Kesetaraan  gender  juga  dapat  dilihat  dari persamaan kesempatan pada tatanan organisasi. Tatanan organisasi ini mulai dari yang kecil hingga pemerintahan. Pada kenyataannya dapat dibuktikan dengan masa sekarang perempuan mempunyai  kesempatan  dan  peran  yang  sama  dalam  menduduki jabatan tertentu dalam suatu institusi. Jabatan tersebut  mulai dari tingkat yang paling  jabatan  tertinggi  Presiden  Republik  Indonesia  pernah  diduduki  oleh  seorang perempuan yaitu Ibu Megawati Soekarno Putri, dari tingkat yang paling bawah pemimpin di kecamatan pernah diduduki oleh seorang perempuan bahkan sampai pada tingkat desa dan lurah.
    Walaupun telah banyak yang menyadari akan kesetaraan gender dalam hal pendidikan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa diskriminasi juga masih berkembang dalam lapisan masyarakat tertentu (Riyanto et al., 2023). Masyarakat dari kalangan keluarga miskin masih menganggap bahwa perempuan tidak pantas untuk disekolahkan setinggi-tingginya lebih baik langsung dinikahkan, bekerja saja sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik dan pekerjaan lain yang tidak menuntut status pendidikan. Berbeda dengan laki-laki yang mendapatkan perlakuan istimewa baik dalam hal pendidikan dan realita kehidupan yang ada. Bias gender juga dapat kita lihat dalam dunia pembelajaran itu sendiri, seperti banyak ditemukannya gambar maupun kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender.
    Seseorang yang selanjutnya menumbuhkan asumsi bahwa seorang wanita meskipun telah mengenyam pendidikan yang tinggi. Perempuan akan tetap berada pada tempat yang paling baik yaitu menjadi kepala dapur keluarga. Pandangan tersebut sering itu sering muncul dalam kelompok masyarakat yang masih berpegang teguh pada budaya patriarki (Riyanto et al., 2023).
    Dalam tatanan sosial, wanita sering kali memperoleh ketidak adilan. Dalam hal ini, perempuan sering diposisikan setelah laki-laki. Perempuan yang dinilai lemah sering menjadi objek kekerasan, pelecehan, sehingga terus membayangi kemanapun perempuan berada.
    Kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan disebabkan oleh sistem nilai yang memandang perempuan lemah dan inferior dari laki-laki, perempuan tetap  terpinggirkan dan harus dikontrol, perempuan sering dieksploitasi dan diperbudak oleh laki-laki, sehingga perempuan masih dianggap kelas dua. Pemerkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan cukup banyak terjadi di masyarakat, meskipun persepsi terhadap peristiwa tersebut masih bersifat patriarki, dengan kecenderungan melihat korban sebagai pemicu peristiwa tersebut (Riyanto et al., 2023). Kesetaraan hak gender bukan hanya tentang perempuan atau laki-laki, melainkan tentang bagaimana kita sebagai masyarakat, menghormati dan memanfaatkan potensi semua individu. Dengan menjadikan kesetaraan gender sebagai pondasi, masyarakat dapat menciptakan kemajuan yang berkelanjutan dan seimbang.
           DAFTAR PUSTAKA
Judiasih, S. D. (2022). Implementasi Kesetaraan Gender Dalam Beberapa Aspek Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia. Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Dan Ke-PPAT-An, 5(2), 284--302. https://doi.org/10.23920/acta.v5i2.904
Riyanto, C. S., Fadila, N. I., Avisya, I. M. C., Irianti, B. C., & Radianto, D. O. (2023). Kesetaraan Gender. Humantech: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 2(8), 1767--1773.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H