Mohon tunggu...
Risma Yunita W
Risma Yunita W Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa yang sangat tertarik di bidang kepenulisan. Suka travelling. Suka membaca. Suka berdiskusi. Instagram: rismayw Twitter: rismayw email: rismayunitaw@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Judgemental?

9 November 2015   23:07 Diperbarui: 9 November 2015   23:48 2160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu pepatah pernah mengatakan, "Don't judge a book by its cover."

Jujur, saya pribadi antara setuju dan tidak setuju.

Hm, memang sesuatu tidak selalu sama seperti apa yang terlihat. Namun, sesuatu kadang sudah dapat tertebak dari apa yang terlihat.

Dalam tulisan ini, saya ingin membicarakan tentang "judgemental".

Yah, judgemental atau bersifat menghakimi sudah menjadi hal biasa yang saya dengar disekitar saya.

Lalu, apakah bersifat judgemental itu buruk?

Hmm. tidak selalu, dilihat dari konteksnya saja. Jika kita sering menilai seseorang hanya dari 'sampul luar' saja, atau yang paling parah 'dari apa yang dikatakan orang', itu baru perlu dibenahi.

Pertama, menilai seseorang dari sampul luarnya saja itu ibarat mengatakan bahwa durian itu pahit hanya karena kulitnya berduri. Banyak sekali saya temui, dan bahkan berteman dengan orang-orang yang dianggap 'buruk' oleh masyarakat padahal memiliki hati yang tulus. Begitu juga sebaliknya, banyak saya temui di sekitar saya orang-orang yang berpenampilan bak orang baik tapi ternyata di belakang suka menggunjingkan orang lain hanya karena orang tersebut berpenampilan atau berperilaku 'nyleneh'.

Kedua, menilai seseorang dari apa yang dikatakan orang lain juga cukup berbahaya. Sayangnya, inilah yang sering dilakukan masyarakat Indonesia. Menonton gosip atau berita, bukannya fokus pada permasalahan yang ada, tetapi malah langsung menilai bahwa seseorang tersebut buruk. Padahal, apa yang ada di media tidak selamanya benar. Tidak hanya itu, di lingkungan rumah saja sering saya temui orang-orang yang sibuk membicarakan kelemahan orang lain dan menjadikannya bahan obrolan setiap kali bertemu dengan tetangga lain. Apa manfaatnya? Bukankah dengan membicarakan hal negatif tentang orang lain terus menerus malah menjadikan dirinya sendiri yang dicap orang lain negatif? How we tell about others define who we really are, percaya?

Judgemental, menurut saya, adalah suatu sifat yang perlu penuh hati-hati dalam penggunaannya. Dalam konteks yang tepat, akan berakibat baik, namun dalam konteks yang tidak tepat akan menimbulkan perpisahan, permusuhan, bahkan peperangan.

Konflik antar ras, suku, agama, dan lain sebagainya merupakan salah satu akibat dari judgemental.

Ini terjadi karena orang-orang lupa to know the rope alias know something to the detail, latah dalam memaknai emosi, dan bertindak penuh kemarahan yang merugikan bagi dirinya dan orang lain.

Kita sering lupa, bahwa setiap orang itu berbeda-beda. Kita adalah campuran dari berbagai identitas yang dilabelkan masyarakat sejak kita lahir hingga kelak kita mati. Hanya karena seseorang menilai A malas, bukan berarti A malas dalam segala bidang. (tolong catat!) Hanya karena sekelompok orang menilai A bodoh bukan berarti dia tidak memiliki kemampuan apa-apa. Hanya karena seseorang berkulit hitam, bukan berarti ia sama seperti kulit hitam yang gembar-gembor dibicarakan sebagai 'sampah' bagi orang kulit putih, dan lain sebagainya.

Manusia berkomunikasi dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan bangsa, negara, ras, latar belakang keluarga, kemampuan fisik, dan lain sebagainya sangat mempengaruhi komunikasi seseorang.

Seperti yang saya ketahui dari buku "Experiencing Intercultural Communication" oleh Judith N. Martin dan Thomas K.Nakayama. U.S. lebih menghargai direct communication style yang artinya lebih menekankan pada penyampaikan pesan secara verbal dibandingkan nonverbal. Sedangkan di beberapa negara, misalnya Jepang lebih menghargai indirect communication style yang artinya lebih menekankan pada aspek nonverbal (makna tersirat) seperti terlihat dari body language, environment dan lain sebagainya dibandingkan aspek verbal. Misalnya, ketika seorang siswa Jepang menyadari bahwa tetangganya secara tak langsung meminta bantuannya dari gestur-gestur yang ia tunjukkan dan juga karena ia sudah lama bertetangga.

Beberapa orang cenderung lebih tegas dalam mengatakan kebenaran, dan beberapa orang lebih memilih untuk menjaga keharmonisan dengan menyembunyikan kebenaran itu. Nah, jika seperti itu, siapa yang bisa disalahkan?

Kita tidak bisa menilai satu pihak salah hanya karena tidak sepaham dengan kita. Kita harus mampu memahami apa yang tersirat, harus memahami apa yang sebenarnya ia pikirkan dan ia rasakan sebelum tergesa-gesa memberi label.

So, please, kita generasi non-judgemental. Kita generasi pembawa perubahan. Kita generasi maju, yang tidak hanya stuck pada menilai sesuatu secara hitam putih dan membuat keputusan "lari" apabila ia "hitam", dan "bertahan" apabila ia "putih". Kita generasi pemberi solusi di tiap persoalan yang terjadi di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun