganinya MoU tersebut, bencana akibat cuaca ekstrim atau jenis bencana hidrometeorologi ini tidak pernah berada dibawah angka 80-an % dari proporsi kejadian bencana yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Jenis bencana ini berimplikasi pada terjadinya bencana lain, diantaranya adalah banjir dan tanah longsor. BNPB mencatat bahwa hingga akhir Oktober 2016 ini, telah terjadi lebih dari 1.800 kejadian bencana diseluruh Indonesia, dan sudah ada lebih dari 350 orang korban jiwa dari kejadian bencana tersebut.

Mencermati fakta tersebut, tampaknya memang diperlukan upaya yang lebih konkret untuk merespon dampak cuaca ekstrim ini dengan lebih tepat. Salah satunya adalah membuat terobosan-terobosan kebijakan antisipasi bencana. Hal ini tentunya telah sejalan dengan semangat pengurangan risiko bencana (PRB) yang selalu diperingati oleh pemangku kepentingan penanggulangan bencana dalam peringatan bulan PRB di bulan Oktober setiap tahunnya.

Daur Kausalitas

Mengacu pada literatur yang ditulis oleh Andrew Collins berjudul “Disaster and Development” (2009). Sebuah kebijakan pembangunan yang berperspektif tata kelola bencana terbentuk dari model keberpihakan daur kausalitas antara pilihan more emergency oriented dan more development oriented.

Model ini membedakan cara pandang tata kelola bencana yang terkait dengan orientasi pencegahan atau respon pada bencana. Jika pengemban tugas negara yang dilembagakan melalui peraturan perundangan lebih berorientasi pada pembangunan sebagai sebuah mekanisme linear positif (more development oriented), maka pola kebijakan pencegahan akan lebih dominan.

Sementara jika pengemban tugas negara lebih berorientasi pada penanganan kegawatdaruratan semata (more emergency oriented), maka pola kebijakan respon akan menjadi dominan. Sedangkan tahap-tahap penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini, mitigasi, pertolongan, pemulihan, rehabilitasi) berada dalam suatu siklus yang tidak terputus diantara kedua pola orientasi tata kelola bencana tersebut.

Secara nasional, sejak UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disahkan, semangat untuk menerapkan model more development orientedtelah terwujud dengan pengarusutamaan PRB yang terdokumentasi dalam rencana nasional penanggulangan bencana (Renas PB). Namun tampaknya semangat ini belum sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan juga oleh lebih dari 300 kabupaten / kota yang terindikasi rawan bencana menurut BNPB.

Ironisnya, bahkan pemerintah daerah tersebut umumnya juga belum menerapkan more emergency oriented dalam kerangka kebijakan pembangunan daerah. Ini artinya bahwa pemerintah daerah memang belum menerapkan kebijakan pembangunan daerah yang berperspektif tata kelola bencana sebagaimana menurut Collins di atas.

Untuk itu, pemerintah pusat melalui BNPB tampaknya memang perlu mengambil kebijakan ekstrim yakni dengan menata kembali fungsi BNPB yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana, yakni: koordinasi, komando dan pelaksana.

Dalam penjelasan pasal 15 ayat 2 UU Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan fungsi koordinasi adalah melakukan koordinasi pada tahap prabencana dan pascabencana, sedangkan yang dimaksud dengan fungsi komando dan pelaksana adalah fungsi yang dilaksanakan pada saat tanggap darurat.

BNPB sudah memiliki data dan informasi yang akurat tentang tren bencana, pola kejadian hingga pada prediksi dan penetapan sebuah daerah kabupaten / kota dalam status rawan bencana menurut indeks tertentu yang dinamakan IRBI (Indeks Risiko Bencana Indonesia). Dengan demikian, koordinasi saja pada tahap pra bencana tidaklah cukup untuk mendorong pemerintah daerah untuk memanfaatkan data dan informasi dari BNPB dan juga BMKG untuk antisipasi cuaca ekstrim dan bencana lainnya, yang terintegrasi dalam skema pembangunan daerah.

BNPB perlu memiliki juga fungsi komando pada tahap pra bencana. Paling tidak untuk “memaksa” pemerintah kabupaten / kota yang terindikasi memiliki “rapor merah” dalam IRBI untuk menyusun kebijakan pembangunan daerah yang lebih berperspektif tata kelola bencana.

Jadi jangan sampai data dan informasi yang dirilis BNPB dalam website-nya dan juga dalam IRBI hanya menjadi sekedar informasi sambil lalu yang tidak ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah daerah. Seperti misalnya hanya membaca informasi di koran yang menarik untuk dibaca, namun tidak memiliki instrumen yang memaksa pembacanya untuk melakukan sesuatu.

Alternatif Kebijakan

Jika selama ini tipologi bencana hanya ada 2, yakni bencana alam (natural disaster) dan bencana akibat perilaku manusia (human made disaster), maka apabila kebijakan ekstrim berupa penegasan fungsi komando bencana pada tahap prabencana ini tidak dilakukan, akan terjadi tipologi bencana berulang yang namanya adalah bencana akibat kegagalan kebijakan (policy made disaster).

Ketika fungsi komando pada tahap prabencana ini telah ada, maka BNPB dapat lebih intensif mengarahkan pemerintah daerah yang memiliki ancaman dampak bencana cuaca ekstrim. Sejumlah kebijakan turunan di tingkat daerah dapat menjadi agenda alternatif untuk mengurangi dampak cuaca ekstrim yang akan berulang di masa yang akan datang.

Pertama – perencanaan teknis, memastikan proses perencanaan di daerah-daerah yang berpotensi terdampak bencana akibat cuaca ekstrim harus mengakomodir pola tata kelola bencana. Terutama pada kesiapan infrastruktur dasar seperti misalnya jalan beserta saluran pembuangan air yang terpadu dengan melakukan prediksi teloransi debit air secara presisi.

Kedua – perencanaan risiko, mendorong agar daerah mengintegrasikan rencana kontijensi bencana ke dalam rencana tata ruang wilayah, sehingga dapat memetakan kawasan yang memerlukan revitalisasi terkait dengan dampak bencana cuaca ekstrim. Secara khusus, peta aliran air dan sungai serta peta kemiringan tanah harus mendapat perhatian utama dalam revitalisasi ini.

Ketiga – sinergi yang mencerdaskan, mengajak partisipasi pemangku kepentingan PRB di daerah terutama perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam melakukan kampanye dan meningkatkan kapasitas kesiapan  masyarakat dalam menghadapi bencana. Perguruan tinggi dapat melibatkan unsur tridarma perguruan tinggi yang juga melibatkan mahasiswa dalam kegiatan interaktif bersama masyarakat dan aparat pemerintah daerah. Model MoU antara UI dengan BNPB mungkin bisa direplikasi di tingkat daerah antara BPBD dengan mitra perguruan tinggi lokal.

Dengan kebijakan yang ekstrim seperti ini, kiranya cuaca ekstrim dapat lebih diantisipasi dengan lebih tangguh dan cerdas.

Rissalwan Habdy Lubis

Peneliti DRRC UI / Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesejahteraan Sosial UI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun