Ada mendung yang menggulung di mataku dari subuh hingga maghrib, merajai tubuhku dan membutakan akalku hingga bakda isya aku tak bisa lagi membendungnya.Â
Aku hanya bisa merasakan dunia yang gelap, tak bermakna, sepi. Aku murka dan meraung sejadi-jadinya dan aku pun tersesat dalam kesedihan yang tak bertepi.
Aku Lelah dengan dunia yang semakin hitam di kepalaku. Aku kedinginan di tengah hujan kesedihan ini dan hanya tidur yang membuatku lupa perihal benih kedukaan yang kubiarkan tumbuh di dadaku.Â
Aku ingin tidur agar aku bisa bermimpi menatap wajah istriku yang cantik. Aku ingin tidur yang berkepanjangan agar dukaku pergi.
***
Semenjak malam itu, malam setelah pemakaman istrinya, hujan turun dengan sangat lebat dan kami tak pernah lagi melihat laki-laki tua itu keluar rumah.Â
Kami tidak pernah tahu apa yang dilakukannya dan setiap kali melewati rumah kuno itu kami pun iba, membayangkan laki-laki tua yang kian hari kian kusut itu duduk sendiri di sudut rumah, mendekap lutut dan menggigil di balik hujan.Â
Lelaki tua itu terlampau hanyut dalam kedukaan hingga tak ayal jika sesuatu dikepalanya rusak terendam pekat dan kentalnya kesedihan yang bermukim di kepalanya.
Kami tak pernah berhasil menyusup ke dalam kesedihannya, sebab ia sendiri yang memilih untuk tak membaginya kepada siapapun.Â
Sebagai tetangga kami pun pernah mencoba mendekatinya, berpura-pura berkunjung sekedar untuk mengantarkan makanan. Namun yang kami terima hanyalah amukan dari lelaki tua itu. Â Ia berteriak mengusir kami pergi.
Pada suatu malam yang mendung, kami tidak mendengar raungan panjang dari rumah lelaki tua itu. Malam menjadi begitu senyap, sehingga kami pun mulai mendekati rumah yang kian sunyi itu.Â