Mohon tunggu...
Risma Yunita W
Risma Yunita W Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa yang sangat tertarik di bidang kepenulisan. Suka travelling. Suka membaca. Suka berdiskusi. Instagram: rismayw Twitter: rismayw email: rismayunitaw@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Judgemental?

9 November 2015   23:07 Diperbarui: 9 November 2015   23:48 2160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini terjadi karena orang-orang lupa to know the rope alias know something to the detail, latah dalam memaknai emosi, dan bertindak penuh kemarahan yang merugikan bagi dirinya dan orang lain.

Kita sering lupa, bahwa setiap orang itu berbeda-beda. Kita adalah campuran dari berbagai identitas yang dilabelkan masyarakat sejak kita lahir hingga kelak kita mati. Hanya karena seseorang menilai A malas, bukan berarti A malas dalam segala bidang. (tolong catat!) Hanya karena sekelompok orang menilai A bodoh bukan berarti dia tidak memiliki kemampuan apa-apa. Hanya karena seseorang berkulit hitam, bukan berarti ia sama seperti kulit hitam yang gembar-gembor dibicarakan sebagai 'sampah' bagi orang kulit putih, dan lain sebagainya.

Manusia berkomunikasi dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan bangsa, negara, ras, latar belakang keluarga, kemampuan fisik, dan lain sebagainya sangat mempengaruhi komunikasi seseorang.

Seperti yang saya ketahui dari buku "Experiencing Intercultural Communication" oleh Judith N. Martin dan Thomas K.Nakayama. U.S. lebih menghargai direct communication style yang artinya lebih menekankan pada penyampaikan pesan secara verbal dibandingkan nonverbal. Sedangkan di beberapa negara, misalnya Jepang lebih menghargai indirect communication style yang artinya lebih menekankan pada aspek nonverbal (makna tersirat) seperti terlihat dari body language, environment dan lain sebagainya dibandingkan aspek verbal. Misalnya, ketika seorang siswa Jepang menyadari bahwa tetangganya secara tak langsung meminta bantuannya dari gestur-gestur yang ia tunjukkan dan juga karena ia sudah lama bertetangga.

Beberapa orang cenderung lebih tegas dalam mengatakan kebenaran, dan beberapa orang lebih memilih untuk menjaga keharmonisan dengan menyembunyikan kebenaran itu. Nah, jika seperti itu, siapa yang bisa disalahkan?

Kita tidak bisa menilai satu pihak salah hanya karena tidak sepaham dengan kita. Kita harus mampu memahami apa yang tersirat, harus memahami apa yang sebenarnya ia pikirkan dan ia rasakan sebelum tergesa-gesa memberi label.

So, please, kita generasi non-judgemental. Kita generasi pembawa perubahan. Kita generasi maju, yang tidak hanya stuck pada menilai sesuatu secara hitam putih dan membuat keputusan "lari" apabila ia "hitam", dan "bertahan" apabila ia "putih". Kita generasi pemberi solusi di tiap persoalan yang terjadi di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun