Hari-hariku berjalan sangat menyenangkan di kampus ternama itu. Banyak hal yang sudah kupelajari dan semuanya sangat berharga untuk anak rantau dari wilayah terpencil seperti diriku ini.Â
Pada suatu pagi di Bulan Juli 2011, aku mendapatkan kabar yang cukup buruk tentang kesehatanku. Dokter memberitahukan bahwa ada miom dalam rahim yang harus segera diobati. Aku terpukul dan tidak tau harus berbuat apa. Kujalani semua saran dokter dan rutin mengkonsumsi obat yang diberikan.Â
Kondisiku perlahan membaik, namun ada kecemasan dalam diri yang sulit untuk dijelaskan. Kecemasan itu menyita banyak pikiran hingga konsentrasikupun terbagi. Aku tak fokus lagi pada perkuliahan dan memikirkan biaya pengobatan penyakitku. Harga obat yang harus kutebus cukup besar untuk seseorang yang finansialnya pas-pasan.Â
Mengingat orang tua di kampung membuatku semakin bersedih, tak tega rasanya terus membebani mereka. Ingin mengeluh pada teman, namun aku termasuk orang yang selalu gak enak dan takut merepotkan orang lain. Aku memendamnya sendiri untuk beberapa waktu. Nilai-nilaiku turun drastis.Â
Kecemasan itu pun semakin bertambah hingga menjadi tekanan dalam diri. Rasanya seperti terhimpit bebatuan yang besar. Hari-hariku mulai memburuk dan aku ambruk. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk berobat, mengikuti semua saran yang diberikan.Â
Orang tuaku terkejut dan mengusahakan berbagai cara untuk membantuku sembuh dari penyakit yang membelenggu. Berbagai saran diikuti dan semua alternatif pengobatan dicoba.Â
Banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan membuat aku harus mengambil cuti kuliah. Dokter menyarankan aku untuk beristirahat total dan orang tua membawaku pulang ke kampung halaman. Aku berpikir ini mudah untuk dijalani, sehingga aku menjalaninya dengan hati yang lapang, meski banyak rencana yang harus kuurungkan.
Hari demi hari berlalu, aku benar-benar bisa beristirahat dengan baik di kampung. Namun semuanya tak semudah yang dibayangkan. Saat kondisiku mulai membaik, ada kecemasan orang tua untuk mengizinkanku kembali ke Depok dan melanjutkan mimpi di Universitas terbaik itu.Â
Aku kaget dan memberontak atas keberatan hati orang tua. Ingin tetap pergi kesana dan kembali menimba ilmu. Namun pendirian orang tuaku sangat kuat, kekhawatiran akan penyakitku memang manjadi alasan yang sangat logis, apalagi di perantauan tidak ada keluarga yang bisa mengurus jikalau aku sakit lagi. Â
Aku terdiam, membatin dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Tangisku pecah dan inilah jalan buntu yang kutemui dalam catatan kehidupanku.
Mengingat kampus adalah hal yang membuatku depresi. Kepingan perjuangan bersama teman-teman seangkatan menari-nari di kepala. Sulit untuk melepaskan dan sulit untuk mengikhlaskannya begitu saja. Inilah keputusan terberat dalam hidupku. Sulit bagiku untuk legowo dengan pilihan yang diberikan orang tua. Kekecewaan mewarnai hari-hariku.Â